Sabana yang jadi buruan pelancong-pelancong dari luar Sumbawa.
“Ibu Shofi datang dari Jakarta. Jakarta ada di pulau mana, anak-anak?” pancing Riri ketika memperkenalkanku ke murid-murid kelas 3 di salah satu sekolah yang kami kunjungi.
“Kalimantan, Bu!” seorang murid mengacungkan jari dan langsung menjawab. Saya tertawa saja, memandangi Riri yang sigap mengambil peta Indonesia yang tergantung di dinding. Menjelaskan tentang sebuah kota bernama Jakarta.
Untunglah, selain sabana, para Pengajar Muda punya alasan lain untuk berada sejak di sini. Adalah ketulusan untuk merelakan waktu, energi, dan tenaga untuk memangkas jarak peradaban dan pengetahuan yang ternyata lebih panjang dari selisih waktu satu jam antara WIB dan WITA saja.
4 tahun sudah Pengajar Muda bekerja di 17 titik kabupaten di seluruh Indonesia. Menemukan, mengembangkan, kemudian menjejaringkan aktor-aktor kunci yang kami sebut dengan penggerak daerah. Sehingga suatu saat ketika mereka sudah tidak lagi ada di sana, sudah ada kerumunan positif yang bebas menentukan arahnya sendiri.
Setidaknya itu yang saya saksikan selama site visit. Berkunjung ke sekolah, bertemu siswa, berbincang dengan guru-guru dan kepala sekolah. Bersilaturrahmi ke UPT. Bertamu ke rumah-rumah warga. Bertukar cerita dengan para pemuda. Berjejaring dengan pemangku kepentingan di kota; dinas, bupati, sponsor, serta komunitas-komunitas pendidikan lainnya.
Tak ada yang benar-benar bebas ketika bekerja. Justru karena itu, kita bisa bangga ketika menuai hasilnya.
===
Teruntuk Pengajar Muda Bima angkatan VIII: Aidell, Ajeng, Catur, Doni, Riri, Ryanda, Suwanto, Tri, Via.
Layaknya kuda-kuda di Ndoro Canga, larilah kencang. Bukan lomba, bukan perang. Hanya kebebasan yang akan dirayakan jika waktunya tiba.
Selamat memasuki bulan ke-9 di lokasi penempatan! :)