Mohon tunggu...
Shofi Awanis
Shofi Awanis Mohon Tunggu... lainnya -

Pegiat sektor non-profit, pendidikan, dan kepemudaan.

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Cerita Site Visit Bima: Sabana dan Ndoro Canga

16 Februari 2015   08:58 Diperbarui: 27 Oktober 2015   20:23 226
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
1424776037577088870

Hamparan padang  luas terbentang tanpa batas. Sejauh mata memandang, seluruh penjuru mata angin menampilkan dorama sabana raksasa. Musim hujan merajah gurat-gurat hijau di tanah cokelat tandus yang biasanya lapang oleh semak-semak kering. Puluhan kuda berkumpul di bawah pepohonan rindang nun jauh di sana. Berderet-deret pula ternak besar nan gagah di ruas-ruas jalan, bebaris di aspal tebal. Berkelompok-kelompok sapi, kerbau, kuda, kambing, domba, hingga rusa tumpah ruah di dorama ini. Berkeliaran menyatu di alam. Bebas.

 

“Shofi, bangun. Ini Ndoro Canga!” Riri menyentuh bahu saya pelan. Perjalanan dari kaki gunung Tambora menuju Bima Timur yang sudah ditempuh sekitar 4 jam melelapkan kami. Saya beringsut terkesima, mengintip dari kaca mobil, melepaskan rompi hijau lumut yang sepanjang perjalanan tersemat di badan saya. Rompi Indonesia Mengajar.

 

Saat itu adalah suatu sore di akhir Januari 2015, salah satu momen yang saya rekam lekat-lekat di ingatan dalam kunjungan saya selama dua minggu dalam kapasitas sebagai Program Officer Yayasan Gerakan Indonesia Mengajar ke Kabupaten Bima, Nusa Tenggara Barat. Di dalam istilah monitoring dan evaluasi, kami menyebutnya sebagai site visit, yaitu kunjungan ke daerah penempatan Pengajar Muda.

 

Rasanya seperti bebas,” gumam Riri. Ia masih mengenakan rompi hijau yang sama.

 

“Iya. Bebas.” Saya mengamini.

 

Meski sudah 7 bulan ditempatkan di Kabupaten Bima, Riri juga sama seperti saya yang baru pertama kali melewati Ndoro Canga. Desa penempatan Riri, Karumbu, di Kabupaten Bima timur secara geografis memang jauh dari Tambora yang cenderung lebih dekat ke Kabupaten Dompu.

 

Riri adalah salah satu dari 9 Pengajar Muda yang ditempatkan di Bima. Satu dari 9 orang prajurit yang ceritanya saya simak secara berkala. Menjadi seorang Trustee atau hub untuk mereka yang berada di daerah dengan kantor Indonesia Mengajar di Jakarta merupakan sebuah tantangan, juga kehormatan bagi saya yang notabenenya baru pertama kali mengemban tugas ini. Sebuah hubungan jarak jauh yang melibatkan multiaktor, misi berkelanjutan, dan jarak yang tidak hanya serentang batas geografis, tetapi juga peradaban.

 

Kabupaten Bima merepresentasikan semua kontur bumi yang ingin kita bayangkan. Perjalanan awal ke Bima bagian timur dimulai dari Paradowane yang merupakan dataran tinggi, dilanjutkan ke Laju dan Karumbu yang berada di wilayah pesisir pantai. Tim saya yang beranggotakan 5 orang Pengajar Muda Bima menempuh jalan darat yang berkelok-kelok dan melewati danau besar yang sering disinggahi pemuda untuk bercengkrama. Di saat yang bersamaan, satu orang site visitor lain, Dimas Sandya selaku Deputy Program Manager dan 4 orang Pengajar Muda lainnya mengunjungi Sape yang harus menyebrang dulu dengan kapal kecil untuk sampai ke seberang sana, dan Baku yang menyertakan perjalanan medan berat dengan motor untuk mempertahankan keseimbangan di jalanan kerikil yang curam dan licin.

 

Beranjak ke Tambora, saya teringat sebuah cerita tentang sebuah gunung di Sumbawa yang pernah meluluhlantakkan dunia. Dua abad lalu, tepatnya pada 10 April 1815, erupsi dahsyat Gunung Tambora yang tercatat sebagai salah satu letusan gunung berapi terbesar dalam sejarah ini konon membumihanguskan Kerajaan Sanggar, Kerajaan Tambora, dan Kerjaaan Pekat yang saat itu menguasai wilayah tersebut. Puluhan ribu jiwa tewas, disapu awan panas dan wabah penyakit yang berkepanjangan. Iklim dunia ikut berubah. Erupsi Tambora membuat langit mendung, lapis abunya menghalangi sinar matahari. Setahun setelah itu pun, krisis produksi ternak dan pangan sudah sampai Eropa. Pertanda bahwa di alam semesta, tidak ada yang benar-benar terputus rantainya.

 

Sebab itu, kali ini saya benar-benar memindai lanskap yang tersaji. Menikmati aspal lurus panjang yang padanya kendaraan lewat hanya sesekali. Merilekskan raga dari pegal badan yang menyangga tas backpack 30 L sejak berpindah-pindah tempat selama berhari-hari. Meresapi setiap cercah matahari sore yang semburatnya muncul dari balik gunung-gunung landai yang memagari padang sabana ini.

 

Sabana yang tak ada di pulau Jawa.

 

Sabana yang jadi buruan pelancong-pelancong dari luar Sumbawa.

 

“Ibu Shofi datang dari Jakarta. Jakarta ada di pulau mana, anak-anak?” pancing Riri ketika memperkenalkanku ke murid-murid kelas 3 di salah satu sekolah yang kami kunjungi.

 

“Kalimantan, Bu!” seorang murid mengacungkan jari dan langsung menjawab. Saya tertawa saja, memandangi Riri yang sigap mengambil peta Indonesia yang tergantung di dinding. Menjelaskan tentang sebuah kota bernama Jakarta.

 

Untunglah, selain sabana, para Pengajar Muda punya alasan lain untuk berada sejak  di sini. Adalah ketulusan untuk merelakan waktu, energi, dan tenaga untuk memangkas jarak peradaban dan pengetahuan yang ternyata lebih panjang dari selisih waktu satu jam antara WIB dan WITA saja.

 

4 tahun sudah Pengajar Muda bekerja di 17 titik kabupaten di seluruh Indonesia. Menemukan, mengembangkan, kemudian menjejaringkan aktor-aktor kunci yang kami sebut dengan penggerak daerah. Sehingga suatu saat ketika mereka sudah tidak lagi ada di sana, sudah ada kerumunan positif yang bebas menentukan arahnya sendiri.

 

Setidaknya itu yang saya saksikan selama site visit. Berkunjung ke sekolah, bertemu siswa, berbincang dengan guru-guru dan kepala sekolah. Bersilaturrahmi ke UPT. Bertamu ke rumah-rumah warga. Bertukar cerita dengan para pemuda. Berjejaring dengan pemangku kepentingan di kota; dinas, bupati, sponsor, serta komunitas-komunitas pendidikan lainnya.

 

Tak ada yang benar-benar bebas ketika bekerja. Justru karena itu, kita bisa bangga ketika menuai hasilnya.

 

===

 

Teruntuk Pengajar Muda Bima angkatan VIII: Aidell, Ajeng, Catur, Doni, Riri, Ryanda, Suwanto, Tri, Via.

 

Layaknya kuda-kuda di Ndoro Canga, larilah kencang. Bukan lomba, bukan perang. Hanya kebebasan yang akan dirayakan jika waktunya tiba.

 

Selamat memasuki bulan ke-9 di lokasi penempatan! :)

 

 

 

 

 

*credit foto oleh Ajeng Septiana Widianingrum, Pengajar Muda VIII Bima.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun