Menelisik jejak perjuangan bangsa, berarti kembali memaknai peran juang para pemuda. Tanpa andil para pemuda, bangsa Indonesia tidak akan pernah sampai pada gerbang kemerdekaan. Boedi Oetomo, Perhimpunan Indonesia, Sumpah Pemuda, hingga Peristiwa Rengasdengklok menjadi sebagian kecil dari peran perjuangan pemuda pada masa itu. Soe Hok Gie, massa aksi di era Reformasi, hingga aktivis muda di sekitar kita; termasuk Rafi Azzamy mengingatkan kita bahwa masih ada bara perjuangan di era disrupsi.
Kabarnya, perjuangan kita tidak akan berakhir di sini saja. Menyambut 2024, berarti menyambut pesta demokrasi di Indonesia. Pemilu yang dinanti-nanti tidak hanya menjadi ajang adu jagoan.
Pemilu 2024 tidak hanya dinikmati oleh mereka yang “dewasa” maupun yang claiming memiliki “kuasa”. Sebagai sarana perwujudan kedaulatan rakyat guna menghasilkan pemerintahan negara yang demokratis berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, rakyat—termasuk pemuda memiliki peran dalam pengawasan berlangsungnya asas LUBER JURDIL. Pemilu 2024 seharusnya menjadi ruang inklusif yang menjamin hak-hak pemuda untuk turut andil dalam menentukan masa depan bangsa selama 5 tahun ke depan.
Apakah inklusivitas ini telah termanifestasi dengan baik?
Sayang sekali, belum. Lihat saja bagaimana orang-orang “dewasa” dengan klaim “berkuasa” ini memperlakukan pemuda di ruang politik formal.
Data menunjukkan bahwa dari total 575 anggota DPR periode 2014-2019, hanya sekitar 4% atau 24 orang saja yang berusia dari 30 tahun.
Berdasarkan data dari United Nations Development Programme (UNDP), 2 dari 3 negara tidak memasukkan pemuda sebagai bagian dari proses dalam strategi penekanan kemiskinan dalam rencana pembangunan berkelanjutan nasional.
Pada 2019, Mahkamah Konstitusi menolak permohonan uji materiil oleh beberapa politikus muda untuk menurunkan syarat usia calon kepala daerah.
Faktanya, seseorang harus berusia minimal 30 tahun untuk menjadi gubernur, dan 25 tahun untuk menjadi bupati atau wali kota.
Anggapan akan minimnya kompetensi yang dimiliki oleh kaum muda telah mengakar, bahkan dinormalisasi oleh masyarakat “dewasa”. Pemuda dianggap sebagai objek politik, sebatas komoditi dan aset yang menjadi sasaran empuk demi tercapainya kepentingan suatu golongan di panggung politik.
Padahal, di negara demokrasi ini, pemuda berperan sebagai subjek dari pemerintahan, bukan seperti negara monarki atau negara komunis yang cenderung otoriter dan menempatkan pemuda sebagai objek.
Sedikit menengok bagaimana negara tetangga memberi spotlight bagi para pemuda untuk turut andil dalam kemajuan bangsanya.
Dalam pentas politik di Thailand, Move Forward Party (MFP) yang digawangi oleh generasi muda berhasil memenangkan suara terbanyak dalam perolehan sementara Pemilu Thailand, Mei 2023 lalu.
Sebanyak 151 kursi parlemen berhasil diamankan oleh MFP. Kemudian Malaysia, dengan MUDA-nya, sebuah partai politik berbasis kepemudaan yang diinisiasi oleh Syed Saddiq, serta UNDI18, sebuah youth led-movement yang menjembatani pemuda dengan politisi, policymakers, sekaligus membantu menciptakan demokrasi yang inklusif, equal, dan kuat.
Sama halnya dengan Singapura yang menerapkan skema Group Representation Constituency (GRC) dalam Pemilu. GRC menjadi peluang emas bagi berbagai golongan, termasuk pemuda untuk turut terlibat di panggung politik.
Kabar baiknya, tidak ada kata terlambat bagi kita—sebagai pemuda untuk bergerak, berpartisipasi demi kemajuan bangsa. Memantik api perjuangan dalam gerak selaras melalui berbagai medium.
Dalam Article 19 Universal Declaration of Human Rights (UDHR) dan Article 18 dan 19 International Covenant on Civil and Political Righs (ICCPR) telah menjamin the right of freedom of expression bagi setiap orang, tanpa memandang ras, gender, bahkan usia dari individu tersebut; hal ini mengindikasikan bahwa legalitas partisipasi pemuda telah terjamin.
Tak hanya melalui partisipasi secara langsung di panggung politik dengan mencalonkan diri ataupun menjadi tim di balik layar dalam Pemilu, kita sebagai pemuda dapat berpartisipasi dengan beragam medium yang mudah dijangkau; baik bagi pelaku maupun masyarakat lain.
Dengan bersuara melalui berbagai macam platform, media massa, media cetak, aksi nyata ini mampu menjadi pemantik bagi follow up actions lainnya.
Melantangkan suara, beropini, menanggapi fenomena yang ada, mengadvokasi, berpihak pada rakyat dan pihak yang benar, bahkan mengkritisi Pemerintah—termasuk calon Presiden periode selanjutnya menjadi hak dan kewajiban kita sebagai pemuda demi kemajuan bangsa.
Dengan bersuara, mengekspresikan diri, bergerak bersama rakyat, diiringi dengan kemauan untuk membagikan ide segar dalam ruang diskusi; hal ini menjadi sekian dari beberapa cara guna mencapai tujuan bangsa. Tidak hanya sekadar menjadi boneka, tetapi turut menjadi aktor demi memanifestasikan jiwa yang merdeka.
Dengan partisipasi pemuda melalui berbagai medium, politics of presence hadir, memberi legacy bagi masa depan bangsa untuk tahun-tahun selanjutnya.
Partisipasi kita—sebagai pemuda mampu mematahkan stigma bahwa pemuda hanyalah sosok yang apatis, apolitis, atau hanya sekadar sebagai suatu kelompok pemilih; sekadar komoditi politik. Karena kita; pemuda Indonesia berhak untuk menjadi pemantik atas api pergerakan besar selanjutnya; menyalakan kembali bara api perjuangan bagi bangsa.
Tidak peduli kecil-besar aksi nyata, nyala kita harus tetap ada. Small act, big impact.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H