Mohon tunggu...
Shulhan Rumaru
Shulhan Rumaru Mohon Tunggu... Administrasi - Penikmat Aksara

Penikmat Aksara

Selanjutnya

Tutup

Politik Artikel Utama

Habib Rizieq dan Hiperealitas Panggung Politik

13 November 2018   04:33 Diperbarui: 13 November 2018   08:17 1140
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Nah, sekarang, gerakan demo berjilid-jilid ini, mulai kembali digalakkan dengan isu yang sedikit dimodifikasi seperti terjadi penistaan ulama, penculikan para ulama, pemerintahan Jokowi kontra Islam, dan pembiaran terhadap gejala kebangkitan PKI.

Namun sayangnya, narasi ini dianggap kurang pas karena Jokowi yang memilih Kyai Ma'ruf sebagai wakil presiden dalam kandidasi Pilpres kali ini, seakan-akan menjadi pengunci permainan isu SARA.

Tapi, bukan HRS dan komplotan kalau tidak pandai memproduksi isu dan mendistribusikannya kepada publik sebagai isu bersama. Seperti yang kita tahu, belum lama ini umat Islam dibuat sibuk dengan demonstrasi bela tauhid yang tersulut akibat aksi pembakaran bendera HTI.

Alasan yang santer dinarasikan dari kasus ini adalah Banser membakar kalimat tauhid atau Banser membakar panji Rasulullah. Sontak saja masyarakat yang merasa mencintai agamanya pun terbakar dan akhirnya demonstrasi pun berlanjut.

Tapi apa yang terjadi? Demonstrasi justru lebih pada orasi menurunkan Jokowi dan 2019 tetap ganti presiden. Belum lagi, aksi tersebut ditunggangi HTI yang masih getol mendomplengi FPI untuk menyuarakan khilafah yang justru kian nampak utopis.

Selain itu, saking rapi dan terorganisirnya aksi-aksi politik berselimut legitimasi agama ini, publik pun akhirnya bingung dan bertanya-tanya, sebenarnya narasi manakah yang benar, narasi pemerintah atau narasi pentolan FPI dkk?    

Merujuk pandangan Jean Baudrillard dalam tulisannya The Precession of Simulacra, bahwa kinerja provokasi berlabel agama ini dapat menimbulkan kebingungan rasional atau disebut reality by proxy sekaligus memunculkan solusi imajiner.

Perilaku politik yang ditonjolkan HRS dkk saat ini adalah menonjolkan persepsi yang cenderung palsu (seolah-olah mewakili kenyataan). Bahkan, realitas yang dibangun di ruang publik sekarang ini, pun membuat kita sulit membedakan antara imajinasi dan fakta sebenarnya.

Mengapa begitu? Sebab reality by proxy ini dimaksudkan sebagai ketidakmampuan kesadaran dalam membedakan antara realitas dan fantasi. Kini, siapa yang mampu memverifikasi secara benar, mana informasi valid dan mana informasi rekaan? Tidak ada, kecuali jurnalisme profesional yang barangkali juga tengah goyah. 

Maklum saja, media pun kini berkubu-kubu, yang akhirnya publik semakin tersegregasi, kian terklaster dalam pilihan-pilihan politik yang terkadang manisnya diteguk para pembuat skenario dan pahitnya ditenggak publik.

Selanjutnya, publik pun semakin bingung dengan realitas simbolik yang ditawarkan media melalui kemasan kepentingan yang sulit ditangkap sebagai sebuah kebenaran ataukah simulasi realitas saja. Ini pun dapat disebut sebagai solusi imajiner sebab kehadiran antara realitas dan sesuatu yang bersifat non-empiris dihadirkan dalam satu balutan kesan lewat pemberitaan atau publisitas.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun