Pada hari ulang tahun Indonesia ke-79, pemerintah melalui Kementrian Sekretariat Negara (Kemensetneg) menyewa setidaknya 1.000 unit mobil untuk tamu VVIP yang akan hadir di Ibu Kota Negara. Yang mengejutkan adalah tarif sewa mobil menunjukkan angka yang fantastis, sebagai contoh mobil Alphard yang biasanya 7juta perhari menjadi 25 juta perhari. Sudah bisa dilihat berapa banyak dana yang akan digelontorkan untuk acara HUT RI tersebut, belum lagi kamar hotel bintang lima hingga konsumsi untuk tamu VVIP tersebut.
Kementerian keuangan mencatat total anggaran untuk perayaan HUT RI ke 79 ini membengak hingga 87 M. Biaya ini meningkat drastis sebesar 64% dibanding perayaan HUT RI sebelum-sebelumnya (tempo.co 15/08)
Hal ini sungguh mengiris hati rakyat terutama lebih dari 25 juta rakyat yang hidup dalam kemiskinan. Disaat mereka banting tulang untuk sekedar bertahan hidup, pemerintah justru Hedon dengan perayaan HUT RI yang notabene memakai uang pajak yang diperas dari keringat rakyat.
Potret menderitanya rakyat hidup di negri ini terus menjadi kabar buruk yang diangkat di media sosial. Potret kakek Hamid (90) yang berasal dari Aceh bertahan hidup dengan mekan nasi dicampur air hasil beliau berjualan kerupuk. Potret Firdaus seorang siswa SD yang sempat viral karena tak memiliki uang untuk beli sepatu di hari pertamanya masuk sekolah. Potret driver ojol bernama Darwin (49) yang meninggal menahan lapar karena sudah 2 hari tidak makan. Potret pedagang jasuke yang pingsan di samping dagangannya karena 2 hari menahan lapar. Dan banyak potret warga yang susah payah bertahan hidup.
Kata salah satu pejabat "tak ada yang mahal untuk kemerdekaan". Pernyataan ini seolah menggambarkan keegoisan para pejabat yang bersenang-senang diatas penderitaan jutaan rakyatnya. Lalu apakah ini yang dimaksud "merdeka"?
Menurut KBBI merdeka bermakna "terlepas dari berbagai belenggu, aturan, dan kekuasaan dari pihak tertentu. Artinya negara yang sudah merdeka memiliki hak prerogatif untuk mengatur negaranya tanpa ada intervensi dari pihak manapun. Lalu apakah Indonesia sudah memenuhi definisi tersebut?
Bila kita menengok fakta maka akan kita lihat bahwa masih banyak intervensi dari negara-negara kapitalis barat yang masih menancapkan cakar penjajahannya di negri kita. Mungkin secara fisik seolah kita merdeka karena tidak ada lagi militer penjajah yang menyerang kita. Namun coba kita tengok dari sisi ekonomi, politik, pendidikan, hukum dan aspek krusial lainnya.
Dalam perekonomian kita lihat bahwa negeri ini masih disetir oleh negeri-negeri kapitalis barat. Mereka dengan skema hutang dengan jumlah yang cukup besar dan bunga hutang yang tinggi pula. Dengan pinjaman dana ini mereka secara langsung maupun tidak "memaksakan" kemauannya pada negri ini. Seperti pasar bebas dengan WTO-nya, privatisasi tambang, SDA lain dan semacamnya, maka sekalipun secara fisik merdeka, tetapi secara politik dan ekonomi masih terjajah. Dapat kita lihat berapa banyak tambang yang harusnya milik rakyat malah diprivatisasi oleh pihak asing, hingga muncul statement "rakyat miskin yang tidur diatas emas". Kita juga melihat bagaimana keran investasi dibuka selebar-lebarnya untuk asing tanpa memberi kesempatan anak negeri untuk mengelolanya sendiri. Lalu kemana keuntungannya? Bukan rahasia lagi para oligarkilah yang diuntungkan dan beberapa pemerintah bonekanya. Sedangkan rakyat hanya bisa meratapi nasib mereka yang berada dalam lingkaran setan kemiskinan.
Secara hukum dan perpolitikan, ah sudah muak kita dengan lembaga pemerintahan yang tak berkutik dengan para oligarki. Politik dinasti sudah menjadi praktek umum di negri ini. Konstitusi ditabrak, kecurangan terindra dimana-mana demi melanggengkan kekuasaan para oligark. Pelan tapi pasti dinasti politik di negri ini berhasil dikukuhkan. Berbagai program dan pembangunan jor-joran dilakukan demi memberi proyek pada tim sukses yang sudah menggelontorkan dana saat kampanye. Lebih dari 200 proyek nasional dicanangkan hingga APBN jebol, namun hasilnya jauh dari harapan dan besarnya dana yang digelontorkan. Untuk siapa proyek ini? Jelas jauh dari menyejahterakan masyarakat.
Bagaimana dengan sektor pendidikan? Ya dapat kita saksikan betapa kacau pendidikan kita saat ini. Kurikulum yang terus diganti, guru honorer yang sudah tahunan mengabdi dengan gaji tak manusiawi di "cleaning" secara sepihak, gaji dosen tak sepadan dengan beban kerjanya, hingga output anak negri yang jauh dari harapan. Tak hayal jika angka kriminalitas yang dilakukan oleh pemuda melonjak tinggi, angka putus sekolah, zina pembunuhan menjadi konten berita sehari-hari. Ah sungguh miris negri ini.
Lebih miris lagi rezim neoliberal ini sangat pandai memanfaatkan momen untuk menjauhkan masyarakat dari pemikiran tentang "perubahan", apalagi perubahan sistem kehidupan kapitalis yang sudah bobrok ini. Masyarakat sangat mudah untuk diiming-imingi sogokan yang bersifat artifisial. Pemberian bansos, jaminan kesehatan dan pendidikan untuk segelintir masyarakat miskin, janji manis saat kampanye pemilu dengan berbagai iklan pencitraan dan peran para buzzer mereka, seolah menghipnotis masyarakat dari bobroknya sistem pemerintahan demokrasi.
Sebenarnya banyak orang atau gerakan yang sadar dengan penjajahan ini, lalu mereka menyuarakan untuk perubahan. Namun suara kritis mereka dibungkam dengan aturan yang menyuditkan mereka. UU ITE yang selalu dirombak untuk membungkam suara lantang perubahan, penerapan UU Ormas dengan cap radikal, teroris, membahayakan persatuan dan kesatuan dan berbagai stigma negatif lainnya. Pun suara mahasiswa dengan kekuatan politiknya dibungkam habis-habisan dengan berbagai ancaman. Apakah ini yang dibamakan merdeka? Bahkan rakyat tak mendapat hak dasarnya dalam kehidupan.
Kita belum merdeka, kita masih dijajah dengan penjajahan gaya baru. Saatnya sadar dan berubah menuju kemerdekaan hakiki. Yakni merdeka dari penghambaan kepada makhluq dan dari penghambaan selain kepada Allah SWT.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H