Tetapi bukan hanya kondisi teror itu saja yang membuat rakyat Bali ramah kepada sesama penduduk Indonesia. Saya menyaksikan sendiri bagaiman orang Bali mengutamakan turis lokal.
Beberapa jam sebelum terjadi bom Bali di tahun 2002 itu, saya mengantar beberapa teman wanita ke lokasi sekitar Paddy Cafe, mencari sandal yang saat itu sedang mulai ngetrend. Sandal yang dihiasi manik-manik dan payet, yang menjadi oleh-oleh yang disukai orang Jakarta.Â
Saat itu dengan mata kepala saya sendiri, rekan-rekan saya dapat memperoleh dengan harga Rp. 25.000,- tetapi mereka (pedagang Bali) menjual Rp. 50.000,- bahkan ada yang Rp. 60.000,- ke turis mancanegara. Bahkan mereka rela dagangannya tidak laku walau turis tersebut menawar Rp.40.000,- (empat puluh ribu rupiah).
Sebelum bom Bali, kami juga sering mendapat harga yang sangat murah menginap di hotel bila menunjukan KTP sebagai bukti warga Indonesia. Jadi jelas sebelum bom Bali terjadi, Bali memang sudah ramah dengan sesama Bangsa Indonesia.
Beberapa tahun kemudian, tepatnya di tahun 2005, terjadi lagi ledakan bom di Bali, dengan  korban jiwa 23 orang dan luka-luka yang tidak sedikit sampai 196 orang.Â
Rupanya para teroris biadab merasa kecewa aksi mereka yang sangat menakutkan di tahun 2002 tidak berhasil merusak Bali. Sehingga mereka mengirim lagi dan melakukan ulahnya berharap Bali akan goyah.Â
Tetapi kembali mereka gigit jari di neraka, karena Bali dan penduduk Bali didukung oleh Bangsa Indonesia, tetap kokoh berdiri dan terus menjadi kebanggaan Rakyat Indonesia.
Melupakan peristiwa bom Bali 2002 memang tidak mungkin, tetapi bukan hanya kekejaman dan kebiadaban para teroris yang terbayang di pikiran dan mata saya.Â
Sikap orang Bali yang terus tegak berdiri, tidak tersulut provokasi serta dukungan yang luar biasa dari seluruh bangsa Indonesia menjadi kenangan manis bagi saya.
Saya yakin dengan contoh kegagalan para teroris di Bali dan kerjasama yang luar biasa dari sesama bangsa Indonesia, benar-benar telah mewujudkan Bhinneka Tunggal Ika.Â