Belum genap sebulan viralnya kerajaan fiktif Keraton Agung Sejagat, publik kembali dihebohkan dengan munculnya Sunda Empire di Bandung yang disebut mirip dengan "gaya" Keraton Agung Sejagat.Â
Keduanya sama-sama mengaku membawahi Pentagon hingga dikabarkan akan menguasai dunia secepatnya. Tak ayal respon Gubernur Jawa Barat Ridwan Kamil terhadap orang-orang di balik Sunda Empire adalah "orang stres".
Munculnya kerajaan-kerajaan fiktif semacam itu bukanlah hal baru di Indonesia. Banyak perkumpulan yang berciri sama dengan Sunda Empire atau Keraton Agung Sejagat: menggunakan mitos kekayaan Indonesia yang disimpan di "Bank Swiss" (saya menggunakan tanda kutip untuk sedikit satire) saat masa kepemerintahan Presiden Sukarno.Â
Dengan melayangkan janji-janji manis, para anggota-anggotanya dijanjikan akan diberi kucuran duit dari "Bank Swiss" itu.Â
Namun malang tak dapat ditampik, autentitas dari simpanan uang atas nama Indonesia di "Bank Swiss" tersebut hanyalah mimpi belaka, hoaks yang tak bertanggung jawab.
Selain motif penipuan, sebenarnya masih banyak aspek yang harus kita teliti lebih lanjut. Hal itu seperti benarkah mereka melakukan semua itu tanpa kehendak untuk berkuasa?Â
Bukankah mereka yang menginisiasi perkumpulan tersebut adalah orang yang memiliki ambisi besar? Susah diakui memang bahwa sejujurnya mereka memiliki daya persuasif yang baik.Â
Berapa banyak manusia di bumi ini yang pernah terjebak dalam organisasi-organisasi semacam itu? Saya kira kita akan kewalahan menghitungnya sendiri.
Tetapi seperti yang kita ketahui, kemampuan mereka dalam meyakinkan disalahgunakan untuk menyasar "calon mangsa-mangsanya". Orang-orang yang berada di balik Keraton Agung Sejagat hingga Sunda Empire bisa hampir pasti dikatakan memiliki bakat kepemimpinan.Â
Mereka sengaja menggunakannya untuk mencari massa agar mendukung gagasan-gagasan konyol yang mereka kreasikan. Sebuah keputusan yang licik namun cukup menjanjikan---meski hanya untuk kepentingan sesaat.
Seperti yang sudah saya singgung di atas, selalu ada upaya dari mereka yang berada di balik organisasi-organisasi tersebut untuk berkuasa. Insting untuk berkuasa sejujurnya dimiliki setiap manusia.Â
Proses evolusi yang bertahap sejak zaman prasejarah telah mengisyaratkan manusia untuk menjadi penguasa agar dapat menjamin keberlangsungan hidupnya.Â
Manusia, sejak zaman nenek moyang kita dahulu, telah berupaya menjadi penguasa---melalui pertarungan, peperangan, hingga genosida---yang sama-sama diperebutkan dengan sesama Homo Sapiens.
Spesies kita telah belajar menjadi penguasa sejak muncul di bumi. Tak jarang mereka menjadi licik hanya karena ingin berkuasa. Karena dengan kekuasaan, manusia akan menguasai sumber daya.Â
Dari sumber daya tersebut, ia dapat menjamin distribusi alam hingga kekayaan untuk keberlangsungan hidup diri sendiri, lingkungan, sampai teritorinya.
Namun tak semua dari kita memenangkan pertarungan menjadi penguasa. Selalu ada yang terpinggirkan, kaum marjinal dalam peradaban manusia. Kaum marjinal ini melawan dari pinggiran, dari tempat-tempat yang tak tersentuh arus utama atau mainstream.Â
Mereka mengorganisasikan sesama kaum terpinggirkan untuk suatu saat menggeser para penguasa yang "secara resmi" berkuasa atau arus utama yang dominan dalam masyarakat.
Keraton Agung Sejagat atau Sunda Empire adalah contoh kaum marjinal tersebut. Mereka berusaha melawan melalui akar mereka, basis mereka sebagai kaum terpinggirkan. Mereka---seperti kata Karl Marx, adalah korban dari distribusi kekuasaan dan kekayaan yang tidak merata.Â
Fenomena ini bukan semata perihal kejahatan, namun lebih dari itu, ini adalah fenomena sosiologis, historis dan antropologis.
Saya mengatakan sebagai fenomena sosiologis karena contoh kedua peristiwa tersebut berhubungan dengan relasi antarmanusia. Selain perlu dikaji pola sosiologisnya, cukup menarik pula jika kita runtut pemahaman psikologis orang-orang yang menginisiasi organisasi-orgainsasi seperti itu.
Konteksnya berubah menjadi fenomena historis ketika kita menempatkannya sebagai dinamika manusia untuk berkuasa. Dalam sejarah, peradaban manusia adalah sejarah upaya manusia untuk berkuasa. Karenanya, upaya-upaya manusia untuk meraih kekuasaan adalah fenomena historis.
Di Indonesia, fenomena-fenomena seperti itu tak jauh-jauh dari "bau-bau" budaya. Seperti Keraton Agung Sejagat yang mengatasnakaman pewaris Mataram, banyak perkumpulan-perkumpulan lainnya yang mendaku sebagai pewaris sah dari sebuah kerajaan masa lampau.Â
Cara kerja antropologi sangat diperlukan dalam memandang peristiwa semacam ini. Relasi antara budaya dengan imaji kekuasaan akan cukup menarik dikaji jika dihubungkan dengan fenomena sosial yang tengah menghangat seperti dewasa ini.
Mereka yang ada di dalam perkumpulan-perkumpulan tersebut sesungguhnya adalah korban. Mereka tak lebih dari riak di antara samudra peradaban manusia yang mencoba meruntuhkan tatanan peradaban sesamanya. Itulah insting manusia. Kehendak untuk berkuasa.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H