Proses evolusi yang bertahap sejak zaman prasejarah telah mengisyaratkan manusia untuk menjadi penguasa agar dapat menjamin keberlangsungan hidupnya.Â
Manusia, sejak zaman nenek moyang kita dahulu, telah berupaya menjadi penguasa---melalui pertarungan, peperangan, hingga genosida---yang sama-sama diperebutkan dengan sesama Homo Sapiens.
Spesies kita telah belajar menjadi penguasa sejak muncul di bumi. Tak jarang mereka menjadi licik hanya karena ingin berkuasa. Karena dengan kekuasaan, manusia akan menguasai sumber daya.Â
Dari sumber daya tersebut, ia dapat menjamin distribusi alam hingga kekayaan untuk keberlangsungan hidup diri sendiri, lingkungan, sampai teritorinya.
Namun tak semua dari kita memenangkan pertarungan menjadi penguasa. Selalu ada yang terpinggirkan, kaum marjinal dalam peradaban manusia. Kaum marjinal ini melawan dari pinggiran, dari tempat-tempat yang tak tersentuh arus utama atau mainstream.Â
Mereka mengorganisasikan sesama kaum terpinggirkan untuk suatu saat menggeser para penguasa yang "secara resmi" berkuasa atau arus utama yang dominan dalam masyarakat.
Keraton Agung Sejagat atau Sunda Empire adalah contoh kaum marjinal tersebut. Mereka berusaha melawan melalui akar mereka, basis mereka sebagai kaum terpinggirkan. Mereka---seperti kata Karl Marx, adalah korban dari distribusi kekuasaan dan kekayaan yang tidak merata.Â
Fenomena ini bukan semata perihal kejahatan, namun lebih dari itu, ini adalah fenomena sosiologis, historis dan antropologis.
Saya mengatakan sebagai fenomena sosiologis karena contoh kedua peristiwa tersebut berhubungan dengan relasi antarmanusia. Selain perlu dikaji pola sosiologisnya, cukup menarik pula jika kita runtut pemahaman psikologis orang-orang yang menginisiasi organisasi-orgainsasi seperti itu.
Konteksnya berubah menjadi fenomena historis ketika kita menempatkannya sebagai dinamika manusia untuk berkuasa. Dalam sejarah, peradaban manusia adalah sejarah upaya manusia untuk berkuasa. Karenanya, upaya-upaya manusia untuk meraih kekuasaan adalah fenomena historis.
Di Indonesia, fenomena-fenomena seperti itu tak jauh-jauh dari "bau-bau" budaya. Seperti Keraton Agung Sejagat yang mengatasnakaman pewaris Mataram, banyak perkumpulan-perkumpulan lainnya yang mendaku sebagai pewaris sah dari sebuah kerajaan masa lampau.Â