Sebagai ulama, Amir Syarifuddin bukan sekedar mengajarkan ilmu-ilmu ke-Islaman dalam artian terbatas, wabil khusus hukum Islam dan hukum kewarisan Islam, tetapi di luar ilmu fikih dan ushul fikih serta membaca teks klasik Ibnu Rusyd dan lainnya, beliau sangat memahami dengan baik Ilmu Tauhid dan Ilmu Kalam atau Theology Islam. Â Dan di dalam praktek sufi modern, beliau adalah praktisinya yang patut diteladani.
Di antaranya berbicara lugas, tegas dan akurat. Â Dengan dalil aqli dan naqli yang orisinal. Tak pernah ada kilasan rasa tak nyaman dengan teman berfikir dan lawan debatnya. Akan tetapi tetap bijaksana di dalam memutuskan hal-hal yang prinsipil untuk lembaganya.
Di dalam memimpin selalu berada di tengah. Ini terasa kepada murid, mahasiswa dan para abdi negara di bawah manajemen utama beliau di IAIN 1982 (Care Taker Rektor) dan Rektor Penuh 1983-1993.
Posisi berada di tengah itu sangat terkesan ketika pada masa lalu ada nuansa  terjadi kompetisi tersembunyi antara pengikut ormas tertentu di lembaga yang dipimpinnya. Amarhum Prof Amir begitu piawai mengendalikan diri dan bawahannya serta koordinasi ke samping, ke atas dan ke bawah.
Dengan begitu tak ada kesan beliau pro kekuatan tertentu apalagi ormas tertentu. Kendali manajemen dan spektrum kepemimpinannya di akui adil-berimbang dan memberikan semangat kreatifitas tinggi kepada dosen, mahasiswa dan karyawan.
Politisi Handal
Pada masa kepemimpinan Prof Amir di IAIN Imam Bonjol dianggap berbagai pihak beliau sukses. Lalu setelah itu beliau terpilih aklamasi menjadi Ketua MUI Sumbar. Berikutnya, ketika di ujung masa Orde Baru 1977-1999 Prof Amir terpilih melalui sidang DPRD Sumbar menjadi Anggota MPR RI utusan Daerah dari Sumbar.
Ini mencerminkan bahwa kilatan politik menjadi bagian tak terpisahkan dari kehidupan ulama yang satu ini di masa itu.
Keadaan itu tak begitu lama berlansung. Oleh karena Prof Amir adalah Guru Besar Hukum Islam yang jelas adalah Aparatur Sipil Negara (ASN).  Maka sesuai dengan aturan setelah reformasi,  ASN bebas politik praktis atau Bahasa vulgarnya, "tak boleh berpolitik", dan apa lagi duduk di lembaga negara yang  berbaju politik. Ulama guru besar ini sepenuhnya kembali ke habitat awalnya yaitu dunia keulamaan dan akademisi.uHyH
Tak Banyak Cerita dan Kokoh
Kecintaan para kolega dan murid Amir Syarifuddin bukan  hanya atas ilmu dan keulamaannya.  Lebih dari itu.  Misalnya komen berikut dari Prof. Dr. H. Azmi, M.Ed, mantan rektor UM Sumbar dan WR 1 IKIP-UNP. " Prof Amir itu tak banyak cerita dan kokoh", Prof Azmi pernah bersamanya di MUI Sumbar.