Kita Bangsa yang Toleran
Bila kita lihat sejarah kebangsaan, sesungguhnya masyarakat Indonesia adalah masyarakat yang toleran dan menghargai keberagaman. Hal ini bisa terlihat dari cara nenek moyang menerima agama dan kebudayaan yang masuk dari luar, seperti Hindu, Buddha, Kristen dan Islam.
Peristiwa Sumpah Pemuda dan Kebangkitan Nasional oleh Boedi Oetomo misalnya juga merupakan simbol pengakuan atas keberagaman. Jika ada pihak yang bertindak mengancam keberagaman itu sama dengan merusak Indonesia itu sendiri. Selain itu, peristiwa proses perumusan dasar negara Indonesia dalam rapat Badan Penyelidik Usaha-usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia (BPUPKI) misalnya juga menjadi contoh kongkret betapa bangsa ini begitu menghargai keberagaman.
Kala itu, sejumlah pemimpin politik berlatar belakang nasionalis Islam seperti Ki Bagus Hadikusumo, KH Wahid Hasyim, H. Agoes Salim dan Abdul Kahar Muzakkir sepakat untuk menghilangkan tujuh kata dari sila pertama Piagam Jakarta untuk mengakomodasi aspirasi kelompok agama lain. Namun mereka sepakat agar Indonesia tidak pecah, maka sila pertama dalam rumusan Piagam Jakarta yang berbunyi "Ketuhanan dengan kewajiban menjalankan syari’at Islam bagi para pemeluk-pemeluknya" diubah menjadi “Ketuhanan Yang Maha Esa”.
Bukan di level nasional itu saja, di berbagai daerah ternyata juga memiliki kesamaan visi untuk senantiasa hidup rukun penuh toleransi melalui ”kearifan lokal” yang mereka miliki. Di papua misalnya khususnya di Fakfak Papua Barat, harmonisme relasi agama dikontektualisasikan dalam budaya mereka, yakni dengan munculnya istilah SATU TUNGKU TIGA BATU.
Istilah ”Satu Tungku Tiga Batu” ini selain menggambarkan hubungan dan kerjasama yang erat antara adat, agama dan pemerintah, tetapi juga untuk menggambarkan hubungan dan kerjasama yang baik dan harmonis antara pemeluk agama Islam, Kristen dan Katholik di Kabupaten Fakfak yang dibangun sesuai dengan kearifan lokal yang dimilikinya secara turun temurun. Torehan sejarah relasi ini sesungguhnya merupakan bukti kongkret betapa para pendahulu mereka sangat menghargai perbedaan dan secara aktif menumbuhkan sikap toleransi bagi sebuah keinginan hidup tentram, rukun dan damai.
Di Poso misalnya terdapat kearifan lokal 'Sintuwu Maroso' (kerja sama dan tolong menolong antar-sesama), 'Pamona' (tanggung-jawab sosial), 'Nosialapale' (keterbukaaan), dan 'Membetulungi Mombepalae' (kepedulian sosial). Juga ada pergelaran budaya lokal seperti tarian adat 'Dero', di mana laki-laki dan perempuan yang berbeda etnis dan agama menari bergandeng tangan. Seluruh kearifan lokal ini mampu merajut harmoni dan damai yang menentramkan. Namun ketika kearifan lokal ini mulai ditinggalkan maka konflik pun datang tanpa lagi mengenal persaudaraan yang terjalin erat sebelumnya.
Di Jawa Barat juga misalnya terdapat kearifan lokal seperti 'silih asah, silih asih dan silih asuh'. Namun filosofi itu mulai luntur ditandai banyaknya kasus intoleransi disertai kekerasan di kalangan intra dan antar agama. Ternodai oleh oknum-oknum yang tidak bertanggung jawab yang berhaluan radikal, intoleran dan pro-kekerasan.
Akhirnya, masyarakat Sunda seperti kehilangan jati dirinya atau tercerabut dari akar budayanya. Yang tampak kemudian adalah masyarakat Sunda tidak ramah lagi pada orang atau komunitas yang berbeda dengan mereka. Dan masih banyak lagi kearifan-kearifan lokal lainnya yang ada di setiap daerah di Indonesia yang kesemuanya menuntuk kita kepada kerukunan antar ummat beragama.
Butuh Integrasi Sosial
Masih maraknya konflik kekerasan di antara umat beragama yang disebabkan oleh sikap-sikap intoleran sebagian kalangan, juga kadangkala disebabkan oleh adanya legitimasi dari para elite ulama, atas nama kesucian doktrin agama. Untuk itu dibutuhkan sebuah terobosan baru berupa integrasi sosial yang utuh di berbagai bidang kehidupan antar seluruh komponen bangsa yang berbeda agama ini.
Integrasi sosial di maksud adalah menyatukan pandangan, sikap dan tindakan dalam kehidupan sosial masyarakat. Pola komunikasi antar tokoh agama dan warganya harus diaktifkan dengan baik, pertemuan-pertemuan yang melibatkan warga majemuk harus juga diaktifkan semisal melalui kegiatan pertemuan warga, kegiatan gotong royong bersama membersihkan lingkungan, kegiatan membersihkan rumah ibadah, kegiatan pertandingan olahraga seperti sepakbola, voli, tenis meja dan lain sebagainya perlu digalakkan. Melalui aktivitas diharapkan masyarakat terbiasa berbaur bersama dalam keberagamaan. Semakin sering kita terbiasa hidup bersama maka semakin erat dan rukun kehidupan warga tersebut.
Peran Media dalam Mencipta Kerukunan
Harus diakui bahwa dalam menciptakan sebuah integrasi sosial yang utuh, peran media tak bisa terelakkan. Media bisa berperan positif sekaligus negatif. Media bak 'pisau bermata dua', di satu sisi dia bisa menjadi faktor pendorong dan inspirasi kerukunan dan perdamaian, pada sisi lain, dia juga bisa memprovokasi konflik dan disintegrasi sosial. Dualisme seperti ini dimungkinkan karena, meminjam Habermas, media memainkan peran sebagai pengendali utama hubungan-hubungan sosial dalam masyarakat modern.