"Siapa itu, Shulhan Rumaru? Bukan orang terkenal, kok, jadi bintang iklan Kompasiana!!!" Kata Kang Pepih Nugraha sewaktu saya jumpai di kantor Kompasiana untuk tanda tangan kontrak iklan.
"Justru itu, Kompasiana akan makin dibincangkan karena memilih orang yang 'salah/tidak tenar' macam saya," sergah saya buru-buru. Dan, tawa kami pun pecah.
****
Entah tafsir apa yang bakal mengemuka saat bising tetawa ringan kami meledak di langit-langit kantor Kompasiana, tapi saya dan Kang Pepih boleh jadi punya pemaknaan berbeda dari sekadar tertawa. Hanya kenikmatan yang menggelinjang di dada, saat saya berhasil menertawai diri sendri kala itu. Alhamdulillah. Saya selalu teringat-ingat kebersahajaan Kompasianer kawakan Pak Thamrin Dahlan yang kian bersinar namun semakin merunduk bak padi yang kemuning.
Sebelumnya, maafkan yah karena tulisan ini bakal luber dan bikin pegel bacanya.hehehe. Ini hanya ekspresi kesenangan. Sabab-musababnya, lantaran iklan testimoni ngeblog di Kompasiana yang ditunggu-tunggu akhirnya muncul juga. Awalnya, 24 Agustus kemarin, mata kamera wartawan senior kompas.com Mas Primus menangkap iklan Kompasiana di Commuter Line Jakarta-Bekasi, lalu dipostingnya di facebook. Mbak Wawa yang lebih dulu dicolek Mas Primus, langsung senggol saya di FB.
Entah kebetulan atau sudah takdir, saya dipilih (hanya Admin yang tau mekanismenya) sebagai salah satu dari 10 Kompasianer yang jadi bintang iklan testimoni ini. Saya yang saat itu di pelosok Ambon, dengan kondisi susah sinyal, mendapat telpon dari salah satu pentolan Admin Mbak Warda Fajri. Kabar gembiranya, saya dipilih mewakili Kompasianer muda sebagai bintang iklan di KRL. Kok, saya? Padahal masih banyak Kompasianer muda yang jauh lebih mentereng produktifitasnya di Kompasiana.
Sepintas baca analisa Bang Mustafa Kamal, saya jadi ngerti kalau iklan ini keluar dari kelaziman sebuah konsep iklan testimoni. Biasanya orang terkenal atau publik figur yang layak memberi testimoni, tapi Kompasiana memilih sebaliknya. Orang macam saya, yang nobody ini, diberi kesempatan sebagai perwakilan. Oh, iya, bukan berarti 9 orang lainnya juga nobody, lho, ya… justru, mereka itu somebody dan inspirasi saya.
Inilah kesembilan bitang iklan lainnya: Ada Mas Junanto the Flying traveler, Mbak Marintan Ompusunggu (Pramugari di Dubai: ini terbang beneran), Mahasiswa Gizi UNDIP Mbak Listhia (Mbak, mau kan ajarin aku cara hidup lebih sehat.hehehe), Traveler Blogger Mbak Olivia Bendon, PNS Batam Mbak Cucum Suminar, Doktor muda lulusan Taiwan yang hobi melancong Mbak Marlistya Citraningrum (sekarang aktif di Indonesia Mengajar), Dokter dan Ahli Bahasa Pak Gustaaf Kusno (siap-siap, tulisan ini bakal dibongkar), Dosen dari tanah Papua Pak Ismail Wekke, dan Dokter dari kota gudeg Jogja Pak Wahyu Triasmara.
Kenal Kompasiana
Pertama kali kenal Kompasiana, sebenarnya hanyalah kebetulan dan ketidaksengajaan. Saya yang keranjingan facebook di awal 2010 silam, sering wara-wiri di kanal virtual itu hampir setiap hari, sekadar mengusir penat menggarap skripsi. Lantaran rajin mengembara di FB, saya tertumbuk sebuah tulisan renyah seorang kawan yang kebetulan gagasannya itu dituangkan di Kompasiana. Tulisan yang dibagikan di FB itu, menjadi awal perkenalan singkat saya dengan Kompasiana.
Sekilas bertanya-tanya dalam benak sendiri, “Kok, bisa kawan itu menulis di Kompasiana? Padahal dia bukan penulis.” Esoknya, kawan itu menulis lagi, bahkan lebih produktif lagi. Saking penasaran, saya mulai mengintip Kompasiana. Jujur, setelah sejam mondar-mandir sekitaran area welcome page, yang ada malah makin njelimet otak saya karena tak mampu mengidentifikasi mahluk apa Kompasiana itu (kuper maksimum.hehehe). Walhasil, saya tinggalkan kanal sosmed peranakan Kompas itu.
Suatu ketika dalam rapat redaksi Tabloid Institut UIN Jakarta, Redpelnya menyinggung seputar ngeblog. Pak Redpel maunya, konten berita tabloid dimuat juga dalam sebuah blog dengan domain khusus. Dari situ, seluruh reporter diakrabkan dengan aktivitas ngeblog (jangan tanya apa blog saya.hehehe). Sejak itu, saya mulai kenal dunia blogging dan memberanikan diri pedekate ulang dengan Kompasiana.
Belajar Menulis
Pertengahan 2010, tepatnya 22 Juni, saya terlahir sebagai Kompasianer. Layaknya bayi, saya mulai menerka-nerka lingkungan sekitar dan belajar apa saja yang dilihat, didengar, diraba, dan dirasakan tentang aktivitas ngeblog di Kompasiana. Berselang dua bulan, pada September yang kemarau, saya sudahi fase paceklik menulis dengan satu artikel amburadul yang gagal “panen” alias minim pembaca dan sedikit komentar. Tapi syukur, tulisan itu ada kritik dan interakasi. Pokoknya, kegagapan ngeblog selama ini, saya terapi dengan satu artikel pembuka. Seterusnya, saya getol memproduksi sejumlah tulisan yang sering menuai kritik, saran, sekaligus support.
Saat dihantam kritik, rasanya mau lari, tapi ada rindu untuk kembali berbaur di Kompasiana. Saat kebanjiran saran, saya semakin sadar diri bahwa “Yang saya tahu, saya tidak tahu.” Begitupun saat diemong para sahabat Kompasianer, rasanya ada keluarga baru sekalipun itu di jagat virtual yang serba misteri. Kuncinya, “Sharing. Connecting”. Selama periode awal menulis, saya banyak belajar dari tulisan-tulisan Om Jay, Mas Katedrajawen, Kong Ragile, Mbak Annisa F Rangkuti, dan Om Dian Kelana. Dari sana, ada hasil yang saya tuai, deberapa tulisan mulai diganjar headline. Otomatis, hormon-hormon endofrin saya meningkat drastis, tak terbendung. Bawaannya, jingkrak-jingkrakan saking girangnya.
Menjelang ultah Kompasiana yang ke-2 tahun, Admin menyemarakkan Kompasianival dengan lomba menulis tentang “My Kompasiana”. Saya pun menjajal lomba untuk pertama kali. Pokoke, nothing to lose. Menang gak menang bukan persoalan, sing penting njajal aja dulu. Sawaktu pengumunan pemenang lomba pada puncak Kompasianival di Kafe MU Sarinah, Jakarta Pusat, saya putuskan tidak hadir karena sudah yakin tidak masuk daftar tulisan terfavorit sekalipun. Dalam hati menghibur diri, “Ko tenang saja Pace, tenang eee….” :D
Dua hari pasca-Kompasianival, saya intip notifikasi artikel saya dari Mbak Winda Krisnadefa, Bang Zulfikar Akbar, dan Mas Hazmi Srondol. Seragam komennya; “Selamat jadi pemenang pertama.” Senang bercampur aduk jadi gado-gado keraguan. “Menang? Ah, gak mungkin. Pasti becanda ini… becandaaa…” Sangkal saya. Alhamdulillah, benar-benar surprise akhir tahun berada di pucuk lomba MyKompasiana (baca artikelnya di sini).
Konversi Ngeblog: Dari Kompasiana jadi Profesi
Ternyata, bukan cuma minyak tanah yang dikonversi ke gas elpiji. Ngeblog pun butuh dikonversikan. “Kompasiana gak bisa kasih apa-apa. Tapi, kami (admin) berharap Kompasianer bisa mengonversi kegiatan ngeblog di Kompasiana dalam keuntungan lain,” jelas Kang Pepih Nugraha sewaktu bincang-bincang di Palmerah. Ah, mungkin Kang Pepih lupa tapi nasihat ini napel di otak saya.
Setelah lepas landas lewat lomba MyKompasiana, saya menerbangkan pesawat Kompasiana ini mengarah landasan terbaik yang saya tuju; Editor. Meski begitu, pesawat ini tidak saya terbangkan sendiri. Saya ingat, Mas Hazmi Srondol pernah bilang “Succes is not one man show, Mas Shulhan.” Dan, rasanya sejalan dengan karya John C. Maxwell, “Teamwork makes the dreamwork.”
Keakraban saya dengan Mas Hazmi tak sebatas komen-komenan di lapak. Kalau tak berlebihan—saya menjulukinya, penemu bakat. Yups, dengan hanya bermodal percaya, dia nekat menyerahkan sebongkah naskah untuk saya editori. Saya diajak bekerja sama secara profesional, meeting dari Jakarta-Bekasi demi mengujudkan bukunya. Tentu, saya tidak sendiri, dibantu beberapa Kompasianer juga. Dengan semua lika-likunya, karya pertama saya sebagai editor pun terbit, sebuah novel travelling bergendre humor yang mengupas Negeri Pizza dengan kocak, “Srondol Gayus ke Italy” karya Hazmi Srondol (2011). #ForzaMilan
Seperti menemukan titik tolak, lompatan saya di dunia buku menjadi lebih jauh. Saya disuguhi tantangan oleh pengamat komunikasi politik Dr. Gun Gun Heryanto untuk meracik ratusan tulisannya di media massa menjadi sebuah buku berjudul “Dinamika Komunikasi Politik” diawal 2011 dulu. Pinangan juga datang dari Kompasianer senior yang sangat produktif dan matang dengan motto menulisnya: Pena Sehat, Pena Kawan, Pena Saran. Siapa lagi kalau bukan Pak Thamrin Dahlan. Dari Pak TD, saya meramu naskah dari kumpulan tulisan beliau di Kompasiana yang diberi judul “Bukan Orang Terkenal”.
Lagi asik-asiknya mengedit buku, saya mendapat kejutan dari Dr. Gun Gun Heryanto untuk berkolaborasi menulis buku. Minat saya dalam kajian media dan politik, akhirnya menemukan momentum perujudan dalam bentuk buku. Terbitlah buku “Komunikasi Politik Sebuah Pengantar” di tahun 2013. Pun belum lama ini, saya merayakan kemerdekaan sebagai editor dengan terbitnya buku “Asketisme Pendidikan” karya Dr. Fadlil YAS. Doakan ya, semoga selalu produktif. Amin.
Lanjut! Dari pengalaman mengeditori buku dan terbiasa bersentuhan dengan industri buku, akhirnya saya mengajak dua sahabat karib Kompasianer untuk mendirikan Arts Publishing (Arts-P); sebatas self publishing atau penerbit indi yang kami dedikasikan untuk dunia pendidikan, dan bukan untuk tujuan komersil. Ya, bisa dibilang, ini projek idealis kami sebagai anak muda yang belum mengerti pentingnya menimbun uang.hehehe. Projek pertama Arts-P yaitu menggarap kumpulan cerpen alumni Pesantren Darussalam, Ciamis, Jawa Barat. Buku yang kami terbitkan ini, pun kami sebarluaskan ke beberapa pesantren dan sekolah hingga ke pelosok Maluku.
[caption = "Resensi Kumcer di Republika oleh Rosi Meilani, Penulis buku Jelajah Inggris."]
Syukur, semua ini saya anggap sebagai investasi masa datang yang sejujurnya bukan pada orientasi kumulasi ekonomi yang tak seberapa. Ini hanya “investasi keabadian” yang kalau kata Budiman Hakim, “Sebelum mati, buatlah minimal satu buku.” Dalam versi lain, Opa Rudi Fofid bilang, “Setiap orang adalah sejahrawan bagi dirinya sendiri.” Mungkin, saya belum banyak karya sebagai penulis tapi saya berinvestasi dengan belajar sebagai editor.
Terakhir, saya semakin merasakan manfaat ngeblog dan membangun jejaring komunitas di Kompasiana saat dilibatkan sebagai salah satu perwakilan Kompasianer Amboina dalam sebuah kesempatan advokasi jalan untuk Desa Ema di Kota Ambon bersama komunitas Ema Bergerak, Persatuan Anak Muda Maluku, Gerakan Sayang Maluku, Ambon Bergerak (Paparisa), Mollucan Backpackers, Bengkel Sastra Maluku, Pemuda Katolik Maluku, dll. Gerakan yang mengusung keadilan untuk Negeri Ema ini berhasil mencuri perhatian pemerintah daerah dengan tulisan-tulisan Kompasianer Amboina.
Dimotori Cha Nita, komunitas Kompasianer Amboina yang baru seumur jagung itu sudah menyusun dan menjalankan beberapa program melek internet sehat di Maluku, seperti yang direportasekan Cha Roesda Leikawa. Kami pun sempat diajak siaran di RRI Produa Ambon untuk memperkenalkan komunitas Kompasianer Amboina.
Ke depan, harapan saya semoga Kompasiana semakin esensial, bukan sensasional. Kooperatif terhadap keluhan user, lekas tanggap darurat aduan, tak henti berinovasi, dan para admin senantiasa egaliter. Sebagai penutup testimoni yang panjang kali lebar ini, perkenankan saya mengutip doa termanis seorang sahabat di sudut gereja: “Tuhan, mampukan kami. Manfaatkanlah setiap potensi kami untuk kebaikan orang lain.” Amin. [SR]
Terimakasih Kompasiana
(Semua foto milik penulis. Foto pertama, dokumen Kompasiana)
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H