"Bisa ketemuan sekarang? Di taman pusat kota?" desaknya melalui telepon. Alina segera menutup panggilan tanpa menunggu jawaban dari Raka.
Mereka bertemu di taman pusat kota, jaraknya tidak jauh dari rumah Raka. Dengan napas tersengal dan nada penuh amarah, Alina berkata sambil mencengkram kerah kaos putih yang dikenakan Raka, "Raka! I don't understand why I feel this way, but I'm jealous! Aku gak bisa kayak gini!"
Raka membeku mendengar apa yang dilakukan Alina, matanya melebar, namun ia tetap mempertahankan ekspresi datarnya yang tenang. "Alina, bukannya dari awal kita sudah sepakat kalau kita cuma HTS? I don't want you to get hurt!" ucap Raka berusaha menenangkan dan menjelaskan situasi yang sebenarnya. Ia mengelus lembut pucuk kepala Alina, namun tangan kekar Raka segera ditepis oleh Alina.
"Yet being close to Hanna has already hurt me!" seru Alina, meninggikan suaranya. "I thought I could handle this, but I can't! I... I have feelings for you!"
Raka terdiam, menatap sendu mata Alina yang memerah. "I'm not ready for something more serious, Alina. If you feel that way, maybe it's better if we end things here..." lirih Raka, suaranya pelan dan bergetar, jelas bahwa dia sendiri tak yakin dengan apa yang baru saja diucapkannya.
Alina langsung melarikan diri, meninggalkan Raka sendirian di taman pusat kota. Ia pulang membawa beban yang sulit dilepaskan. Sepanjang malam ia menangis, memikirkan semua kenangan yang ia bangun bersama Raka, hingga akhirnya ia menyadari sesuatu. Perlahan, ia mulai mengabaikan prinsipnya sendiri demi mempertahankan hubungan yang abu-abu. Berbulan-bulan ia merenung, hingga akhirnya memutuskan untuk benar-benar memutuskan komunikasi dan melupakan Raka.
Tiga bulan berlalu, Alina menemukan dirinya kembali. Ia menyibukkan diri dengan pekerjaan, nongkrong, dan menjalani hobi yang dulu ia tinggalkan.
Suatu hari, Raka mengirim pesan pada nomor Alina: "Alina, I don't know, but I miss you. Aku kangen ngobrol seperti dulu. Tiga bulan tanpa kamu rasanya berat buat aku. Bisa kita ketemu? Di kafe kecil di pinggir kota..."
Alina membaca pesan itu dengan senyum tipis. She knows the key!
"I'm sorry, Raka, aku gak bisa lagi. Aku sudah selesai dengan hubungan yang gak jelas."
Alina belajar bahwa perasaan tak bisa dipermainkan. Ia tak menyesali kebersamaannya dengan Raka, tetapi ia sadar bahwa self-love lebih penting daripada memaksa seseorang untuk mencintainya kembali.