Akhir-akhir  ini "buzzer" juga disebut lebih halus dengan kata "influencer". Subyek yang mempengaruhi. Membuat sesutu menjadi "trending" atau "trend setter".
Kedua kosa kata itu menjadi konten dominan di media sosial dalam berbagai variasi.
Akan tetapi penggunaannya, untuk buzzer lebih kepada isu dan kepentingan politik menumbuhkan populisme kelompok, partai politik atau tokoh.
Sementara influencer biasanya lebih kepada tujuan komersial, bisnis, ekonomi dan pemasaran. Baik dalam bentuk opini, tayangan iklan  iPod, YouTube, IG, FB, LinkdIn dan lainnya.
Bila menimbulkan kontra produktif untuk kemaslahatan umat, bangsa,  negara dan  kelanjutan generasi, maka hal itu dapat dikategorikan kepada buzzer dan  influencer katgori populisme eksklusif.
Akan tetapi bila diperkirakan  sesuai dengan arus utama yang  normatif dan positif bagi mayoritas akal sehat, budaya dan ketinggian budi, inilah yang diharapkan menjadi populisme inklusif. Maka di situlah makna QS, Al-Anbiya, 21: 107, "Dan tidak Kami utus engkau ya Muhammad, kecuali untuk menjadi rahmat bagi seluruh alam"
Bukan paradoks populisme ekslusif-inklusif. Tidak mengandung kontradiksi terhadap kebersamaan. Sebaliknya menjadi kentongan untuk harmonisasi dan kerukunan.
Wa Allah a'lam bi al-shawab. Dan Allah Maha Tahu apa yang sebenarnya. ***
(Shofwan Karim., Ketua PWM, Dosen PPs UM Sumbar dan Ketua Umum YPKM)tua Umum YPKM)
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H