Ada 'pemutihan' pajak, maka ada 'pemutihan' korupsi untuk koruptor. Kenapa Tidak?
Layaknya 'pemutihan' pajak, maka pasti ada suatu konsep dan prosedur hukum yang sistematis untuk mengaturnya. Begitu juga dengan usul pemutihan untuk koruptor ini, maka harus ada skema-konsep serta prosedur hukum yang berjalan untuk mengiringinya. Prosedur hukum ini menjadi hal baku yang harus ada mengingat istilah pemutihan masih sering janggal ditelinga kita terkait upaya penyelesaian suatu perkara hukum. "Enak dong para koruptor 'diputihin' ?". Konsep pemutihan ini memang mengganjal dalam benak kita sebagai masyarakat modern, karena berkaitan pada nilai keadilan yang sering kita tuntutkan di millenium ini. Tetapi jika kita membuka mata untuk melihat potensi perbaikan yang akan terjadi (atas produk hukum pemberantasan korupsi ini), seperti ketika pemerintah RI masa bakti 2008 melihat potensi perbaikan atas produk sunset policy 2008-nya, maka kiranya kita akan faham bahwa tujuan hukum salah satunya adalah untuk perbaikan, bukan hanya sekedar menghukum.
Formula 'pemutihan' korupsi di Indonesia yang diusulkan ini pada dasarnya adalah menyerupai apa yang ada pada sunset policy. Dimana pada konsepnya, pemutihan (pasti) memberikan suatu tenggat waktu atau tanggal jatuh temponya bagi para pihak yang berkaitan -dengan korupsi- untuk segera melaporkan hal-hal korup yang dia ketahui, entah dilaporkan oleh para pelaku penyuapan, saksi penyuapan maupun aktor yang disuap. Lebih lanjut tindakan ini akan meringankan dakwaan hukum kepadanya, dibanding produk hukum 'non-pemutihan' tersebut. Sejurus untuk yang selanjutnya, jika diketahui masih ada tindakan korup atau yang terbukti pasca tanggal jatuh tempo 'pemutihan' tersebut, maka para pelaku mendapatkan sanksi hukum yang berlipat lebih berat dari pada produk hukum sebelumnya, hingga dapat dijatuhi hukuman mati. Sehingga dengan  'pemutihan' ini diharapkan akan efektif untuk menjaring kasus-kasus korupsi yang ada (karena dilaporkan oleh berbagai pihak terkait) yang dengan hal itu diharapkan pada tahun buku pidana baru (pascapemutihan) sudah tidak ada lagi kasus korupsi yang terjadi. Momentum -tanggal jatuh tempo- dijadikan sebagai titik akhir bagi kasus korupsi di Indonesia.
Pemberantasan korupsi cara 'pemutihan' ini seakan-akan sebagai instan untuk memberantas kasus korupsi di Indonesia yang berkepanjangan dan sebagiannya hanya sepenggal yang terungkap. Maka dengan cara 'Ala Jin' blangkon tersebut yang menghilangkan berkas-berkas catatan korupsi (dengan kata lain diputihkan), maka kasus korupsi di Indonesia akan diakhiri dalam sekejab, sesuai dengan 'tanggal jatuh tempo' yang dikeluarkan pemerintah. Dengan hal tersebut, rantai tali (budaya) korupsi diharapkan bisa hilang, dengan hilangnya aktor-aktor yang sebelumnya terlibat dalam tindak pidana korupsi.
"Rantai tali (budaya) korupsi diharapkan bisa hilang, dengan hilangnya aktor-aktor yang sebelumnya terlibat dalam tindak pidana korupsi."
Salam dari Rakyat yang sedang menunggu perbaikan hukum di Indonesia!
Salam dukungan untuk produk hukum 'pembuktian terbalik'.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H