Mohon tunggu...
Shulhan Rumaru
Shulhan Rumaru Mohon Tunggu... Administrasi - Penikmat Aksara

Penikmat Aksara

Selanjutnya

Tutup

Inovasi

Mengapa Diet Media Itu Penting?

27 Mei 2011   00:05 Diperbarui: 26 Juni 2015   05:10 335
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
13969732561607506757

[caption id="attachment_319287" align="aligncenter" width="500" caption="shutterstock"][/caption]

Mungkin, telah terpatri dalam pikiran kita bahwa diet merupakan upaya melangsingkan tubuh untuk mendapatkan tubuh ideal sesuai keinginan kita. Alasan lain, kegiatan diet boleh jadi dilakukan karena faktor kesehatan. Misalkan, untuk menghindari obesitas. Tapi, bagaimana kalau diet juga diasosiasikan untuk media? Mungkin kita bertanya-tanya, apakah media butuh diet? Atau adakah alasan kesehatan terkait diet media?

Pada tahun 2006, organisasi nirlaba TV Free America yang bermarkas di Washington DC menggagas Pekan Tanpa TV Nasional pada 22-28 April. Menurut organisasi ini, dengan tidak menonton TV dalam sepekan, masyarakat lebih produktif mencari informasi, lebih selektif terhadap informasi, dan punya kesempatan luas dalam bersosialisasi.

Di Indonesia, dengan rentang waktu lebih singkat, juga dilaksanakan hari tanpa TV. Hari tanpa TV itu biasanya dikaitkan dengan Hari Anak Nasional. Setidaknya, maksud dan tujuannya sama seperti kegiatan Pekan Tanpa TV di Amerika. Namun sejauh ini, hari tanpa TV masih dibedakan dengan proses diet media. Bila hari tanpa TV berlangsung setahun sekali, maka diet media berlangsung setiap hari.

Ibarat orang yang ingin melakukan diet demi kelangsingan tubuhnya, maka dia harus mengurangi asupan jumlah makanan Karena alasan kesehatan. Diet media pun demikian, dilakukan setiap hari demi alasan kesehatan. Lalu kita bertanya, apa alasan kesehatannya? Mungkinkah media memberikan dampak negatif pada kita? Siapa yang perlu melakukan diet media, orang dewasa atau anak-anak? Mari kita bahas satu-persatu.

Menurut Yosal Iriantara, mengonsumsi media itu diibaratkan layaknya kita mengonsumsi makanan. Ada yang sekedar menghilangkan lapar, meski kandungan gizinya tidak baik. Ada yang kita butuhkan karena kandungan gizinya yang kita perlukan.  Ada juga yang membahayakan bagi sebagian orang sebab dapat meningkatkan kadar kolesterol atau membuat kandungan asam urat meningkat. Karena itu, ada makanan yang kita hindari, ada yang kita konsumsi dalam takaran tertentu, dan ada yang kita butuhkan.

Dari ilustrasi di atas, tergambar sudah alasan dan cara bagaimana mengonsumsi media. Artinya, dari sekian banyak pilihan konten media, baik mainstream media maupun sosial media, kita perlu selektif dalam mengonsumsinya. Dengan begitu, pola kita mengonsumsi media bersifat fungsional. Dari sekian banyak gerakan diet media, diet TV-lah yang wacananya paling banyak mencuat di publik.

Dengan beberapa penjelasan di muka mengenai diet media ini, saya ingin memfokuskan pada diet televisi, lebih khusus lagi diet televisi ini perlu dilakukan oleh anak-anak sesuai bimbingan orang tua. Alasannya, banyak program televisi yang tidak menyehatkan bagi anak-anak, baik sebagai asupan nutrisi pengetahuan maupun nutrisi psikis.

Ada beberapa alasan mengapa kita perlu melakukan diet televisi? Faktanya, banyak program anak-anak di televisi yang tak patut ditonton oleh anak-anak sendiri. Mengutip Yosal dari bukunya Literasi Media, bahwa berdasarkan kajian Komisi Penyiaran Indonesia (KPI) sesuai yang dikutip Kompas, menunjukkan ada 4 kategori pelanggaran tayangan program anak-anak di TV Indonesia. Pertama, mengandung unsur kekerasan. Tentunya Bapak, Ibu, ingat bagaimana media gencar membertakan anak-anak yang menjadi korban acara smack down atau film kartun Naruto.

Dua program di atas, hanya sebagian contoh saja dari sekian banyak program TV yang gemar menampilkan kekerasan, baik dalam bentul verbal maupun nonverbal. Bahkan tak sedikit, sinetron Indonesia mempertontonkan kekerasan verbal seperti memaki dan mengumpat. Kita perlu sadarai bahwa Televisi merupakan media dengan tingkat keterpengaruhan cukup besar bagi pola pikir kita. Semakin lama kita menonton TV maka pikiran kita akan menjadi passive dan mudah tersugesti oleh tayangan TV.

Berdasarkan kajian KPI, sebagaimana dikutip Kompas pada November 2008 silam, prosentase tingkat kekerasan di Televisi nasional, 95,8% berupa kekerasan fisik, 2,8% kekerasan fisik dan verbal, 1,4% kekerasan verbal. Pelanggaran kedua, mengandung unsur mistik, seperti menampilkan perilaku anak agar percaya pada paranormal, klenik, praktik spiritual mistik.

Ketiga, pelanggaran dengan unsur pornografi. Misalkan, menampilkan cara berbusana you can see di hadapan umum. Keempat, pelanggaran tayangan anak yang mengandung perilaku negatif, seperti menayangkan sikap kurang ajar pada orang tua atau guru dan menggambarkan penggunaan alkohol atau rokok. Jadi, mulai saat ini mari waspadai keluarga anda dari pengaruh negatif media, supaya suasana keluarga tetap aman, nyaman, dan tenteram. Amiin.

Salam Kompasiana

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Inovasi Selengkapnya
Lihat Inovasi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun