Setelah lepas landas lewat lomba MyKompasiana, saya menerbangkan pesawat Kompasiana ini mengarah landasan terbaik yang saya tuju; Editor. Meski begitu, pesawat ini tidak saya terbangkan sendiri. Saya ingat, Mas Hazmi Srondol pernah bilang “Succes is not one man show, Mas Shulhan.” Dan, rasanya sejalan dengan karya John C. Maxwell, “Teamwork makes the dreamwork.”
Keakraban saya dengan Mas Hazmi tak sebatas komen-komenan di lapak. Kalau tak berlebihan—saya menjulukinya, penemu bakat. Yups, dengan hanya bermodal percaya, dia nekat menyerahkan sebongkah naskah untuk saya editori. Saya diajak bekerja sama secara profesional, meeting dari Jakarta-Bekasi demi mengujudkan bukunya. Tentu, saya tidak sendiri, dibantu beberapa Kompasianer juga. Dengan semua lika-likunya, karya pertama saya sebagai editor pun terbit, sebuah novel travelling bergendre humor yang mengupas Negeri Pizza dengan kocak, “Srondol Gayus ke Italy” karya Hazmi Srondol (2011). #ForzaMilan
Seperti menemukan titik tolak, lompatan saya di dunia buku menjadi lebih jauh. Saya disuguhi tantangan oleh pengamat komunikasi politik Dr. Gun Gun Heryanto untuk meracik ratusan tulisannya di media massa menjadi sebuah buku berjudul “Dinamika Komunikasi Politik” diawal 2011 dulu. Pinangan juga datang dari Kompasianer senior yang sangat produktif dan matang dengan motto menulisnya: Pena Sehat, Pena Kawan, Pena Saran. Siapa lagi kalau bukan Pak Thamrin Dahlan. Dari Pak TD, saya meramu naskah dari kumpulan tulisan beliau di Kompasiana yang diberi judul “Bukan Orang Terkenal”.
Lagi asik-asiknya mengedit buku, saya mendapat kejutan dari Dr. Gun Gun Heryanto untuk berkolaborasi menulis buku. Minat saya dalam kajian media dan politik, akhirnya menemukan momentum perujudan dalam bentuk buku. Terbitlah buku “Komunikasi Politik Sebuah Pengantar” di tahun 2013. Pun belum lama ini, saya merayakan kemerdekaan sebagai editor dengan terbitnya buku “Asketisme Pendidikan” karya Dr. Fadlil YAS. Doakan ya, semoga selalu produktif. Amin.
Lanjut! Dari pengalaman mengeditori buku dan terbiasa bersentuhan dengan industri buku, akhirnya saya mengajak dua sahabat karib Kompasianer untuk mendirikan Arts Publishing (Arts-P); sebatas self publishing atau penerbit indi yang kami dedikasikan untuk dunia pendidikan, dan bukan untuk tujuan komersil. Ya, bisa dibilang, ini projek idealis kami sebagai anak muda yang belum mengerti pentingnya menimbun uang.hehehe. Projek pertama Arts-P yaitu menggarap kumpulan cerpen alumni Pesantren Darussalam, Ciamis, Jawa Barat. Buku yang kami terbitkan ini, pun kami sebarluaskan ke beberapa pesantren dan sekolah hingga ke pelosok Maluku.
[caption = "Resensi Kumcer di Republika oleh Rosi Meilani, Penulis buku Jelajah Inggris."]
Syukur, semua ini saya anggap sebagai investasi masa datang yang sejujurnya bukan pada orientasi kumulasi ekonomi yang tak seberapa. Ini hanya “investasi keabadian” yang kalau kata Budiman Hakim, “Sebelum mati, buatlah minimal satu buku.” Dalam versi lain, Opa Rudi Fofid bilang, “Setiap orang adalah sejahrawan bagi dirinya sendiri.” Mungkin, saya belum banyak karya sebagai penulis tapi saya berinvestasi dengan belajar sebagai editor.
Terakhir, saya semakin merasakan manfaat ngeblog dan membangun jejaring komunitas di Kompasiana saat dilibatkan sebagai salah satu perwakilan Kompasianer Amboina dalam sebuah kesempatan advokasi jalan untuk Desa Ema di Kota Ambon bersama komunitas Ema Bergerak, Persatuan Anak Muda Maluku, Gerakan Sayang Maluku, Ambon Bergerak (Paparisa), Mollucan Backpackers, Bengkel Sastra Maluku, Pemuda Katolik Maluku, dll. Gerakan yang mengusung keadilan untuk Negeri Ema ini berhasil mencuri perhatian pemerintah daerah dengan tulisan-tulisan Kompasianer Amboina.
Dimotori Cha Nita, komunitas Kompasianer Amboina yang baru seumur jagung itu sudah menyusun dan menjalankan beberapa program melek internet sehat di Maluku, seperti yang direportasekan Cha Roesda Leikawa. Kami pun sempat diajak siaran di RRI Produa Ambon untuk memperkenalkan komunitas Kompasianer Amboina.
Ke depan, harapan saya semoga Kompasiana semakin esensial, bukan sensasional. Kooperatif terhadap keluhan user, lekas tanggap darurat aduan, tak henti berinovasi, dan para admin senantiasa egaliter. Sebagai penutup testimoni yang panjang kali lebar ini, perkenankan saya mengutip doa termanis seorang sahabat di sudut gereja: “Tuhan, mampukan kami. Manfaatkanlah setiap potensi kami untuk kebaikan orang lain.” Amin. [SR]