Mohon tunggu...
sholikhul huda
sholikhul huda Mohon Tunggu... Dosen - Wakil Direktur Pascasarjana Universitas Muhammadiyah Surabaya/ Direktur INSID Research and Humanity/ Peneliti di Asosiasi Studi Agama Indonesia (ASAI)

Fokus Kajian Filsafat, Politik, Sosiologi dan Muhammadiyah Studies

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan

Gelar Profesor yang Ternoda

31 Juli 2024   12:44 Diperbarui: 31 Juli 2024   12:47 96
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Gelar profesor yang ternoda. Gelar profesor mengalami desakralisasi (tidak suci) di tengah insan akademik maupun masyarakat. Desakralisasi adalah penghilangan kesakralan sebuah proses menghilangnya sifat sakral (suci) (wikikamus.com). Desakralisasi merupakan fenomena (gejala) terkait persoalan sosial, politik, budaya, dan agama yang kehilangan makna atau nilai baik (suci), sehingga masyarakat sudah tidak mempercayai lagi terhadap nilai kebaikan (kesucian), berubah menjadi bermakna atau bernilai negatif.

Profesor adalah jabatan akademik, bukan gelar akademik. Gelar akademik tertinggi adalah doktor (S3). Di luar negeri, jabatan akademik terdiri dari Assistant Professor, Associate Professor, dan Full Professor. Di Indonesia, disetarakan dengan istilah Asisten Ahli (AA), Lektor,  Lektor Kepala (LK), dan Guru Besar.

Idealnya seorang Profesor memiliki kualitas intelektualitas dan kapasitas sosial mumpuni, sehingga keberadaan mereka berdampak positif bagi kemajuan pengembangan keilmuan dunia akademik dan aktif memberi kontribusi dan solusi bagi problem masyarakat. Profesor bukan sekedar nyaman hidup di menara gading dan terlena dengan fasilitas material maupun status sosial yang diberikan. Model Profesor di atas disebut dengan istilah “Profesor Lobi”. Professor lobi merupakan gelar Profesor yang didapatkan karena hasil lobi-lobi dengan para pemegang kebijakan yang mengurusi pemberian gelar Profesor. Bukan karena kapasitas dan karya-karya keilmuan yang dihasilkannya. (https://ibtimes.id/dilema-guru-besar-profesor-lobian-vs-profesor-ilmu//)

Ditambah, polemik pemberian gelar Profesor di tengah insan akademik dan. masyarakat. Polemik ditengarai banyak problem terkait proses dan pemberian gelar Profesor oleh instansi Pendidikan Tinggi (Kampus) di Indonesia kepada pihak penerima yang dianggap banyak melanggar norma-norma kesucian akademik.

Situasi ini berdampak pada persepsi negatif masyarakat terhadap sakralitas (kesucian) atau desakralisasi gelar Professor. Desakralisasi profesor sangat mengkhawatirkan terhadap ketidak percayaan (distrust) masyarakat kepada dunia Perguruan Tinggi di Indonesia. Sementara, masyarakat menaruh harapan besar kepada Perguruan Tinggi sebagai benteng terakhiar atau Kawah Candardimuka basis pembangunan nilia-nilai kebaikan, kejujuran, kredibilitas dan akuntabilitas di masyarakat.

Fenomena desakralisasi profesor disebabkan dua faktor. 

Pertama, mengobral murah gelar professor oleh Perguruan Tinggi.  Fenomena mengobral gelar Profesor oleh Perguruan Tinggi kepada para politisi, pengusaha, dan tokoh masyarakat seolah menjadi tran dan dikhawatirkan bersifat transaksional daripada profesional. Sehingga berdampak membuat semangat dosen di Perguruan Tinggi merosot, merasa proses akademik yang dilalui begitu berat tidak bernilai kalah dengan lobi dan kepentingan praktis politik yang serba instan dan muda.

Kedua, maraknya “makelar” gelar Profesor di Perguruan Tinggi.

Makelar (calo) menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) adalah orang yang menjadi perantara dan memberikan jasanya untuk menguruskan sesuatu berdasarkan upah. Pengurusan gelar Profesor secara prosedur benar membutuhkan waktu, pikiran, materi dan kapasitas intelektulitas mumpuni dan peran sosial ditengah masyarakat. Salah satu syarat pengajuan gelar Profesor adalah publikasi karya ilmiah di jurnal berskala internasional (terindeks Scopus) dan karya buku serta pengabdian di Masyarakat.

Untuk memenuhi prasyarat tersebut tidaklah muda membutuhkan proses perjuangan berdarah-darah. Dikarenakan tidak mau berjuang susah payah maka diamblilah jalan pintas dengan menggunakan jasa “makelar Profesor” untuk mengurus itu swmua dengan imalan materi uang ratusan juta. Fakta praktik lancung untuk mendapatkan jabatan Profesor dilakukan dengan berbagai cara, mulai dari manipulasi syarat administrasi, main mata dengan asesor di Kemendikbud-Ristekdikti hingga kualitas (substansi) seleksi calon guru besar diragukan.

Fakta itu terkonfirmasi diberbagai berita, seperti Kompas memberitakan “Demi Gelar Guru Besar, Sejumlah Dosen Senior dan Kampus Terlibat Perjokian Karya Ilmiah (https://www.kompas.tv/pendidikan/10/2/2023). Investagis Tempo “Skandal Profesor Para Pesohor”, (https://majalah.tempo.co/edisi/2714/2024/07/07/investigasi). Diduga, Praktik Jual-Beli Gelar Gubes Libatkan Petinggi LLDIKTI VII Jatim, Dibanderol Rp200-300 Juta”, https://memorandum.disway.id/read/107387// 18-07-2024).

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun