Geometri adalah ilmu yang menentukan sifat-sifat ruang secara sintetis dan a priori. Agar ini mungkin, ruang harus direpresentasikan sebagai intuisi asli, karena dari konsep murni, kita tidak dapat menarik kesimpulan yang melampaui konsep itu sendiri. Intuisi ini harus ada dalam pikiran secara a priori, sebelum persepsi objek, dan bersifat murni, bukan empiris.
Prinsip-prinsip geometri selalu apodiktik, seperti "Ruang hanya memiliki tiga dimensi," yang tidak bisa berasal dari pengalaman empiris. Intuisi eksternal ini, yang mendahului objek, hanya dapat ada sebagai bentuk kemampuan formal subjek untuk dipengaruhi oleh objek dan mendapatkan representasi langsung (intuisi). Dengan demikian, hanya melalui penjelasan ini, geometri sebagai ilmu sintetis a priori dapat dipahami. Setiap penjelasan lain yang tidak menunjukkan kemungkinan ini bisa dibedakan dengan pasti.
Ruang bukanlah sifat dari objek itu sendiri atau hubungan antara objek-objek. Ruang adalah bentuk dari semua fenomena yang kita tangkap melalui indera luar, yaitu kondisi subjektif dari kemampuan kita untuk merasakan. Karena kemampuan indera kita mendahului persepsi, maka ruang bisa dianggap ada sebelum semua pengalaman. Namun, ruang hanya relevan bagi kita sebagai manusia karena merupakan kondisi subjektif untuk menangkap objek eksternal. Dengan demikian, objek dalam ruang hanya dapat dianggap sebagai fenomena, bukan sebagai benda dalam diri mereka sendiri. Ruang memiliki realitas empiris dalam pengalaman, tetapi juga idealitas transendental karena tidak memiliki eksistensi di luar kemampuan persepsi kita. Sensasi seperti warna atau rasa tidak bisa disamakan dengan ruang karena mereka hanya sensasi, bukan intuisi. Objek luar hanyalah representasi dari persepsi kita, sementara benda pada diri mereka sendiri tetap tidak diketahui.
Waktu bukanlah konsep empiris, melainkan merupakan representasi yang ada secara a priori, yang mendasari persepsi kita tentang keberadaan benda secara bersamaan atau berturutan. Waktu adalah representasi yang diperlukan untuk semua intuisi kita, dan kita tidak dapat memisahkan waktu dari fenomena, meskipun kita dapat membayangkan waktu tanpa fenomena. Waktu adalah kondisi universal dari kemungkinan adanya fenomena. Prinsip-prinsip tentang waktu, seperti bahwa waktu hanya memiliki satu dimensi dan bahwa waktu tidak dapat berjalan bersamaan, bersifat apodeiktik (pasti), dan tidak dapat diperoleh dari pengalaman. Waktu juga merupakan bentuk murni dari intuisi pancaindra, bukan konsep diskursif. Representasi waktu yang tak terbatas menunjukkan bahwa waktu tidak terbatas, dan setiap bagian waktu hanya dapat dipahami melalui pembatasan dari waktu yang lebih besar.
Konsep perubahan, termasuk perubahan tempat (gerakan), hanya mungkin melalui representasi waktu. Jika waktu bukan intuisi internal yang ada secara a priori, kita tidak akan bisa memahami perubahan, yaitu keberadaan dua sifat yang saling bertentangan dalam satu objek pada waktu yang berbeda. Waktu memungkinkan dua kondisi bertentangan terjadi dalam satu objek secara berurutan. Oleh karena itu, konsep waktu menjelaskan kemungkinan pengetahuan sintetis a priori, seperti yang terlihat dalam doktrin umum tentang gerakan, yang sangat bermanfaat.
Waktu bukanlah sesuatu yang ada dengan sendirinya atau inheren dalam benda sebagai determinasi objektif. Waktu hanyalah kondisi subjektif yang mendasari semua intuisi kita, terutama intuisi internal tentang diri kita sendiri dan keadaan internal kita. Waktu tidak terkait dengan bentuk atau posisi benda eksternal, melainkan mengatur hubungan representasi dalam keadaan batin kita. Representasi waktu menunjukkan bahwa semua fenomena, baik internal maupun eksternal, berada dalam waktu dan memiliki hubungan yang didasarkan pada waktu. Namun, waktu tidak memiliki realitas absolut di luar intuisi kita. Ini adalah kondisi subjektif dari intuisi manusia, yang memiliki validitas objektif hanya dalam kaitannya dengan fenomena. Waktu tidak ada secara independen dari pikiran atau subjek kita, dan tidak inheren dalam benda sebagai properti.
Immanuel Kant menyatakan keberatan terhadap teori yang mengakui realitas empiris waktu tetapi menyangkal realitas absolut dan transendentalnya. Meskipun perubahan adalah nyata dan hanya mungkin terjadi dalam waktu, waktu hanya dianggap sebagai bentuk dari intuisi internal kita, bukan sebagai objek yang ada secara independen. Dengan demikian, waktu memiliki realitas subjektif dalam kaitannya dengan pengalaman internal kita, tetapi tidak memiliki realitas absolut di luar persepsi manusia. Waktu dan ruang adalah bentuk pengetahuan yang memungkinkan sintesis a priori, tetapi hanya dalam konteks fenomena dan pengalaman inderawi, bukan sebagai sesuatu yang inheren dalam benda itu sendiri. Waktu dan ruang merupakan syarat bagi semua fenomena, dan meskipun mereka memungkinkan pengetahuan matematika yang murni, mereka tidak dapat dianggap sebagai substansi atau realitas mutlak.
Semua intuisi kita hanyalah representasi dari fenomena, bukan hal-hal itu sendiri. Jika subjek atau kemampuan indera kita dihilangkan, maka ruang dan waktu juga akan hilang, karena mereka hanya ada dalam diri kita, bukan sebagai entitas independen. Penulis menekankan bahwa kita tidak bisa mengetahui objek sebagai hal itu sendiri, melainkan hanya cara kita memandangnya melalui bentuk intuisi kita yang terbatas, yaitu ruang dan waktu. Pengetahuan tentang ruang dan waktu adalah intuisi murni yang dapat kita ketahui secara a priori, sementara sensasi adalah bagian dari intuisi empiris. Pandangan Leibnitz-Wolf dianggap salah karena menganggap perbedaan antara yang sensori dan yang intelektual hanya logis, padahal perbedaannya bersifat transendental dan berkaitan dengan asal dan konten dari kedua jenis pengetahuan tersebut. Akibatnya, kita hanya berurusan dengan fenomena, bukan benda itu sendiri. Ruang dan waktu, dalam konteks ini, hanya merupakan kondisi subjektif dari intuisi kita, dan objek eksternal hanyalah fenomena yang muncul karena cara kita menangkap mereka melalui ruang dan waktu, bukan representasi dari benda itu sendiri.
Baik indra eksternal maupun internal hanya memberikan kita fenomena, bukan benda dalam dirinya sendiri. Semua yang kita tangkap melalui intuisi hanyalah hubungan, seperti posisi (ekstensi), perpindahan (gerakan), dan hukum-hukum yang mengaturnya. Namun, esensi benda itu sendiri tidak bisa diketahui hanya dari hubungan-hubungan ini. Hal yang sama berlaku untuk intuisi internal, di mana waktu berperan sebagai kondisi formal yang hanya menunjukkan hubungan-hubungan seperti keberurutan dan keberadaan bersama, tetapi tidak memberikan pengetahuan tentang benda itu sendiri. Kesadaran diri, atau appersepsi, hanya memberikan representasi sederhana dari "ego" atau diri kita, dan tidak memberikan intuisi internal yang intelektual, karena itu membutuhkan persepsi internal dari representasi yang diberikan sebelumnya tanpa spontanitas. Oleh karena itu, intuisi internal kita adalah hasil dari bagaimana pikiran kita terpengaruh secara internal, sehingga diri kita ditangkap sebagai fenomena, bukan sebagai esensi sejatinya.
Intuisi tentang objek eksternal dan diri sendiri dalam ruang dan waktu, sebagaimana mereka mempengaruhi indra kita, adalah fenomena yang nyata dan bukan ilusi. Namun, sifat-sifat seperti ruang dan waktu bukanlah milik objek itu sendiri, melainkan tergantung pada cara kita mengamati objek tersebut. Jika kita menganggap ruang dan waktu sebagai sifat objek itu sendiri, maka kita akan menghadapi kontradiksi seperti menganggapnya sebagai dua entitas tak terbatas yang bukan substansi nyata. Ini bisa membawa kita pada pandangan bahwa semua objek hanya ilusi, seperti yang diyakini oleh Berkeley. Namun, penulis menolak pandangan ini dan menegaskan bahwa fenomena tersebut bukan ilusi, melainkan hasil dari cara kita mengamati objek.
Dalam teologi natural, ketika kita memikirkan Tuhan yang tidak bisa menjadi objek intuisi bagi kita atau bahkan bagi dirinya sendiri, kita menghindari atribusi kondisi ruang dan waktu pada intuisi-Nya. Jika ruang dan waktu dianggap sebagai bentuk objek itu sendiri dan sebagai kondisi a priori dari eksistensi benda-benda, maka ruang dan waktu harus juga menjadi kondisi eksistensi dari Tuhan Yang Maha Esa. Namun, jika kita tidak menganggapnya sebagai bentuk objektif dari semua benda, maka satu-satunya alternatif adalah menganggapnya sebagai bentuk subjektif dari cara intuisi kita, baik eksternal maupun internal. Intuisi ini, sebagai intuisi sensori, bergantung pada keberadaan objek dan bukan merupakan intuisi asli atau intelektual yang mungkin hanya dimiliki oleh Tuhan. Poin ini lebih sebagai ilustrasi daripada bukti kebenaran teori estetika kita.