Satir iklan televisi memang sangat menarik untuk disajikan kepada khalayak ramai. Ketika fenomena sosial di sekitar kita diangkat untuk diekspos untuk tujuan komersialnya. Sebut saja iklan rokok asal Kudus, yang selalu menampilkan kesatiran lokal dengan selalu membawa 'produk' Jin lokalnya, yang dalam berbagai kesempatanya menampilkan sindirannya terhadap budaya korupsi di Indonesia. Hingga tak dapat dipungkiri kalau ternyata budaya dan fenomena yang terjadi di Indonesia ini 'menginspirasi' lahirnya sebuah karya iklan baru -bergenre satir-, dan sebaliknya, disinipun saya akan menginspirasi anda melalui melalui satir dari iklan tersebut.
Bingkai pemahaman KKN (Korupsi, Kolusi dan Nepotisme) bagi saya adalah sebuah 'budaya' yang entah telah dimulai sejak kapan hinggap di bumi pertiwi Indonesia ini. Akan tetapi jika menelisik pada sebuah kotak kedaulatan bernama 'Negara Republik', maka sejauh-jauhnya KKN adalah sumber malapetaka bagi negara. Mungkin logika ini tidak diamini sebagai sebuah -malapetaka- 'kriminal' jika saja kita melihatnya dari jejak kedaulatan bangsa ini sebelumnya yang bernama 'kerajaan'. Bukan sebab yang menjadikan 'mengapa' sehingga KKN di zaman kerajaan pramodern tidak dijadikan sebuah istilah 'kriminal' pada saat itu, yakni dikarenakan pada masa itu kompleksitas hukumnya memang berbeda dengan saat ini, sedangkan pada sisi lain keadilan memang menjadi sebuah pertanyaan bagi sebuah institusi kerajaan mengingat tuntutan keadilannya pun berbeda dengan saat ini. [Bagaimana tidak, misal pengangkatan pejabat pada masa itu boleh dari kalangan kerabatnya sendiri. Sedangkan saat ini ? Pasti akan dianggap sebagai bentuk pengurangan hak dan ketidakadilan bagi rakyatnya]. Namun yang menjadi pertanyaan bagi saya di paragraf ini sebenarnya adalah 'Bagaimana transformasi budaya (korupsi) dari masa ke masa ini, dapat benar-benar diletakkan pada sumbu kebutuhan zaman dan format sosial (hukum & negara) yang ada sekarang!'. Sehingga ketika korupsi (KKN) ini dapat dipahami dan diletakkan persis sebagai makna budaya ataupun residu budaya yang terus mengalir, maka sejatinya kondisi tersebut dapat pecahkan dengan suatu cara pemberantasan yang sistematis. Yakni melalui penegakan hukum yang berani lagi tegas -sebagai cara negara dalam merefleksikan keseriusannya merubah kultur sosial- serta dengan cara mengedukasi (mengkontruksi pemahaman baru) ke masyarakat, sebagai part-ideologis untuk memastikan pemberantasan korupsi adalah makna panjang sebuah transformasi budaya.
Selangkah Lebih dekat (Sebagai Produk Hukum), Korupsi hilang dalam Sekejab
Upaya pemberantasan korupsi dalam waktu yang singkat?, mungkin hanya bisa kita lihat dalam parodi iklan di televisi, dimana Sang 'Jin blangkon' bisa menghapus korupsi dalam waktu sekejab, yakni dengan menghapus data-data dan catatan korupsi para koruptor maka hilanglah korupsi di Indonesia. Sedikit menggelitik memang, tapi biarlah iklan berbicara seperti itu, tapi untuk urusan negara maka kita akan melihat dari sisi produk hukum yang ada yakni dengan tidak melupakan esensi dikeluarkannya produk hukum tersebut, beserta dengan manfaat yang akan didapatkannya. Inilah sekilas analogi, untuk selangkah lebih dekat dengan pemberantasan korupsi 'hilang dalam sekejab'!
Menyama(beda)kan antara koruptor dan pengemplang pajak
Korupsi dalam ranah hukum yang berlaku di Indonesia adalah diartikan sebagai bentuk tindakan kriminal (pidana) yang selanjutnya diartikan 'kegiatan yang memperkaya diri atau orang lain, dengan cara melawan hukum dan berakibat merugikan negara', yang dengan hal itu korupsi & koruptor diartikan sebagai musuh negara. Lalu bagaimana dengan pengemplang pajak? Maka  pengemplang pajak diartikan adalah sebagai aktor/pelaku yang mengindahkan suatu bentuk kewajibannya (membayar pajak) kepada negara, sehingga merugikan negara. Kedua hal ini (koruptor dan pengemplang pajak) jika dirunut kesalahannya, maka kedua-duanya memiliki suatu kesamaan bahwa keduanya adalah bertindak melanggar hukum, dan memiliki ujung pangkal kesalahan berupa kerugian negara. Hanya saja perbedaan diantara keduanya adalah yang satu kerugiannya adalah sesudah aset/harta negara itu terkumpul lalu diselewengkan(makna sederhana korupsi), sedangkan yang satunya lagi (pengemplang pajak) adalah menyelewengkan potensi harta negara sehingga tidak berhasil dikumpulkan dengan semestinya. Sehingga secara nyata kedua-duanya adalah musuh bersama negara, hanya saja pada pelaku korupsi tersangka 'resminya' adalah pejabat negara, sedangkan pada pengemplang pajak tersangka pada umumnya adalah mereka para pelaku swasta.
Penjabaran narasi atas penyamaan dua musuh besar harta kekayaan negara kepada dua aktor 'koruptor' dan 'pengemplang pajak' pada paragraf sebelumnya, sejatinya adalah untuk melihat dua hal penting atas tindakan-tindakan jahat yang merugikan negara. Yaitu pertama untuk memberikan bingkai pertobatan bagi masyarakat yang masih sering mengemplang pajak supaya mereka lekas bertobat atas kejahatannya yang juga merugikan negara (selayaknya koruptor), dan yang kedua adalah sebagai upaya review suatu produk hukum yang sudah ada, yang dalam esensinya diterapkan untuk memberikan koreksi dan perbaikan pada masa-masa selanjutnya. Lalu, apakah review produk hukum yang dimaksudkan saya tersebut? Membuka berkas kejadian 5 tahun yang lalu atau lebih tepatnya pada tahun 2008, Indonesia pernah mengenal suatu produk kebijakan publik berkaitan dengan pajak bernama sunset policy 2008, dimana melalui kebijakan yang dikeluarkan pemerintah tersebut maka ada sebuah imbal subsider bagi para pelaku wajib pajak yang bermasalah, yang lebih lanjut oleh khalayak umum lebih mudah disebut sebagai pemutihan. Kaitannya dengan korupsi? Dengan asumsi yang sama seperti yang telah kita bangun sebelumnya bahwa koruptor dan pengemplang pajak adalah sama-sama musuh negara yang merugikan keuangan negara, maka dengan review singkat mengenai sunset policy 2008 inilah maka kita akan 'menyelesaikan' permasalahan korupsi di Indonesia.
"Dengan review singkat mengenai sunset policy 2008, maka kita akan menyelesaikan permasalahan korupsi di Indonesia (secepatnya!)."
Ada 'pemutihan' pajak, maka ada 'pemutihan' korupsi untuk koruptor. Kenapa Tidak?
Layaknya 'pemutihan' pajak, maka pasti ada suatu konsep dan prosedur hukum yang sistematis untuk mengaturnya. Begitu juga dengan usul pemutihan untuk koruptor ini, maka harus ada skema-konsep serta prosedur hukum yang berjalan untuk mengiringinya. Prosedur hukum ini menjadi hal baku yang harus ada mengingat istilah pemutihan masih sering janggal ditelinga kita terkait upaya penyelesaian suatu perkara hukum. "Enak dong para koruptor 'diputihin' ?". Konsep pemutihan ini memang mengganjal dalam benak kita sebagai masyarakat modern, karena berkaitan pada nilai keadilan yang sering kita tuntutkan di millenium ini. Tetapi jika kita membuka mata untuk melihat potensi perbaikan yang akan terjadi (atas produk hukum pemberantasan korupsi ini), seperti ketika pemerintah RI masa bakti 2008 melihat potensi perbaikan atas produk sunset policy 2008-nya, maka kiranya kita akan faham bahwa tujuan hukum salah satunya adalah untuk perbaikan, bukan hanya sekedar menghukum.
Formula 'pemutihan' korupsi di Indonesia yang diusulkan ini pada dasarnya adalah menyerupai apa yang ada pada sunset policy. Dimana pada konsepnya, pemutihan (pasti) memberikan suatu tenggat waktu atau tanggal jatuh temponya bagi para pihak yang berkaitan -dengan korupsi- untuk segera melaporkan hal-hal korup yang dia ketahui, entah dilaporkan oleh para pelaku penyuapan, saksi penyuapan maupun aktor yang disuap. Lebih lanjut tindakan ini akan meringankan dakwaan hukum kepadanya, dibanding produk hukum 'non-pemutihan' tersebut. Sejurus untuk yang selanjutnya, jika diketahui masih ada tindakan korup atau yang terbukti pasca tanggal jatuh tempo 'pemutihan' tersebut, maka para pelaku mendapatkan sanksi hukum yang berlipat lebih berat dari pada produk hukum sebelumnya, hingga dapat dijatuhi hukuman mati. Sehingga dengan  'pemutihan' ini diharapkan akan efektif untuk menjaring kasus-kasus korupsi yang ada (karena dilaporkan oleh berbagai pihak terkait) yang dengan hal itu diharapkan pada tahun buku pidana baru (pascapemutihan) sudah tidak ada lagi kasus korupsi yang terjadi. Momentum -tanggal jatuh tempo- dijadikan sebagai titik akhir bagi kasus korupsi di Indonesia.
Pemberantasan korupsi cara 'pemutihan' ini seakan-akan sebagai instan untuk memberantas kasus korupsi di Indonesia yang berkepanjangan dan sebagiannya hanya sepenggal yang terungkap. Maka dengan cara 'Ala Jin' blangkon tersebut yang menghilangkan berkas-berkas catatan korupsi (dengan kata lain diputihkan), maka kasus korupsi di Indonesia akan diakhiri dalam sekejab, sesuai dengan 'tanggal jatuh tempo' yang dikeluarkan pemerintah. Dengan hal tersebut, rantai tali (budaya) korupsi diharapkan bisa hilang, dengan hilangnya aktor-aktor yang sebelumnya terlibat dalam tindak pidana korupsi.
"Rantai tali (budaya) korupsi diharapkan bisa hilang, dengan hilangnya aktor-aktor yang sebelumnya terlibat dalam tindak pidana korupsi."
Salam dari Rakyat yang sedang menunggu perbaikan hukum di Indonesia!
Salam dukungan untuk produk hukum 'pembuktian terbalik'.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H