Tes of Arabic as a Foreign Language (TOAFL) saat ini menjadi salah satu instrumen penting untuk mengukur kemampuan bahasa Arab bagi penutur non-native di Indonesia, terutama di kalangan akademisi. Namun, satu masalah besar yang kerap muncul adalah belum adanya standarisasi yang jelas dan seragam dalam pelaksanaan tes ini. Setiap lembaga atau kampus memiliki standar TOAFL-nya sendiri, dengan kriteria, tingkat kesulitan, dan sistem penilaian yang berbeda-beda. Fenomena ini menimbulkan berbagai persoalan, mulai dari kebingungan peserta tes hingga ketidakpastian validitas hasil TOAFL dalam skala nasional. Pertanyaannya, apakah mungkin untuk menciptakan standarisasi TOAFL di Indonesia?
Keragaman dalam Implementasi TOAFL
Salah satu masalah utama yang muncul dari tidak adanya standarisasi adalah keragaman yang terlampau besar dalam implementasi TOAFL di berbagai lembaga. Beberapa kampus menetapkan standar TOAFL dengan fokus pada tata bahasa, sementara yang lain menitikberatkan pada kemampuan berbicara atau membaca. Sebagai contoh, di satu lembaga, nilai TOAFL yang tinggi bisa dihasilkan dari penguasaan tata bahasa yang kuat, sementara di lembaga lain, penekanan pada keterampilan komunikatif mungkin lebih menonjol. Hal ini seringkali membuat lulusan atau peserta tes di satu lembaga tidak bisa disandingkan secara objektif dengan peserta dari lembaga lain.
Selain itu, perbedaan ini juga mempengaruhi validitas TOAFL dalam konteks internasional. Jika tes bahasa Inggris, seperti TOEFL atau IELTS, memiliki standar yang diakui di seluruh dunia, TOAFL bahasa Arab belum mencapai titik tersebut, baik di Indonesia maupun di luar negeri. Padahal, untuk mencapai daya saing internasional dalam bidang pendidikan bahasa Arab, diperlukan tes yang terstandar secara global.
Penyebab Tidak Tersedianya Standarisasi
Ada beberapa faktor yang menyebabkan belum adanya standarisasi TOAFL di Indonesia. Pertama, perbedaan pendekatan pembelajaran bahasa Arab di berbagai lembaga. Ada kampus yang mengutamakan metode tradisional, seperti pengajaran nahwu dan sharaf secara mendalam, sementara kampus lain lebih berfokus pada keterampilan komunikatif atau praktis. Pendekatan yang bervariasi ini membuat lembaga-lembaga tersebut menciptakan standar TOAFL mereka sendiri, disesuaikan dengan metode yang mereka terapkan.
Kedua, belum adanya lembaga nasional yang secara resmi bertanggung jawab untuk mengawasi dan mengatur pelaksanaan TOAFL di seluruh Indonesia. Berbeda dengan TOEFL atau IELTS yang memiliki lembaga pengelola yang jelas dan otoritatif, TOAFL masih dikelola secara independen oleh lembaga-lembaga yang melaksanakannya. Ini menciptakan fragmentasi dalam pelaksanaan tes dan standar yang tidak seragam.
Ketiga, belum adanya kerjasama yang solid antara perguruan tinggi, lembaga bahasa, dan pihak terkait lainnya dalam menyusun standar yang komprehensif. Banyak lembaga yang masih merasa nyaman dengan sistem mereka masing-masing tanpa dorongan untuk berkolaborasi dalam menciptakan standar nasional.
Dampak Ketidakseragaman TOAFL
Ketidakseragaman ini jelas berdampak pada berbagai pihak. Peserta tes sering kali merasa kebingungan ketika harus menghadapi tes di lembaga yang berbeda, karena format dan kriteria penilaian yang berubah-ubah. Selain itu, lulusan yang telah mendapatkan sertifikat TOAFL dari satu lembaga mungkin tidak diakui oleh lembaga lain, atau bahkan di luar negeri, karena perbedaan standar yang diterapkan. Hal ini menimbulkan ketidakpastian dalam validitas hasil tes TOAFL, terutama dalam konteks penerimaan akademik atau beasiswa internasional.