Mohon tunggu...
SH Tobing
SH Tobing Mohon Tunggu... Konsultan - Berbagi Untuk Semua | shtobing@gmail.com | www.youtube.com/@belajarkoor

Ingin berbagi pengalaman dan pemikiran serta terus membaca untuk memperkaya wawasan. Kompasiana menjadi tempat yang ideal untuk berbagi pengalaman dan ide selama saya diberi kesempatan berkarya di dunia | Have a nice day! | https://www.youtube.com/@belajarkoor

Selanjutnya

Tutup

Worklife Artikel Utama

Upah Per Jam, Mengurangi Karyawan Bermasalah, Meningkatkan Produktivitas, dan Investasi

13 Oktober 2020   12:48 Diperbarui: 14 Oktober 2020   18:48 1625
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ke mall di Jam Kerja (dokpri)

Upah harian adalah zona nyaman yang seringkali membuat sebagian karyawan memanfaatkan dengan salah. Akibatnya malah jadi tidak produktif, karena banyak yang terlena, ngobrol, dan melakukan hal-hal yang tidak berguna bagi perusahaan. 

Kebiasaan itu malah membuat sebagian pekerja menjadi malas, serta banyak membuat alasan untuk bisa meninggalkan lokasi kerja. Seperti merokok atau melakukan berbagai hal yang tidak produktif, termasuk menggosip dan berbicara politik.

Akibat produktivitas yang rendah, maka perusahaan terpaksa mencari karyawan baru. Tetapi kebiasaan buruk mudah ditularkan, sehingga sebagian karyawan baru pasti akan tertular kebiasaan buruk karyawan lama. Kejadian seperti itu terus berlanjut tidak pernah habisnya, yang pasti akan membuat pengusaha pusing bagaimana mencapai tujuan perusahaan dengan efisien.

Kebiasaan Membuang Waktu Kerja

Ketika mengelola department ataupun divisi, saya juga menghadapi masalah seperti ini. Sangat sulit mengelola karyawan karena ulah beberapa karyawan yang sudah nyaman dengan jam kerja 8 pagi hingga 5 sore, tetapi dengan berbagai alasan sehingga bekerja dengan siklus berikut:

  1. Jam 08.00 - 08.30 masih sarapan
  2. Jam 08.30 - 09.00 merokok bagi perokok, atau berdandan dan menggosip di toilet
  3. Jam 09.00 - 10.00 membuka dan menjawab berbagai email (terkait pekerjaan maupun bukan)
  4. Jam 10.00 - 10.30 membicarakan berbagai email atau telpon yang masuk
  5. Jam 10.30 - 11.00 membeli atau membuat kopi atau beli snack
  6. Jam 11.00 - 11.30 melaporkan masalah yang mereka hadapi
  7. Jam 11.30 - 13.30 sudah keluar makan dan berbagai aktivitas istirahat lain (padahal istirahat jam 12.00 - 13.00)
  8. Jam 13.30 - 14.00 merokok bagi perokok, atau berdandan dan menggosip di toilet
  9. Jam 14.00 - 15.00 kembali membuka dan menjawab berbagai email (terkait pekerjaan maupun bukan)
  10. Jam 15.00 - 16.00 Mengerjakan pekerjaan yang pending dan mendiskusikan pekerjaan dengan saya atau dengan supervisor/manajernya
  11. Jam 16.00 - 16.30 Memilah pekerjaan untuk dikerjakan esok hari
  12. Jam 16.30 - 17.00 Bersih-bersih dan berdandan untuk siap-siap pulang
  13. Jam 17.00 - 19.00 Beberapa ada di kantor tapi untuk merokok dan bergosip dengan rekan-rekan lain

Siklus di atas terjadi kalau tidak ada rapat. Dan pengalaman saya, kalau ada rapat, banyak yang datang dengan tidak melakukan persiapan yang maksimal, karena waktu mereka sudah habis dipakai untuk berbagai hal yang tidak produktif.

Target dan Loading Tidak Efektif

Sejak saya ditugaskan memimpin sebuah team di tahun 1994, saya sudah melihat tipikal dari karyawan di Indonesia yang sudah terbuai dengan upah harian. Sehingga untuk keadilan dan menjaga etos kerja karyawan yang mau berprestasi, saya selalu menerapkan target loading untuk dicapai masing-masing karyawan sesuai dengan tugas dan tanggungjawab mereka. 

Saya secara terbuka menyatakan bahwa prestasi mereka akan dihitung dari loading yang sudah disepakati, dan bagi yang bisa melakukan pekerjaan lebih dari loadingnya dan dengan kualitas yang baik, akan menerima nilai plus dan menjadi dasar penilaian karya mereka.

Kendala yang saya temui, di berbagai bagian yang saya pimpin, baik fungsi back office, supporting, front office dan marketing, beberapa karyawan tidak perduli dengan nilai plus karena mengerjakan loading lebih. 

Mereka memilih mencapai target loading sesuai planning yang sudah dibuat untuk menghindari teguran. Dengan cara itu mereka sudah merasa puas dan tidak mau berbuat lebih.

Reward? Award? Who Cares

Para karyawan yang berprestasi selalu memperoleh berbagai reward, termasuk bonus dan hadiah pendidikan khusus bahkan tour. Tetapi itu semua tidak membuat karyawan lain yang biasa-biasa saja terpacu. 

Hal ini selalu saya diskusikan ketika konseling, tetapi sebagian dari mereka menanggapinya dengan setengah hati. Bahkan ada beberapa yang dengan gamblang mengatakan "terserah bapak saja".

Karyawan seperti itu sudah tidak perduli dengan kenyamanan yang lebih, karena dengan kondisi mereka sebagai karyawan tetap yang diupah harian, mareka sudah nyaman dan tidak merasa perlu untuk meningkatkan prestasi. Gaji mereka asal naik setiap tahun, padahal itu kenaikan untuk mengantisipasi inflasi, mereka terima dengan senang. 

Peningkatan Golongan Tidak Penting, Asal Tetap Bisa Asyik

Apalagi dengan adanya jaminan kesehatan dan tunjangan hari tua. Mereka merasa bahwa dengan menjadi karyawan tetap hidup mereka sudah aman dan nyaman, jadi buat apa melakukan yang lebih lagi. 

Golongan? Mereka tidak perduli. Contohnya sistem di perusahaan tempat saya bekerja, dibuat sangat jelas, setiap orang yang biasa-biasa saja akan lambat naik golongan. Sehingga bila satu level golongan ada 6 sub level (A, B, C, D, E dan F), maka hingga masuk usia pensiun karyawan "biasa-biasa" saja itu pasti tetap berada di kelompok golongannya. 

Misalnya ketika masuk kerja ia di golongan 3A, maka bila rata-rata kenaikan sub golongan "karyawan biasa-biasa saja" adalah 5 (lima) tahun, ketika mencapai golongan 3F dia perlu bekerja selama 25 tahun dan pasti tak lama lagi sudah masuk usia pensiun. Tapi mereka tetap tidak perduli, bagi mereka tidak perlu berprestasi untuk naik ke golongan 4, 5 dan seterusnya, kalau mereka harus kehilangan kesenangan mereka sehari-hari.

Banyak Masalah, Yang Mempersulit Perusahaan

Selanjutnya, berikut berbagai pengalaman selama memimpin berbagai divisi yang bagi saya sangat mengganggu:

  1. karyawan bermasalah tidak bisa dipacu, karena sudah merasa nyaman, jadi malas bahkan tidak perduli dengan berbagai reward
  2. tidak mudah memberi sanksi karyawan bermasalah, karena adabagian/divisi yang tidak perduli, membiarkan karyawan bermasalah kerja seenaknya
  3. sulit mem-phk walau karyawan bermasalah karena berbagai aturan yang melindungi mereka
  4. perusahaan memilih membiarkan karyawan bermasalah daripada memecatnya dan berhadapan dengan pihak-pihak yang suka memaksakan kehendak
  5. karyawan bermasalah menjadi contoh buruk bagi karyawan baru, bahkan mereka berani membuli karyawan baru yang tidak berpihak mereka
  6. tuntutan karyawan bermasalah banyak dan suka mencari-cari masalah karena memang kerjanya lebih banyak menggosip
  7. karyawan yang berprestasi tidak nyaman sehingga keluar meninggalkan perusahaan akiabtnya karyawan bermasalah semakin menumpuk
  8. atasan yang ingin meningkatkan prestasi jadi stress dan membuat darah tinggi, bahkan bisa dibenci bila karyawan bermasalah apabila ternyata memiliki hubungan baik dengan salah satu pejabat

Tidak Sustain Risiko Bisnis Yang Mengancam

Kondisi ini sebenarnya bukan rahasia umum lagi. Semua pengusaha tahu itu, tapi pasrah dan ujung-ujungnya menaikan harga jual produk. Yang selanjutnya menurunkan daya saing. Perusahaan seperti ini tidak akan bertahan lama (sustain) karena tidak tahan menghadapi risiko bisnis dan fraud (Baca).

Investor baru tentu tidak mau mengalamai hal yang sama, maka tidak aneh bila mereka mempersyaratkan upah perjam. Semua itu bertujuan untuk lebih mudah memonitor produktivitas karyawan, dan ujungnya akan meningkatkan daya saing produk mereka serta membuat bisnis mereka sustain.

Mari Legowo Memberi Jalan Saudara Kita Lainnya

Oleh karena itu sebaiknya para karyawan zaman now legowo, dan mau berbuat baik dengan menerima apa yang sudah dirancangkan untuk meningkatkan investasi di Indonesia. Yang ujungnya jelas membuka peluang kerja bagi para penganggur yang membutuhkan pekerjaan. 

Perbuatan baik anda, dengan tidak turun ke jalan menjegal Undang-Undang Cipta Kerja, bahkan melakukan tindakan anarkis, pasti sangat dihargai dunia dan akhirat.

Kalau masih tidak puas juga, mari sebagai bangsa yang hidup di negara demokrasi bahwa Undang-Undang Cipta Kerja ke Mahkamah Konsittusi. Ingat hidup sebagai warga negara demokrasi bukan hanya menikmati hak untuk berdemo, tetapi juga menjalankan kewajiban sebagai rakyat yang bertindak dan berpikir demokratis.

Have a nice day.
@shtobing 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Worklife Selengkapnya
Lihat Worklife Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun