Mohon tunggu...
Shofi Nafilah
Shofi Nafilah Mohon Tunggu... Mahasiswa - Mahasiswa

Saya hobi ngaji dan nyanyi

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Cahaya di Bulan Ramdhan

4 Desember 2024   21:48 Diperbarui: 4 Desember 2024   21:51 32
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

Desa Sukodarmo merupakan sebuah desa yang dikenal sebagai desa yang tenang. Kehidupan masyarakatnya sederhana, dan hampir semua penduduknya taat beribadah. Terutama di bulan Ramadhan, suasana terasa menjadi lebih khidmat. Anak-anak belajar mengaji di surau, suara tadarus menggema di sore dan malam hari, dan aroma khas masakan untuk berbuka memenuhi udara. Namun, tidak semua warga merasakan kekhusyukan itu dengan sepenuh hati, terutama Anton.

Anton adalah pemuda berusia 27 tahun yang dikenal keras kepala. Ia dikenal sebagai pemuda yang jarang beribadah, meski keluarganya sangat religius. Setiap bulan Ramadhan tiba, ia tetap menjalankan aktivitasnya seperti biasa yakni, nongkrong bersama teman-temannya hingga larut malam, bermain kartu, bahkan kerap terlibat dalam perdebatan yang tidak bermanfaat. Karena bagi Anton, puasa hanyalah rutinitas tanpa makna.

Pertemuan yang Mengubah

Suatu hari di hari ke-10 Ramadhan, Anton duduk di warung kopi milik Bu Indah di ujung desa. Meski warung tersebut tampak sepi karena sebagian besar warga berpuasa, ia tetap memesan kopi dan rokok. Di saat itulah, datanglah Pak Abdul. Yakni seorang Ustadz yang baru pindah ke desa. 

Dengan senyuman ramah Pak Abdul, menyapa Anton, "Assalamualaikum, Anton." Anton yang terkejut hanya menjawab singkat, "Waalaikumussalam, Pak." Pak Abdul memesan air putih dan duduk di dekat Anton. Setelah beberapa saat, ia bertanya, "Anton, bagaimana puasamu tahun ini?." Anton terdiam sejenak. Ia tahu Pak Abdul sedang mengamatinya. Dengan nada santai, ia menjawab, "Biasa saja, Pak. Namanya juga puasa, yang penting nggak makan dan minum, kan?." Pak Abdul tersenyum. "Betul, menahan makan dan minum itu syarat utama. Tapi, apakah itu cukup untuk mencapai makna puasa yang sesungguhnya?." 

"Memangnya ada lagi?" tanya Anton, sedikit bingung. Pak Abdul mengutip sebuah hadits Rasulullah SAW: "Man lam yada’ qaula az-zuur wal ‘amala bihi falaisa lillahi haajatun fii an yada’a tha’amahu." Yang artinya, Barang siapa tidak meninggalkan perkataan dusta dan perbuatan dosa, maka Allah tidak membutuhkan ia meninggalkan makan dan minumnya." Anton terdiam. Ia merenungkan kata-kata itu, meski tidak mengakuinya secara langsung.

Awal Perubahan

Keesokan harinya, Anton bangun lebih awal dari biasanya. Ia tidak langsung pergi ke warung, tetapi mencoba mengikuti shalat Subuh di masjid. Di sana, ia bertemu dengan Pak Abdul lagi yang mengajaknya berbincang usai shalat. "Anton, tahukah kamu bahwa puasa itu bukan hanya soal lapar dan haus?. Puasa juga tentang menjaga lisan, mengendalikan amarah, dan memperbanyak kebaikan," kata Pak Abdul. "Apa gunanya semua itu, Pak?" tanya Anton, masih skeptis. "Puasa adalah cara Allah melatih kita untuk menjadi pribadi yang lebih baik. Kita diajarkan untuk sabar, jujur, dan peduli pada orang lain. Jika hanya menahan lapar, kita kehilangan kesempatan untuk meraih pahala yang lebih besar," jawab Pak Abdul. Anton mulai tertarik. Ia memutuskan untuk mencoba berubah, meski sedikit demi sedikit. 

Ujian Kesabaran

Pada hari ke-15 Ramadhan, Anton mendapat ujian. Saat berjalan menuju pasar, ia bertemu dengan Fajar, temannya yang sering mengajaknya berbuat hal-hal yang tidak bermanfaat. "Hei, Anton! Lama nggak nongkrong. Ayo main kartu malam ini, kita seru-seruan!" ajak Fajar. Anton tersenyum tipis. "Sorry, Jar. Aku sedang mencoba fokus ibadah di bulan puasa ini." Fajar tertawa keras. "Hahaha! Kamu bercanda, kan? Anton yang aku kenal nggak pernah ngomong soal ibadah!" ucap Fajar. Meski merasa tersinggung, Anton mengingat nasihat Pak Abdul untuk menjaga lisan dan hati. Ia menahan diri dan berkata, "Fajar, aku serius. Aku ingin berubah. Bulan Ramadhan ini kesempatan untuk memperbaiki diri." Fajar hanya mengangkat bahu dan pergi. Anton merasa lega karena berhasil mengendalikan amarahnya.

Menemukan Makna

Semakin hari, Anton merasa puasanya menjadi lebih bermakna. Ia mulai membantu ibunya menyiapkan makanan berbuka, mengantarkan takjil ke tetangga, dan mengikuti pengajian di masjid. Ia juga memperbaiki lisannya, berusaha berkata jujur, dan menghindari gosip. Pada suatu malam, saat pengajian, Pak Abdul memberikan tausiyah tentang sebuah hadits: "Puasa itu perisai, maka apabila salah seorang dari kalian sedang berpuasa, janganlah berkata kotor dan bertengkar. Jika seseorang mencacinya, maka katakanlah, 'Aku sedang berpuasa.'" (HR. Bukhari dan Muslim). Anton merenungkan hadits itu. Ia menyadari bahwa selama ini ia sering meluapkan emosinya tanpa berpikir panjang. Namun, puasa melatihnya untuk bersabar dan memilih kata-kata yang baik.

Malam terakhir Ramadhan tiba. Anton duduk di beranda rumah, merenungkan perjalanannya selama sebulan penuh. Ia merasa lebih tenang dan damai. Untuk pertama kalinya, ia merasakan keindahan ibadah yang sesungguhnya. Pak Abdul datang untuk menyampaikan salam perpisahan sebelum mudik ke kampung halamannya. Ia menepuk bahu Anton sambil berkata, "Anton aku bangga padamu. Aku melihat perubahan besar dalam dirimu. Teruskan semangat ini, jangan hanya di bulan Ramadhan." Anton tersenyum. "Terima kasih, Pak. Semua ini berkat nasihat Bapak. Saya akan berusaha menjadi lebih baik, bukan hanya di bulan puasa, tapi seterusnya."

Penutup

Cerita Anton mengajarkan kita bahwa puasa bukan sekadar menahan lapar dan haus, tetapi juga menahan diri dari perilaku buruk, menjaga lisan, dan memperbanyak amal baik. Hadits-hadits Rasulullah SAW memberikan panduan bagi kita untuk meraih esensi puasa yang sesungguhnya. Dalam perjalanan hidup, selalu ada kesempatan untuk berubah menjadi lebih baik, dan Ramadhan adalah momen terbaik untuk memulainya. Bulan Ramadhan telah usai, tetapi semangat Anton tetap menyala. Bagi Anton, puasa tahun itu bukan hanya ritual, tetapi awal dari perubahan menuju kehidupan yang lebih bermakna.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun