Mohon tunggu...
Shulhan Rumaru
Shulhan Rumaru Mohon Tunggu... Administrasi - Penikmat Aksara

Penikmat Aksara

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Artikel Utama

Dilema Gepeng dan Perda DKI Nomor 8

4 Oktober 2013   14:58 Diperbarui: 24 Juni 2015   07:00 1098
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

[caption id="attachment_283098" align="aligncenter" width="604" caption="Nenek Enot dan uang 3,5 juta miliknya. Ilustrasi dari Facebook Miftahul Huda, Kepala Seksi Penertiban dan Rehabilitasi Sudinsos Jaksel "][/caption]

***********

Belum lama ini, ramai berita di media arus utama (mainstream media) tentang penertiban para gelandangan, pengamen, dan pengemis (GEPENG) oleh Suku Dinas Sosial (Sudinsos) DKI Jakarta. Dalam operasi menjaring Gepeng ini, Sudinsos DKI dikejutkan dengan jumlah uang yang dimiliki para Gepeng tersebut. Seperti yang diberitakan (di sini, di sini, dan di sini), khususnya para pengemis di DKI Jakarta bisa berpenghasilan 700 ribu per hari. Jika dikalkulasikan dalam sebulan, penghasilan mereka tentu melebihi rata-rata penghasilan para buruh pabrik, mahasiswa fresh graduate, atau karyawan biasa yang masih di level mekanistik.

Tentu, ini persoalan klasik karena dari tahun ke tahun jumlah Penyandang Masalah Kesejahteraan Sosial (PMKS) alias Gepeng bertambah. Bahkan, di momentum-momentum tertentu, jumlah mereka bisa naik berkali-kali lipat. Pada 2008 silam, di salah satu panti sosial di Jakarta mengalami overload lantaran jumlah PMKS/Gepeng terus meningkat. Biasanya, jumlah PMKS mencapai 400 orang, namun di bulan puasa meningkat menjadi 900 orang. Bahkan, Mensos Salim Assegaf pada Juli 2013 lalu mengatakan, jumlah PMKS/Gepeng pada bulan biasa mencapai 1000 orang, namun meningkat menjadi 6000 orang di bulan puasa.

Terlepas dari data dan fakta di atas, dalam keseharian, Saya juga seringkali bersinggungan dengan para PMKS ini, terutama saat berkeliling Jakarta dengan menggunakan transportasi massal seperti angkot, kereta api, bus, maupun minibus. Semua moda trasnportasi tersebut, selalu bebas dimasuki para PMKS/Gepeng. Lebih sering, mereka yang mengamen. Tak hanya itu, terkadang di tepi mall dan kampus pun sudah disusupi para PMKS ini. Saya jadi berpikir, ini bukan masalah biasa karena sudah seperti jejaring PMKS yang sengaja ditebar di berbagai titik penting untuk menggugah rasa kasihan/ empati dan simpati orang lain sebagai ladang rejeki.

Pada 27 September pekan kemarin, Kepala Seksi Penertiban dan Rehabilitasi Sudinsos Jaksel Miftahul Huda mengunggah foto seorang pengemis yang berhasil dijaring Sudinsos Jaksel di depan Pasar Mampang Prapatan. Pengemis itu punya uang sejumlah Rp3.500.000 dalam karung yang dia bawa. "Seorang pengemis setelah diamankan oleh petugas ternyata di tasnya ada uang Rp 3.5oo.ooo. Luar biasa," tulis Kang Huda pada bagian keterangan fotonya. Sontak saya terkejut, "Serius, Kang?" tanya saya di FBnya. "Kalau gak serius ya gak saya posting, Kang," jawabnya.  Wow, saya cuma bisa geleng kepala, masih tidak percaya dengan uang sang pengemis. Saya langsung ingat Perda Khusus DKI nomor 8 tahun 2007 tentang Ketertiban Umum, Bab VIII terkait Tertib Sosial, pasal 39-40, yang membahas larangan menjadi, menyuruh, dan atau memberi pada Gepeng/PMKS.

Terkait perda ini, sempat di tahun 2008 saya beserta teman-teman di Lembaga Pers Mahasiswa Tabloid Institute UIN Jakarta mengulasnya dalam liputan khusus (Lipsus), mulai dari ruang hijau tata kota, tertib lalu lintas, jalur umum, termasuk mengupas tuntas aplikasi perda ini terkait Gepeng, juga sisi humanis para Gepeng. Saat itu, saya wawancara beberapa pengemis dan pedagang asongan di Pasar Jumat, Lebak Bulus, Jaksel. Seorang pedangan asongan, sebut saja AH, mengaku 15 tahun menjadi pedangan asongan. Dia mampu mencukupi keperluan keluarga di kampungnya, Tasikmalaya, membangun rumah, dan menyekolahkan anak.

Lantas saya tanya lagi, kenapa tidak coba profesi lain? "Saya bisanya ini. Keahlian lain tidak punya. Ini aja resikonya dikejar-kejar Satpol PP, ditendang, sempat dipenjara 1 hari," akunya. Dalam sehari, dia bisa kantongi 200-300 ribu, tentu jualan dari pagi sampai malam. Dia juga punya bos yang sudah menyediakan semua keperluan "mengasong" ini, dan setoran sekitar 70 ribu. Tentu, si bos punya banyak pekerja asongan. Tetap untung meski setoran hanya kisaran 70 ribu.

Lain dengan seorang pengamen dan pengemis di dekat kampus UIN Jakarta (Ciputat). Waktu itu saya cukup rajin memberi si pengamen, terutama pas makan siang di kantin samping kampus. Ternyata, saat saya hendak sholat Ashar, saya bertemu si pengamen sedang menyalakan motornya, terlihat baru dan kinclong. Sontak, saya kaget. "Mas, ngapain di situ?" tanya saya..."Eh, mas. Saya mau pulang dulu," jawabnya singkat sambil melempar senyum. "Oh My God________," saya tidak bisa berkata lagi, terperanga. Kalau si pengemis, saya beri ongkos pulang plus uang saku sedikit saja karena katanya nyasar dan tak bisa pulang ke Bogor. Esoknya, saya jumpa dia lagi sedang modus ngemis ke yang lain. Et dah, capek deh, ketipu lagi saya.hehehe.

Penerapan Perda

Saya punya kesempatan mewawancarai Budi Rahman Hakim (BRH) yang saat itu menjabat Direktur Perusahaan Rakyat Merdeka Group. Selain sebagai pemerhati lingkungan dan mendirikan sekolah berbasis lingkungan di BSD City, dia juga alumni LPM Institute, jadi lebih muda dapat waktu wawancara ekslusif. Dalam sedan mewah miliknya yang melaju sepanjang jalan menuju Dinsos DKI Jakarta karena diundang sebagai pembicara, saya dan seorang kawan bertanya panjang lebar soal lingkungan hijau Jakarta.

Menurut BRH, Jakarta sudah saatnya meniru beberapa kota maju di dunia seperti Beijing di Cina, dan beberapa kota besar Australia yang sudah memodifikasi lahan hijau kota lebih asri dan sangat baik. Dia berharap, Pemda DKI tegas menjaring para Gepeng, namun disertai pembekalan keterampilan diri dan lapangan usaha agar mereka tidak kembali ke jalan pascaditangkap. Intinya, memberdayakan para Gepeng, terutama di sektor ekonomi yang bisa mencukupi kehidupan para Gepeng dan keluarga kecil mereka. Namun, sampai berakhir masa jabatan Gubernur DKI Jakarta Fauzi Bowo, Jakarta masih belum berubah.

Pada 2 Oktober kemarin, saya kirim pesan ke inbox FB Kang Huda untuk bertanya seputar pengemis bernama Enot yang punya uang 3,5 juta dalam karung. Sebagai Kepala Seksi Penertiban dan Rehabilitasi Sudinsos Jaksel, tentu Kang Huda tahu betul soal penjaringan para Gepeng, termasuk nenek Enot yang berusia 71 tahun itu. Nenek Enot asal Rangkasdengklok, hidup nomaden, dan saat ini sudah diserahkan ke panti sosial oleh Dinsos DKI Jakarta.

Menurut Kang Huda, untuk mencegah para Gepeng, masyarakat harus sadar diri untuk tidak mudah memberi. Hal ini terkait, mental pengemis yang apabila diberi, akan semakin keasyikan mencari rejeki dengan jalan mengemis. "Kesadaran warga untuk tidak membeli dan memberi di jalan. Kalau warga gak ngasih ya gak ada pengemis," ungkapnya. Lanjutnya, pengamen dan pengemis yang berhasil dijaring akan diserahkan ke panti sosial yang khusus menangani hal ini, atau dikembalikan pada pihak keluarga jika para Gepeng masih punya sanak keluarga. "Kalau ada keluarganya, dikembalikan. Kalau gak ada, ya dibina di panti," jelas Kang Huda.

Sementara itu, berdasarkan keterangan Ibu Marwi Mar kepada saya melalui jejaring sosial Facebook, bahwa para Gepeng yang usia sekolah dikirim ke panti sosial asuhan anak. Di sekolahkan hingga SLTA dan diberi ketrampilan otomotif, tata busana, tata boga, dan montor. Lalau bagaimana dengan para lansia? "Kalau lansia ke panti sosial Tresna Werda, dibina dan dilindungi... all service for lansia terlantar (sandang, pangan, papan, kesehatan ect )," jelas Ibu Mar yang juga bekerja di Pemda DKI ini.

Permasalahan kesejahteraan sosial di Jakarta memang masih jadi pekerjaan rumah bagi Pemda DKI dan dinas-dinas terkait. Selain itu, tanpa mengabaikan keingin untuk berbuat baik pada sesama, kita juga perlu tahu secara strategis menempatkan bantuan agar tidak salah target kepada para Gepeng (terlebih yang punya jaringan/ semacam kartel bisnis para Gepeng) karena hal ini bisa mejadi zona nyaman bagi mereka, dan akan tetap bermental sebagai gelandangan, pengemis dan pengamen.

Bukan cuma itu, penertiban para Gepeng pun seharusnya lebih persuasif, agar tidak ada persoalan traumatik kekerasan atas nama Satpol PP sebagaimana pengakuan para Gepeng. Penangan pasca penangkapan pun harus baik agar mereka para Gepeng lebih merasakan kasih sayang sebagimana di rumah, bukan kasih sayang ala jalanan yang cenderung tanpa pengawasan.

"Dinsos punya 7 panti sosial untuk menangani anak terlantar dan anak putus sekolah. 5 panti sosial Tresna Wedha untuk membina dan melindungi lansia terlantar, 4 panti sosial yang menangani laras terlantar. Yang keseluruhan 27 panti sosial di Dinsos DKI." Selain itu, para lansia terlantar yang diketemukan, atau masih punya keluarga, akan dikembalikan ke pihak keluarga," tutup Ibu Mar.

Salam Kompasiana

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun