Mohon tunggu...
Shulhan Rumaru
Shulhan Rumaru Mohon Tunggu... Administrasi - Penikmat Aksara

Penikmat Aksara

Selanjutnya

Tutup

Inovasi Pilihan

Kebebasan Pers Terancam Jika Prabowo Terpilih?

24 Desember 2018   11:31 Diperbarui: 24 Desember 2018   11:47 1087
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
sumber foto dari http://www.nuraniinstituteindonesia.com

Perseteruan Prabowo Subianto dengan kalangan pers bukan kali pertama terjadi. Saat maju dalam Pemilihan Presiden (Pilpres) 2014 lalu, Prabowo pernah memarahi reporter televisi saat wawancara eksklusif di rumahnya, di Hambalang, Bogor, Jawa Barat usai melakukan pencoblosan di TPS pada 9 Juli 2014. Kala itu, Prabowo marah dengan kru Berita Satu TV karena dianggap menyudutkan dirinya secara terus menerus.

"Berita Satu ini nyerang kita terus ini, apa salah saya?," kata Prabowo.

"Ini yang ngelolosin Berita Satu (masuk) ke sini siapa ini," tanya Prabowo ke tim suksesnya. "Kalau kamu menjelekin orang, kualat," tambahnya.

Tak hanya dengan reporter Berita Satu TV, Prabowo juga marah pada reporter Kompas dan Metro TV.

"Di Facebook saya hampir 8 juta pengikut, (tepatnya) 7,8 juta... belum (pengikut dari) pencak silat. Otomatis kalau saya bilang boikot Kompas, yang rugi siapa, kan pengikut saya banyak. Jangan sakiti orang yang tidak menyakiti Anda, yang berbuat baik pada Anda," ucap Prabowo dengan nada keras.

"Kasih tahu Pak Surya (Surya Paloh-bos MetroTV) apa dosa Prabowo ke Pak Surya. Berani nggak bilang!" ujar Prabowo dengan nada keras. Berani nggak bilang gitu? Kalau kamu nggak mau disakiti jangan sakiti orang. Hewan saja nggak mau disakiti, itu ajaran semua agama," tambah Prabowo ke reporter perempuan itu yang hanya terdiam.

Tak berhenti sampai disitu, Prabowo juga menyebut Kompas dan Tempo menulis tidak sesuai fakta. "Saya bukan penakut. Saya akan ketemu Surya Paloh. Semua akan saya datangi. Megawati, saya akan ketemu, juga Goenawan Muhammad," ujar Prabowo.

Kemudian pada Agustus 2015, video Prabowo menyindir wartawan Kompas TV sempat viral di media sosial. Kala itu, reporter Kompas TV ingin mewawancarai Prabowo. Namun, belum sempat wawancara Prabowo mempertanyakan kepada tim nya mengapa reporter Kompas TV bisa masuk ke lokasi tempatnya.

"Ini kompas kok bisa masuk? Kenapa ini kompas dikasih masuk? Kompas Grup itu tidak fair dan tidak adil," kata Prabowo.

Hal serupa kembali dilakukan Prabowo saat dirinya kesal karena wartawan dianggap tidak memberitakan aksi reuni 212 secara fair terkait jumlah peserta reuni 212 yang berlangsung di Monas itu.

Bahkan, Prabowo mengejek mata jurnalis ada di dengkul karena menyebut jumlah peserta acara itu lebih sedikit ketimbang klaimnya.

"Yang aneh bin ajaib banyak sekali media-media kita yang tidak melihat 13 juta orang itu. Mata mereka mungkin ada di dengkul mereka," kata Prabowo dalam acara Konferensi Nasional (Konfernas) Partai Gerindra di Sentul Convention Center, Bogor, Jawa Barat, pada Senin 17 Desember 2018.

Prabowo kemudian bertanya kepada seseorang sembari menunjuk. "Eh ini kau dari mana? media dari mana? Terserah lah. Lu mau liput silakan, lu gak mau liput silakan," ujarnya dibalas riuh dari seluruh kader yang hadir.

Tak berhenti sampai di sana, Prabowo lalu menyindir media yang tidak melaporkan peristiwa Reuni 212 secara komprehensif. "Kalau 13 juta mereka gak liat, mungkin mereka ingin melihat 30 juta. Bagaimana? Ya tergantung antum-antum," katanya.

Melihat rentetan tindakan yang dilakukan oleh Prabowo kepada awak media menunjukan bahwa mantan Danjen Kopassus itu tidak menghargai media sebagai pilar keempat demokrasi. Dalam banyak pengalaman, media diketahui sebagai salah satu saluran konsolidasi politik yang efektif. Jika sikap Prabowo tidak menyenangkan terhadap media sama saja Prabowo mematikan media sebagai salah satu saluran komunikasi politik.

Kemudian, sikap Prabowo yang tidak menyenangkan terhadap media merupakan bentuk agitasi terhadap media sehingga menimbulkan persepsi buruk terhadap independensi media. Dampaknya, media dianggap partisan padahal harus disadari bahwa media tidak hanya bertugas mengabarkan fakta tetapi media itu sendiri adalah bagian dari aktor politik.

Jika ada pemberitaan yang kurang komprehensif, sejatinya itu adalah sikap politik media tersebut namun tindakan melarang suatu peliputan media adalah melawan Undang-Undang Kebebasan Pers.

Selain itu, Prabowo seharusnya sadar bahwa media merupakan partner politik yang baik jika ia mampu membangun relasi dengan media. Setidaknya lewat media, Prabowo mampu mendongkrak popularitas, kepercayaan, dan penerimaan publik terhadap dirinya. Jika Prabowo melakukan sebaliknya, maka sebenarnya ia merugi dan dapat mengesankan dirinya sebagai calon pemimpin yang berpotensi bersikap otoriter kepada media.

Kalau sudah begini, masihkah ada harapan kebebasan berpendapat dan kebebasan pers dapat terakomodir jikalah ia terpilih? Anda yang bisa menilai sendiri.

referensi tulisan: 1 2

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Inovasi Selengkapnya
Lihat Inovasi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun