Mohon tunggu...
Sholeh
Sholeh Mohon Tunggu... Lainnya - Muhammad Sholeh

ekonomi

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan

Hukum Konsumsi dalam Islam

18 Maret 2019   21:08 Diperbarui: 18 Maret 2019   21:25 1732
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Pendidikan. Sumber ilustrasi: PEXELS/McElspeth

 Kebutuhan manusia banyak ragamnya dan memiliki tingkatan tingkatan yang secara umum terbagi tiga, yaitu kebutuhan primer (daruriyyat), sekunder (hajiyyat), dan tertier (tahsiniyyat). 

Kebutuhan yang menduduki perangkat kedua dan yang ketiga tidak sama pada setiap orang, akan tetapi kebutuhan primer manusia sejal dahulu hingga sekarang menurut M. Qurais shihab dapet dikatakan sama, yaitu kebutuhan pangan, sandang, dan papan. Hal ini tertera dalam alquran ketika allah mengingatkan adam dan hawa pada saat mereka berada disurga:

Sesungguhnya kamu tidak akan kelaparan dan telanjang didalamnya. Dan sesungguhnya kamu tidak akan merasa dahaga dan tidak (pula) akan ditimpa panas matahari didalamnya.  (QS. Thaahaa (20): 118-119

Ayat diatas menjelaskan bahwa didalam surga disedikan pangan atau dalam bahasa ayat diatas tidak lapar dan tidak dahaga. Yang bisa disebut dengan konsumsi, sebelumnya akan menjelaskan apa itu konsumsi

Pengertian konsumsi dalam ekonomi Islam adalah memenuhi kebutuhan baik jasmani maupun rohani sehingga mampu memaksimalkan fungsi kemanusiaannya sebagai hamba Allah SWT untuk mendapatkan kesejahteraan atau kebahagiaan di dunia dan akhirat (falah). Dalam melakukan konsumsi maka prilaku konsumen terutama Muslim selalu dan harus di dasarkan pada Syariah Islam. Dasar prilaku konsumsi itu antara lain :

1. Al Qur'an surat Al-Maidah (87-88) yang artinya "Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu mengharamkan apa-apa yang baik yang telah Allah halalkan bagi kamu, dan janganlah melampaui batas. Dan makanlah yang halal lagi baik dari apa yang Allah telah  rezekikan kepadamu, dan bertaqwalah kepada Allah yang kamu beriman kepada-Nya".

2. Al Qur'an surat al Isra' ayat 27-28 yang artinya "Sesungguhnya pemboros-pemboros itu adalah saudara-saudara syaitan dan syaitan itu adalah sangat ingkar kepada Tuhannya.  Dan jika kamu berpaling dari mereka untuk memperoleh rahmat dari Tuhanmu yang kamu harapkan, maka katakanlah kepada mereka ucapan yang pantas".

3. Hadist yang menyatakan "Makanlah sebelum lapar dan berhentilah sebelum kenyang" Hadist ini menerangkan bahwa Islam mengajarkan pada manusia untuk menggunakan barang dan jasa yang dibutuhkan secukupnya (hemat) tidak rakus atau serakah sebab keserakahanlah yang menghancurkan bumi ini.

Perilaku konsumen adalah kecenderungan konsumen dalam melakukan konsumsi, untuk memaksimalkan kepuasanya. Konsumen mencapai keseimbanganya ketika dia memaksimalkan pemanfaatanya sesuai dengan keterbatasan penghasilan, yakni: ketika rasio-rasio pemanfaatan-pemanfaatan marginal dari berbagai komoditas sama dengan rasio-rasio harga-harga uangnya masing-masing.[1]

 

Dalam paradigma ekonomi konvensional perilaku konsumen didasari pada prinsip-prinsip dasar utilitarianisme dan rasionalitas semata. Prinsip ini menuntut adanya perkiraan dan pengetahuan mengenai akibat yang dilakukan.Prinsip ini mendorong konsumen untuk memaksimalkan nilai guna dengan usaha yang paling minimal dengan melupakan nilai-nilai kemanusian. Akibatnya tercipta individualisme dan self interest. Maka keseimbangan umum tidak dapat dicapai dan terjadilah kerusakan dimuka bumi.[2]

 

Berbeda dengan Islam yang mengingatkan bahwa harta yang dimiliki manusia adalah titipan Allah, bukan tujuan namun sarana yang digunakan untuk memenuhi kebutuhan manusia baik jasmani dan rohani sehingga mampu memaksimalkan fungsi kemanusiaannya sebagai hamba dan khalifah Allah untuk menggapai kebahagiaan dunia dan akhirat (Q.S Al-Hadid : 7, Hud : 61) .

 

Perilaku konsumen Islami didasarkan atas rasionalitas yang disempurnakan dan mengintegrasikan keyakinan dan kebenaran yang melampaui rasionalitas manusia yang sangat terbatas berdasarkan Alquran dan Sunnah. Islam memberikan konsep pemuasan kebutuhan dibarengi kekuatan moral, ketiadaan tekanan batin dan adanya keharmonisan hubungan antara sesama.

 

Ekonomi Islam bukan hanya berbicara tentang pemuasan materi yang bersifat fisik, tapi juga berbicara cukup luas tentang pemuasan materi yang bersifat abstrak, pemuasan yang lebih berkaitan dengan posisi manusia sebagai hamba Allah SWT.

 

Dapat kita simpulkan Perilaku konsumen dalam ekonomi islam diantaranya harus meliputi :

 

1. Prinsip syariah, yaitu menyangkut dasar syariat yang harus terpenuhi dalam melakukan konsumsi di mana terdiri dari: Prinsip akidah, yaitu hakikat konsumsi adalah sebagai sarana ketaatan untuk beribadah sebagai perwujudan keyakinan manusia sebagai makhluk dan khalifah yang nantinya diminta pertanggungjawaban oleh Pencipta. (QS. Al-An'am : 165). Prinsip ilmu, yaitu seseorang ketika akan mengkonsumsi harus mengetahui ilmu tentang barang yang akan dikonsumsi dan hukum-hukum yang berkaitan dengannya apakah merupakan sesuatu yang halal atau haram baik ditinjau dari zat, proses, maupun tujuannya. Prinsip amaliah, sebagai konsekuensi akidah dan ilmu yang telah diketahui tentang konsumsi Islami tersebut, seseorang dituntut untuk menjalankan apa yang sudah diketahui, maka dia akan mengkonsumsi hanya yang halal serta menjauhi yang haram dan syubhat.

 

2. Prinsip kuantitas, yaitu sesuai dengan batas-batas kuantitas yang telah dijelaskan dalam syariat Islam, di antaranya: Sederhana, yaitu mengkonsumsi secara proporsional tanpa menghamburkan harta, bermewah-mewah, mubazir, namun tidak juga pelit (QS. Al-Isra: 27-29, Al-A'raf:31). Sesuai antara pemasukan dan pengeluaran, artinya dalam mengkonsumsi harus disesuaikan dengan kemampuan yang dimilikinya, bukan besar pasak daripada tiang. Menabung dan investasi, artinya tidak semua kekayaan digunakan untuk konsumsi tapi juga disimpan untuk kepentingan pengembangan kekayaan itu sendiri

 

3. Prinsip prioritas, di mana memperhatikan urutan kepentingan yang harus diprioritaskan agar tidak terjadi kemudharatan, yaitu: Primer, adalah konsumsi dasar yang harus terpenuhi agar manusia dapat hidup dan menegakkan kemaslahatan dirinya dunia dan agamanya serta orang terdekatnya, seperti makanan pokok. Sekunder, yaitu konsumsi untuk menambah atau meningkatkan tingkat kualitas hidup yang lebih baik, jika tidak terpenuhi maka manusia akan mengalami kesusahan. Tersier, yaitu konsumsi pelengkap manusia.

 

4.  Prinsip sosial, yaitu memperhatikan lingkungan sosial di sekitarnya sehingga tercipta keharmonisan hidup dalam masyarakat, di antaranya:Kepentingan umat, yaitu saling menanggung dan menolong sehingga Islam   mewajibkan zakat bagi yang mampu juga menganjurkan sadaqah, infaq dan wakaf. Keteladanan, yaitu memberikan contoh yang baik dalam berkonsumsi  baik dalam keluarga atau masyarakat . Tidak membahayakan orang yaitu dalam mengkonsumsi justru tidak merugikan dan memberikan madharat ke orang lain seperti merokok di tempat umum.[3]

 Prinsip Konsumsi dalam Islam

Menurut Islam, anugerah-anugerah Allah adalah milik semua manusia. Suasana yang menyebabkan sebagian diantara anugerah-anugerah itu berada di tangan orang-orang tertentu tidak berarti bahwa mereka dapat memanfaatkan anugerah-anugerah itu untuk mereka sendiri. Orang lain masih berhak atas anugerah-anugerah tersebut walaupun mereka tidak memperolehnya. Dalam Al-Qur`an Allah SWT mengutuk dan membatalkan argument yang dikemukakan oleh orang kaya yang kikir karena ketidaksediaan mereka memberikan bagian atau miliknya ini.[4]

 

Bila dikatakan kepada mereka, " belanjakanlah sebagian rizqi Allah yang diberikan-Nya kepadamu," orang-orang kafir itu berkata, " apakah kami harus memberi makan orang-orang yang jika Allah menghendaki akan diberi-Nya makan? Sebenarnya kamu benar-benar tersesat." ( QS 36 : 47 )

 

Dalam Ekonomi Islam, konsumsi diakui sebagai salah satu perilaku ekonomi dan kebutuhan asasi dalam kehidupan manusia. Perilaku konsumsi diartikan sebagai setiap perilaku seorang konsumen untuk menggunakan dan memanfaatkan barang dan jasa untuk memenuhi kebutuhan hidupnya. Namun Islam memberikan penekanan bahwa fungsi perilaku konsumsi adalah untuk memenuhi kebutuhan manusia baik jasmani dan ruhani sehingga mampu memaksimalkan fungsi kemanusiaannya sebagai hamba dan khalifah Allah untuk mendapatkan kebahagiaan dunia dan akherat.[5]

 

Dalam ekonomi Islam konsumsi dikendalikan oleh lima prinsip dasar sebagai berikut :

 

1.  Prinsip Keadilan.

 

Syarat ini mengandung arti ganda bahwa rezeki yang dikonsumsi haruslah yang halal dan tidak dilarang hukum. Misalnya dalam soal makanan dan minuman, yang terlarang adalah darah, daging binatang yang telah mati sendiri, daging babi, daging binatang yang ketika disembelih diserukan nama selain nama Allah, ( Q.S Al- Baqarah 2 : 173 ). Tiga golongan pertama dilarang karena hewan-hewan ini berbahaya bagi tubuh sebab yang berbahaya bagi tubuh tentu berbahaya pula bagi jiwa. Larangan terakhir berkaitan dengan segala sesuatu yang langsung membahayakan moral dan spiritual, karena seolah-olah hal ini sama dengan mempersekutukan tuhan. Kelonggaran diberikan bagi orang-orang yang terpaksa, dan bagi orang yang pada suatu ketika tidak mempunyai makanan untuk dimakan. Ia boleh makan makanan yang terlarang itu sekedar yang dianggap perlu untuk kebutuhannya ketika itu saja.

 

2. Prinsip Kebersihan.

 

Obyek konsumsi haruslah sesuatu yang bersih dan bermanfaat. Yaitu sesuatu yang baik, tidak kotor, tidak najis, tidak menjijikkan, tidak merusak selera, serta memang cocok untuk dikonsumsi manusia.

 

3. Prinsip Kesederhanaan.

 

Konsumsi haruslah dilakukan secara wajar, proporsional, dan tidak berlebih-lebihan. Prinsip-prinsip tersebut tentu berbeda dengan ideologi kapitalisme dalam berkonsumsi yang menganggap konsumsi sebagai suatu mekanisme untuk menggenjot produksi dan pertumbuhan. Semakin banyak permintaan maka semakin banyak barang yang diproduksi. Disinilah kemudian timbul pemerasan, penindasan terhadap buruh agar terus bekerja tanpa mengenal batas waktu guna memenuhi permintaan. Dalam Islam justru berjalan sebaliknya: menganjurkan suatu cara konsumsi yang moderat, adil dan proporsional. Intinya, dalam Islam konsumsi harus diarahkan secara benar dan proporsional, agar keadilan dan kesetaran untuk semua bisa tercipta.

 

4. Prinsip kemurahan hati.

 

Makanan, minuman, dan segala sesuatu halal yang telah disediakan Tuhan merupakan bukti kemurahan-Nya. Semuanya dapat kita konsumsi dalam rangka kelangsungan hidup dan kesehatan yang lebih baik demi menunaikan perintah Tuhan. Karenanya sifat konsumsi manusia juga harus dilandasi dengan kemurahan hati. Maksudnya, jika memang masih banyak orang yang kekurangan makanan dan minuman maka hendaklah kita sisihkan makanan yang ada pada kita kemudian kita berikan kepada mereka yang sangat membutuhkannya.

 

5. Prinsip moralitas.

 

Kegiatan konsumsi itu haruslah dapat meningkatkan atau memajukan nilai-nilai moral dan spiritual. Seorang muslim diajarkan untuk menyebutkan nama Allah sebelum makan, dan menyatakan terimakasih setelah makan adalah agar dapat merasakan kehadiran ilahi pada setiap saat memenuhi kebutuhan fisiknya. Hal ini penting artinya karena Islam menghendaki perpaduan nilai-nilai hidup material dan spiritual yang berbahagia.[6]

Sebagimana sabda Nabi Muhammad dalam hutbahnya artinya: "Dan untuk badanmu ada hak bagimu"

 Dari Zakariya Bin Abi Zaidah dari Al-Sya'bi berkata: Saya mendengar nukman bin basir berkata diatas mimbar dan iya mengarahkan jarinya pada telinganya, saya mendengar RAsulullah SAW bersabda: 

"Halal itu jelas, haram juga jelas, diantara keduanya itu subhat, kebanyakan manusia tidak mengetahuinya, maka barang siapa menjaga diri dari barang subhat, maka iya telah bebas untuk agama dan kehormatannya, barang siapa yang terjerumus dalam subhat maka iya seperti pengembala disekitar tanah yang dilarang yang dikhawatirkan terjerumus. Ingatlah sesungguhnya bagi setiap pemimpin daerah larangan. 

Larangan Allah adalah yang diharamkan oleh Allah, ingatlah bahwa sesungguhnya dalam jasad tersebut segumpal daging, jika baik maka baiklah seluruhnya, jika jelek maka jeleknya seluruh tubuhnya, ingatlah itu adalah hati". (HR. Muttafaqun alaih)

[1] Nur Rianto, Dasar-dasar Ekonomi Islam, (Solo: PT. Era Adicitra Intermedia, 2011), hlm 14

   

[2] Edwin Nasution, Pengenalan Ekslusif Ekonomi Islam, (Jakarta: Kencana Prenada Media Group, 2010), hlm 61

   

[3] ] Asmuni Solihan ,Fikih Ekonomi Umar bin AI-Kaththab, (Jakarta: Khalifa, 2010), hlm 182-185

   

[4] Eko Suprayitno, Ekonomi Islam,( Yogyakarta: Graha Ilmu, 2005), hlm 92

   

[5] Mannan, Teori dan Praktek Ekonomi Islam, (Yogyakarta: Dana Bhakti Prima Yasa, 1997), hlm. 44.

[6] Eko Suprayitno, Ekonomi Islam, (Yogyakarta: Graha Ilmu, 2005), hlm 93-94

   

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun