Mohon tunggu...
Shofwa Fathina
Shofwa Fathina Mohon Tunggu... Akuntan - Akuntan

Magister Akuntansi Angkatan 40 Universitas Mercubuana Tugas Mata Kuliah Pajak Internasional dan Pemeriksaan Pajak Dosen Pengampu : Prof. Dr. Apollo, M.Si.Ak Nama Mahasiswa : Shofwa Fathina NIM : 55521120001

Selanjutnya

Tutup

Ilmu Sosbud

Kuis 06: Pajak Berganda, Expected Utility Theory (Allingham dan Sandmo, 1972), Mathias Werde (1993), dan Tax Havens

11 April 2023   22:46 Diperbarui: 11 April 2023   23:19 356
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Rumus Expected Utility Theori (Allingham dan Sandmo) ;dokpri

Perbedaan aturan perpajakan antar negara merupakan sumber timbulnya pajak berganda. Knechtle (1979) membedakan pengertian pajak berganda secara luas sebagai bentuk pembebanan pajak dan pungutan lainnya lebih dari satu kali, yang dapat berganda atau lebih atas suatu fiskal. Adapun pajak berganda dalam arti sempit dimaknai terjadi pada semua kasus pemajakan beberapa kali terhadap suatu subjek dan/atau objek pajak dalam satu administrasi pajak yang sama, yang mengesampingkan pembebanan pajak oleh pemerintah daerah. Guna menghindari pajak berganda, negara-negara melakukan perjanjian penghindaran pajak berganda (P3B). 

P3B didefinisikan sebagai kesepakatan antara dua negara untuk memodifikasi peraturan perundang-undangan perpajakan masing-masing negara dalam rangka membagi hak pemajakan serta mencegah penghindaran pengenaan pajak.

Pembahasan mengenai pajak berganda dan perjanjian penghindaran pajak berganda (P3B) menjadi perbincangan yang tiada habisnya dalam topik perpajakan internasional. Hal ini akan selalu berubah secara dinamis sesuai dengan faktor politik, ekonomi, geografis, dan pertimbangan lainnya. Pembahasan mengenai pajak berganda antara lain dapat merujuk pada teori utilitas yang diharapkan (expected utility theory) sebagaimana dicetuskan oleh Allingham dan Sandmo (1972).

Teori utilitas yang diharapkan (expected utility theory) digunakan sebagai dasar teori dalam mempelajari perilaku wajib pajak ketika dihadapkan pada suatu kondisi untuk melaporkan jumlah penghasilan dalam suatu proses pemeriksaan dan denda. Menurut expected utility theory, tidak ada wajib pajak yang bersedia membayar pajak secara sukarela. 

Teori utilitas yang diharapkan berkaitan erat dengan kepatuhan pajak. Dalam teori ini, kepatuhan pajak (D) dirumuskan terbentuk dari empat faktor utama yaitu pendapatan tetap (I), tarif pajak (t), probabilitas pemeriksaan pajak (p), dan besarnya sanksi yang mungkin dikenakan (f). Lebih lanjut, notasi kepatuhan pajak (D) atau declaration income merupakan tingkat pendapatan wajib pajak yang akan dilaporkan.

Wajib pajak tidak akan dikenai pajak atas pendapatan yang tidak dilaporkan. Akan tetapi, keputusan tersebut berisiko terkena pemeriksaan pajak, yang disimbolkan dengan notasi probabilitas p. selain itu, juga berpotensi dikenakan denda yang dirumuskan dalam notasi f. Menurut teori utilitas yang diharapkan (expected utility theory), wajib pajak akan memilih untuk melaporkan sejumlah pendapatan tertentu (declared income) untuk mendapatkan utilitas maksimal yang diharapkan (expected utility) melalui tindakan spekulasi menghindari pajak.

Suyapto dan Lesmana (2014) dalam Alya dan Iqbal (tanpa tahun) menyatakan bahwa jumlah pendapatan yang dilaporkan (declared income) akan meningkat sesuai peningkatan perkiraan akan terjadinya pemeriksaan dan sanksi pajak. Adapun pengaruh dari tarif pajak dan pendapatan ditentukan oleh perilaku atau keputusan individu dalam menghadapi resiko pemeriksaan maupun sanksi pajak.

Apabila dikaitkan dengan teori utilitas yang diharapkan, pajak berganda erat kaitannya dengan jumlah pendapatan yang dilaporkan (declared income) oleh wajib pajak. Guna menghindari pajak berganda, wajib pajak dapat menurunkan jumlah penghasilan yang sebenarnya, berbeda dengan yang dilaporkan. Meskipun dalam hal ini, wajib pajak berusaha menghindari pajak karena beban pajak yang terlalu tinggi karena dipungut dari dua negara yang sama-sama merasa berhak.

Surga Pajak (Tax Havens)  

Mathias Werde (1993) dalam tulisannya yang berjudul Golden Rule Fiscal Policy menyatakan bahwa untuk mengatasi masalah pertumbuhan ekonomi agregat yang optimal, pemerintah memperkenalkan model pertumbuhan neo-klasik. Adapun pertumbuhan neo klasik dipahami bahwa kemajuan teknologi sangat ditentukan oleh jiwa kewirausahaan masyarakat yang mampu melihat peluang usaha dan memperluas usaha. Dukungan negara akan hal ini antara lain diwujudkan melalui tarif pajak yang lebih rendah atau bahkan nol.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Ilmu Sosbud Selengkapnya
Lihat Ilmu Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun