Mohon tunggu...
Naufa Rafsanjani
Naufa Rafsanjani Mohon Tunggu... Freelancer - Freelance

Freelance

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Cerpen | Kita dan Mimpi

20 Juli 2020   14:23 Diperbarui: 20 Juli 2020   14:35 118
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

Malam itu, ketika aku sedang istirahat dengan aktifitas rutin ku. Sebuah notifikasi berbunyi, tanda pesan masuk di layar ponsel. Aku mencoba membukanya. 

"Aku jalan ketempat kamu ya yang?" 

Aku yang membaca nya, tersenyum dengan diiringi membalas pesannya. 

Sebelumnya, aku tidak akan pernah menyangka. Pada akhirnya, dia memilihku. Dulu, ketika aku hanya sebagai pengagum rahasia nya. Aku hanya bisa membayangkan, dengan melihat awan biru yang berada di depan mata ku. 

"Tuhan, jika benar nyatanya dia menjadi milikku atau engkau akan membuatnya dia memilihku. Akan ku pastikan, dia akan bahagia. Begitupun juga denganku." 

Ku ingat-ingat kembali, pertama kali nya berbicara dengannya tanpa mengetahui namanya. Terkagum, aku melihat wajah yang enak pandang. Namun aku hanya bisa menutup senyum di balik mata yang mungkin sudah dekat dengan nya. 

Ku mencoba menutup rapat, agar dia tidak mengetahui nya kala itu.

Dua puluh menit berlalu, dia sudah sampai di kediamanku. Seperti biasa, aku dengan nya bertukar obrolan tanpa henti. Meminum secangkir kopi yang sudah ku persiapkan untuknya. 

Ada perasaan bangga di dalam diriku, karena menjadi miliknya. Bisa melihatnya tersenyum, bisa melihatnya bahagia, dan bisa mengenal kehidupan pribadinya. 

Canda tawa malam ini cukup membuatku dengannya mempunyai sebuah keinginan di masa mendatang. 

Dia yang sangat mengetahui kepribadian ku seperti apa. Membuatku berkeinginan kuat untuk memulai harapan itu menjadi yang nyata. 

Tidak lupa setelah selesai ibadah, ku ucapkan permohonan untuk diriku dan dirinya. Semoga apa yang kita inginkan Tuhan memberi jalan untuk harapan itu. 

Pernah suatu ketika aku sedang tidak baik. Rasa tanggung jawab nya yang membuat ku yakin akan harapan itu. 

Lalu, di dalam diriku selalu berkata. "Kenapa baru saat ini aku dengannya di pertemukan. Kenapa nggak dari dulu?"

Huft, mungkin ini cara Tuhan untukku. Agar aku selalu belajar bersabar dari apa yang aku inginkan. Mungkin, pada saat itu Tuhan sedang memberi sebuah ujian kepadaku. Di masa lalu, aku bisa merasa bahagia tanpa keterpaksaan atau tidak. 

Namun, ternyata aku salah. Aku telah lama hilang dari dunia warna warni ku. Aku telah lama hilang dari dunia indahku. Aku telah lama hilang dari kebahagiaan yang aku ciptakan sendiri. 

Semua nya telah hilang, ketika aku sudah tidak merasa bahagia kala itu. Melakukan keterpaksaan untuk bahagia, walaupun aku selalu merasa sepi. 

Dan di masa yang sama, Tuhan menyuruhku untuk berhenti lewat perasaan hati. Karena, mungkin saja dia sudah menemukan jawaban dari apa yang aku nantikan. 

Pada saat ini, bahagiaku, perasaanku, dan dengan pikiranku. Tidak ada kata keterpaksaan. Ntahlah, aku juga tidak tahu. 

Atau, aku sudah melakukan perubahan terhadap diriku yang dulu. Tetapi, aku cukup bahagia bersama dunia baruku. 

Ah, ini benar. Aku sudah lama menantikan hubungan seperti ini. Berfikir terbuka untuk melihat mimpi yang sudah di rencanakan sebelum kami dipertemukan. 

Aku yang mungkin lebih dulu, mengaguminya. Sekarang, telah jatuh hati dengan pandangan pertama. Dari dia yang bertanggung jawab dengan ibadahnya, semoga dia juga akan bertanggung jawab dengan apa yang kita harapkan. 

Mustahil, jika manusia tidak menyukai seseorang melalui rupa. Tapi, semakin kesini aku sadar. Rupa bukanlah hal utama menjadikan seseorang akan selalu berada di samping kita. 

Tapi rasa saling percaya, mempunyai pemikiran dan tujuan yang sama, dan keterbukaan dari apa yang kita pikirkan mungkin akan membuat sebuah hubungan berlangsung lama. 

Hanya kekuatan do'a dan jawaban dari Tuhan. Yang menjadikan, sampai mana kita nantinya. 

Dari sini aku selalu berdoa dengan keinginan baik ku dengannya. Agar, kelak kita bisa bersatu dengan ikatan kalimat "SAH" Ketika orang tuaku menjadi saksi nya. 

Jakarta, 20 Juli 2020

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun