Belakangan ini banyak mahasiswa yang mengeluhkan perihal pemberlakuan sistem perkuliahan online. Keluhannya bervariasi, mulai dari dosen yang tidak "memanusiakan" mahasiswanya dengan cara memberikan banyak tugas hingga keluhan jebolnya kuota internet akibat perkuliahan online.Â
Kemudian mahasiswa yang mengeluh tersebut lebih memilih jalan ninjanya yakni dengan cara melampiaskan pada story WhatsApp, Twitter, dan sosial media lain.
Dibarengi dengan ungkapan hati PASRAH dibumbui dengan kata-kata umpatan kekecewaan di lingkup mahasiswa. Wajar saja mahasiswa mengeluh, kecewa, sedih, benci, pasrah, semua campur jadi satu. Sebab mereka di awal semester telah membayar UKT. Pasti yang diharapkan mahasiswa adalah terpenuhinya fasilitas dan pelayanan yang baik untuk menunjang perkuliahan mereka.Â
Meskipun pengalihan perkuliahan ke sistem online dilakukan serentak, karena adanya sebuah musibah global Covid-19, tapi tetap saja mahasiswa kiranya juga berhak menuntut apa yang menjadi haknya terpenuhi. Jika berbicara kemanusiaan, kekecewaan mahasiswa ini juga karena soal memperjuangkan kemanusiaan juga.
Mari kita analisis bersama. Tadi di awal sudah saya katakan bahwa untuk bisa mengikuti perkuliahan pada semester ini, mahasiswa harus bayar UKT. Nah, dengan sadar kita ketahui bersama bahwa masing-masing mahasiswa memiliki ceritanya sendiri-sendiri tentang perjuangan orangtuanya mencarikan uang guna membayar UKT tersebut.
Ada yang orangtuanya menggadaikan motor, tanah, sawahnya. Ada yang bekerja serabutan pagi siang hingga malam. Ada yang orangtuanya berdagang keuntungan sedikit demi sedikit dikumpulkan.
Ada yang orangtuanya sebagai petani yang setiap hari dihantui gagal panen, harga hasil panen murah dan lainnya. Namun mereka semua tetap berjuang, supaya UKT anaknya terbayar dan anaknya bisa terus mengikuti semester perkuliahan.Â
Ini menurut saya juga termasuk bahasan kemanusiaan, bukan soal untung rugi UKT. Kemudian hal itu jadi ironi, jika UKT yang telah dibayarkan tidak sebanding apa yang didapatkan oleh mahasiswa, baik perihal fasilitas ataupun pelayanan dari kampus.
Jadi wajar dong, jika mahasiswa teriak untuk Cashback UKT. Mari kita bedah fasilitas apa saja yang tidak didapatkan oleh mahasiswa semenjak pemberlakuan kuliah online.Â
1. Tidak Dapat Fasilitas Perpustakaan
Pelayanan mahasiswa untuk dapat mencari, membaca buku dan meminjam buku di perpustakaan kampus otomatis berhenti, dialihkan ke online.
Namun aktivitas tersebut tidak menutup kemungkinan fasilitas buku di perpustakaan digital yang dimiliki oleh kampus, tidak selengkap dengan perpustakaan aslinya.Â
Kemudian dalam hal mencari referensi buku, jika di perpustakaan manual kampus saat kesulitan, kita bisa meminta bantuan petugas perpustakaan.
Lah ini, apakah petugas perpustakaan akan sanggup diminta bantuan oleh ribuan mahasiswanya, untuk membantu mencarikan buku yang dibutuhkan mahasiswa?Â
2. Kamar Mandi Tak Terpakai
Kampus juga memiliki fasilitas kamar mandi. Kalau kuliahnya online, otomatis mahasiswa tidak mendapatkan haknya untuk menggunakan kamar mandi tersebut. Mahasiswa kencing, berak, mandi pun di rumah. Jadi air dan fasilitas kamar mandi pun nganggur. Kampus jadi hemat dong, sudah tidak bayar biaya air.Â
Lah wong kampus aktif pun, airnya juga hemat kok, sampai kran diputar terus yang keluar hanya angin dan kekecewaan. Eh...
3. Gedung Olahraga Kampus Waktunya Rebahan
Fasilitas gedung, atau alat pendukung olahraga mahasiswa tidak dapatkan. Lapangan futsal, basket, sepak bola dan lainnya juga kali ini ikut "rebahan".
Eh bukannya lapangan itu tugasnya rebahan dan diinjak-injak ya? Lapangan ada harga dirinya ketika ia diinjak. Lah kamu? Harga dirimu yang diinjak-injak. Haha
Untuk sementara waktu mahasiswa diimbau untuk olahraga di rumah masing-masing. Sebab tidak mungkin kan, lapangan kampus di bawa pulang.Â
4. Laboratoriumnya Berdebu
Saat kuliah online, mahasiswa tidak mendapatkan fasilitas lab untuk praktik. Hingga kemudian mahasiswa khususnya yang sedang mengerjakan tugas akhir, dalam penelitian yang memerlukan lab beserta alat di dalamnya tersebut harus pasrah. Dan jika ingin penelitiannya berjalan, mahasiswanya harus meminjam laboratorium diluar, dan otomatis akan bayar lagi. Bayaarrr terooooooooos.Â
5. Taman Kampus Sepi
Mungkin bagi mahasiswa yang kuliahnya di taman kampus, akan merindukannya. Pohon dan udara kampus melambai-lambai rindu suasana diskusi mahasiswa, mahasiswa nongkrong, WiFi-an di tempatnya. Tapi apalah daya mahasiswa sementara ini tidak bisa bercengkrama bersama di taman kampus.
6.Aliran Listrik Kangen Sabungan Charger Laptop
Mahasiswa Ini khusus mahasiswa yang laptop dan hp-nya cepat habis, dan umumnya bagi seluruh mahasiswa, di kampus mereka difasilitasi stop kontak beraliran listrik di setiap sudut strategi kampus, di taman, ruang kelas, masjid, dan lainnya.Â
Tapi untuk kali ini, mahasiswa tidak bisa memanfaatkan fasilitas listrik tersebut. Mahasiswa menggunakan listrik pribadi di rumah masing-masing.
Kampusnya hemat, pembayaran listrik untuk bulan ini, selama keadaan masih seperti ini, maka biaya yang dikeluarkan kampus untuk membayar listrik tidak seberapa. Wah jadi kampus banyak hematnya dong, tapi bagaimana dengan kita mahasiswa.
Hak kita tentang fasilitas dan pelayanan bagi kami bagaimana?Â
7. WiFi Kampus yang Mubazir
Wah ini, sangat penting juga. Mahasiswa kehilangan akses internet WiFi kampus. Meski kuliah online jika mahasiswa bokek, tidak punya kuota internet, mereka tetap bisa ke kampus menggunakan WiFi kampus.
Lah ini? Mahasiswa harus berjuang untuk membeli paket kartu kuota internet, supaya bisa mengikuti perkuliahan online. Duit lagi, duh duh duh...Â
Terus UKT kita buat apa Woy...kok untuk menunjang perkuliahan online pun mahasiswa harus disuruh beli paket kuota sendiri. Apa nggak bisa ya, UKT mahasiswa dialihkan untuk subsidi kuota internet bagi per mahasiswa sendiri, misalnya.Â
8. Pelayanan yang baik harapan kami
Kami juga berharap meski kuliah online, rektor, dosen, pegawai, birokrat kampus tetap memberikan pelayanan yang terbaik bagi kami mahasiswa. Sebab dalam beberapa minggu pemberlakuan kuliah online, beberapa dosen telah tega dengan tidak memberikan pelayanan yang baik bagi mahasiswanya.Â
Seperti, saat mahasiswa memerlukan bimbingan skripsi online misalnya, padahal mahasiswa chat via WhatsApp pada jam kerja dosen. Tapi mengapa ada sebagian dosen yang berhari-hari tidak membalas WA dari mahasiswanya?Â
Maka dari itu, berikanlah pelayanan terbaik bagi para mahasiswa. Sebab bapak dan ibu dosen itu bekerja. Meski bekerja dari rumah, kiranya bapak ibu dosen, juga bekerja mengajar dan memberi bimbingan kepada mahasiswa pada waktu delapan jam kerja itu.Â
Tapi terlepas dari beberapa alasan di atas, sebagian kampus di Indonesia telah berupaya untuk memenuhi hak mahasiswanya, meski tidak keseluruhan, tapi kebijakan beberapa kampus ini kiranya cukup bisa dibilang dapatkan meringankan beban mahasiswa.
Seperti kampus Universitas Muhammadiyah Yogyakarta (UMY) dan Universitas Dian Nuswantoro Semarang (UDINUS), Universitas Ahmad Dahlan Yogyakarta (UAD), yang memberi subsidi kuota internet kepada para mahasiswanya.Â
Hal itu dilakukan guna menunjang efektifnya perkuliahan bagai mahasiswa. Sedikit melegakan, sebab meskipun mahasiswa tidak bisa menikmati fasilitas kampus yang ada, tapi setidaknya dengan adanya subsidi kuota internet tersebut mahasiswa merasa sedikit diringankan.
Lantas bagaimana dengan kampus-kampus yang lain? Entahlah, semoga saja pihak kampus-kampus lain sadar, dan minimal bisa mengikuti jejak kampus-kampus yang memberikan subsidi kuota internet tersebut. Dan menurunkan kebijakan lain yang meringankan mahasiswanya.
Apalah daya kami mahasiswa yang hanya bisa berharap, dan pak rektor yang menentukan.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H