Desa Sukodarmo merupakan sebuah desa yang dikenal sebagai desa yang tenang. Kehidupan masyarakatnya sederhana, dan hampir semua penduduknya taat beribadah. Terutama di bulan Ramadhan, suasana terasa menjadi lebih khidmat. Anak-anak belajar mengaji di surau, suara tadarus menggema di sore dan malam hari, dan aroma khas masakan untuk berbuka memenuhi udara. Namun, tidak semua warga merasakan kekhusyukan itu dengan sepenuh hati, terutama Anton.
Anton adalah pemuda berusia 27 tahun yang dikenal keras kepala. Ia dikenal sebagai pemuda yang jarang beribadah, meski keluarganya sangat religius. Setiap bulan Ramadhan tiba, ia tetap menjalankan aktivitasnya seperti biasa yakni, nongkrong bersama teman-temannya hingga larut malam, bermain kartu, bahkan kerap terlibat dalam perdebatan yang tidak bermanfaat. Karena bagi Anton, puasa hanyalah rutinitas tanpa makna.
Pertemuan yang Mengubah
Suatu hari di hari ke-10 Ramadhan, Anton duduk di warung kopi milik Bu Indah di ujung desa. Meski warung tersebut tampak sepi karena sebagian besar warga berpuasa, ia tetap memesan kopi dan rokok. Di saat itulah, datanglah Pak Abdul. Yakni seorang Ustadz yang baru pindah ke desa.Â
Dengan senyuman ramah Pak Abdul, menyapa Anton, "Assalamualaikum, Anton." Anton yang terkejut hanya menjawab singkat, "Waalaikumussalam, Pak." Pak Abdul memesan air putih dan duduk di dekat Anton. Setelah beberapa saat, ia bertanya, "Anton, bagaimana puasamu tahun ini?." Anton terdiam sejenak. Ia tahu Pak Abdul sedang mengamatinya. Dengan nada santai, ia menjawab, "Biasa saja, Pak. Namanya juga puasa, yang penting nggak makan dan minum, kan?." Pak Abdul tersenyum. "Betul, menahan makan dan minum itu syarat utama. Tapi, apakah itu cukup untuk mencapai makna puasa yang sesungguhnya?."Â
"Memangnya ada lagi?" tanya Anton, sedikit bingung. Pak Abdul mengutip sebuah hadits Rasulullah SAW: "Man lam yada’ qaula az-zuur wal ‘amala bihi falaisa lillahi haajatun fii an yada’a tha’amahu." Yang artinya, Barang siapa tidak meninggalkan perkataan dusta dan perbuatan dosa, maka Allah tidak membutuhkan ia meninggalkan makan dan minumnya." Anton terdiam. Ia merenungkan kata-kata itu, meski tidak mengakuinya secara langsung.
Awal Perubahan
Keesokan harinya, Anton bangun lebih awal dari biasanya. Ia tidak langsung pergi ke warung, tetapi mencoba mengikuti shalat Subuh di masjid. Di sana, ia bertemu dengan Pak Abdul lagi yang mengajaknya berbincang usai shalat. "Anton, tahukah kamu bahwa puasa itu bukan hanya soal lapar dan haus?. Puasa juga tentang menjaga lisan, mengendalikan amarah, dan memperbanyak kebaikan," kata Pak Abdul. "Apa gunanya semua itu, Pak?" tanya Anton, masih skeptis. "Puasa adalah cara Allah melatih kita untuk menjadi pribadi yang lebih baik. Kita diajarkan untuk sabar, jujur, dan peduli pada orang lain. Jika hanya menahan lapar, kita kehilangan kesempatan untuk meraih pahala yang lebih besar," jawab Pak Abdul. Anton mulai tertarik. Ia memutuskan untuk mencoba berubah, meski sedikit demi sedikit.Â
Ujian Kesabaran
Pada hari ke-15 Ramadhan, Anton mendapat ujian. Saat berjalan menuju pasar, ia bertemu dengan Fajar, temannya yang sering mengajaknya berbuat hal-hal yang tidak bermanfaat. "Hei, Anton! Lama nggak nongkrong. Ayo main kartu malam ini, kita seru-seruan!" ajak Fajar. Anton tersenyum tipis. "Sorry, Jar. Aku sedang mencoba fokus ibadah di bulan puasa ini." Fajar tertawa keras. "Hahaha! Kamu bercanda, kan? Anton yang aku kenal nggak pernah ngomong soal ibadah!" ucap Fajar. Meski merasa tersinggung, Anton mengingat nasihat Pak Abdul untuk menjaga lisan dan hati. Ia menahan diri dan berkata, "Fajar, aku serius. Aku ingin berubah. Bulan Ramadhan ini kesempatan untuk memperbaiki diri." Fajar hanya mengangkat bahu dan pergi. Anton merasa lega karena berhasil mengendalikan amarahnya.
Menemukan Makna