Dua merek roti sedang viral disebut-sebut mengandung bahan pengawet yang lazimnya tidak boleh digunakan dalam makanan.
Cerita bermula dari Kalimantan Selatan (Kalsel). UMKM roti di Kalsel heboh setelah kedatangan roti pendatang baru yang membuat pasar mereka tergerus drastis.
Sebelumnya mereka dapat menjual dalam jumlah yang besar, di mana konsumen mereka adalah nelayan yang membawa roti sebagai salah satu bekal selama melaut.
Setelah diselidiki ternyata ada roti merek baru dengan harga lebih murah dan masa kedaluwarsa yang lama sekali yaitu tiga hingga enam bulan sejak diproduksi.
Merek-merek roti ini hanya bisa ditemui di pasar-pasar tradisional, toko kelontong dan tidak dijual di mini market maupun supermarket. Merek roti tersebut adalah Aoka dan Okko.
Dilansir dari kanal YouTube Tempo 21 Juli 2024, jurnalis Tempo Ghoida mengatakan kalau kedua merek roti ini memang murah dan mempunyai aneka rasa.
Selain Kalsel, keluhan juga terdengar dari Jawa Barat, tepatnya dari sentra roti UMKM di gang Babakan Rahayu di Kopo, Bandung.
Selama ini berbagai daerah mengambil roti ke sentra, namun akhir-akhir ini pengambilan menjadi lebih sepi dari biasanya.
Penelusuran menemukan bahwa ada roti lain yang digelontorkan ke daerah sehingga mereka beralih dari UMKM roti yang biasanya. Dan pada akhirnya sentra roti UMKM Kopo ini pun ikut berjualan roti ini karena konsumen lebih suka dengan roti merek baru ini.
Produk yang menarik
Di Bandung roti Aoka dan Okko ini dijual dengan harga Rp 2.500 -Rp3.000 per buah, demikian pula di Jakarta. Roti UMKM lainnya juga hampir sama harganya. Namun dari segi kemasan, roti Aoka dan Okko memiliki kemasan yang jauh lebih bagus.
Keunggulan lainnya adalah Expiration Date (ED) atau waktu kedaluwarsanya yang lebih lama. Roti industri rumahan biasanya hanya bertahan 5 hari dan paling lama 7 hari dari tanggal produksi. Roti Aoka disebut mempunyai waktu kedaluwarsa tiga hingga enam bulan.
Paguyuban Roti dan Mie Ayam Borneo atau Parimbo pun berinisiatif melakukan pengujian mandiri kedua roti tersebut.
Pengujian diputuskan untuk dilakukan setelah ada laporan dari anggota Parimbo perihal adanya roti yang tahan lama dan tidak berjamur sama sekali meskipun sudah beberapa bulan melewati tanggal kedaluwarsanya.
Sejumlah anggota mengatakan bahwa roti Aoka sudah beredar di Kalsel sejak tahun 2017.
“Kian masif saat pandemi Covid-19,” kata Ketua Parimbo Aftahuddin yang juga adalah Wakil Ketua Umum Bidang Perdagangan Kamar Dagang dan Industri Indonesia (KADIN) Kalsel.
Harga yang ekonomis, kemasan yang ciamik, serta rasa yang disukai masyarakat maka tidaklah heran kedua merek ini kemudian menjadi pilihan konsumen, khususnya mereka yang dengan ekonomi menengah ke bawah.
Pemeriksaan Laboratorium
Pemeriksaan pun dilakukan di laboratorium bonafid yaitu PT SGS Indonesia. SGS adalah perusahaan terkemuka di dunia yang membidangi inspeksi, verifikasi, pengujian, dan sertifikasi. SGS mempunyai lebih dari 1.650 kantor dan laboratorium di seluruh dunia.
Hasil uji oleh SGS pada kedua roti tersebut adalah ditemukannya zat Sodium Dehidroasetat dan Sodium Asetat yang digunakan sebagai pengawet kosmetik.
Uji pada tanggal 14 September 2023 terhadap roti Aoka dengan ED 7 Oktober 2023 ditemukan adanya Sodium Dehidroasetat sebanyak 235 mg/kg dan Sodium Asetat 24.559 mg/kg. Uji lainnya pada 21 Mei 2024 terhadap roti Okko dengan ED 22 Juli 2024 ditemukan Sodium Asetat sebanyak 345 mg/kg dan Sodium Asetat 1,38 mg/kg.
PT SGS Indonesia tidak hanya melakukan uji terhadap roti Aoka dan Okko, tetapi juga Sari Roti dan My Roti. Hasilnya roti Aoka dan Okko terdeteksi mengandung Sodium Dehidroasetat, sedangkan zat ini tidak ditemukan pada Sari Roti dan My Roti.
Pengawet berbahaya?
Sodium Dehidroasetat tidak diizinkan ditemukan dalam bahan makanan, baik oleh CAC maupun FDA.
Codex Alimentarus Commission (CAC) adalah organisasi antarpemerintah yang dibentuk bersama oleh Organisasi Pangan dan Pertanian Dunia (FAO) dan Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) sejak 1963.
CAC bertujuan untuk melindungi kesehatan konsumen dan mendorong praktik yang adil dalam perdagangan pangan.
Sodium Dehidroasetat hanya diizinkan sebagai pengawet dalam kosmetik dan produk-produk perawatan tubuh seperti sabun, sun tan, pewangi, produk untuk rambut dan kuku, dan lain-lain.
Sodium Dehidroasetat digunakan dalam produk-produk tersebut karena efek antimikrobanya, khususnya khasiat antijamurnya.
Di Uni Eropa, Sodium Dehidroasetat juga hanya diizinkan ditambahkan dalam produk kosmetik dan perawatan tubuh.
Sedangkan lembaga pengawas makanan dan obat Amerika FDA hanya mengizinkan bahan ini digunakan sebagai pengawet makanan pada produk labu yang telah dikupas.
Dilansir dari situs madeinchina.com, Sodium Dehidroasetat tergolong masih baru sebagai pengawet makanan. Pengawet generasi lama antara lain Sodium Benzoat, Paraben, dan Kalium Sorbat.
Makanan yang memakai Sodium Dehidroasetat sebagai pengawet antara lain tahu, asinan, selai (maksimal 0.3 gram/kg); sup; roti dan keju; mentega, margarin, dan lain-lain, dengan dosis maksimal 0.5 gram/kg. Dosis maksimal untuk sayur yang diasinkan adalah 0,3 gram/kg.
Dengan kadar yang rendah, Sodium Dehidroasetat sudah dapat mencegah pertumbuhan bakteri, ragi, dan jamur. Konsentrasi hambat efektifnya adalah 0.05% - 0.1%, dan dosis umumnya adalah 0.03% - 0.05%.
Dilansir dari Tempo, pada Maret 2024, Komisi Nasional Kesehatan China resmi melarang Sodium Dehidroasetat digunakan pada makanan panggang, produk roti, kue kering, kembang gula, dan produk tepung karena efek sampingnya yang berbahaya bila dipakai dalam dosis tertentu.
Peraturan BPOM Nomor 17 tahun 2022 mengizinkan penggunaannya dalam kosmetik maksimum 0,6 persen sebagai asam dan dilarang digunakan untuk produk aerosol (spray). BPOM tidak mengizinkan pemakaian pengawet ini dalam makanan.
Penulis menemukan pengawet ini bahkan dijual bebas di lokapasar Indonesia. Apakah penjualan bahan seperti ini tidak diatur? Tidak berbahayakah dijual bebas di lokapasar? Bahkan ada yang berani mencantumkan bahwa produk yang dijualnya adalah food grade.
Profesor Sugiyono Guru Besar bidang teknologi pangan di IPB mengatakan Sodium Dehidroasetat berfungsi sebagai pengawet, namun belum diketahui keamanannya bila digunakan dalam bahan pangan. Ia juga menegaskan belum ada izin baik dari luar maupun oleh BPOM akan penggunaan zat ini dalam makanan.
Ketua Umum Gabungan Pengusaha Makanan dan Minuman Seluruh Indonesia (GAPMMI) Adhi S. Lukman juga buka suara terkait kasus ini. Ia memastikan selama ini industri makanan dan minuman tidak pernah menggunakan Sodium Dehidroasetat sebagai bahan pengawet. Adhi juga mengatakan kalau produsen roti Aoka bukan anggota GAPPMI.
Sejauh ini memang belum ada laporan keluhan dari konsumen yang mengkonsumsi roti ini.
Aoka dan Okko
Pemilik roti Aoka adalah PT Indonesia Bakery Family, sebuah PMA (Perusahaan Modal Asing). Direktur utamanya bernama Gao Xianliang dan komisarisnya Li Shouqiao, di mana keduanya memiliki identitas paspor China.
Perusahaan ini juga sahamnya dimiliki oleh perusahaan lain yang bernama PT East Asia Jaya yang direkturnya Zheng Chenglin yang juga berkewarganegaraan China. Perusahaan mulai beroperasi sejak 2017 namun baru ramai dibicarakan belakangan ini.
Sedangkan roti Okko adalah produksi PT Abadi Rasa Food dengan pemiliknya yang juga tercatat sebagai warga negara China, yaitu Wu Qiulin (direktur).
Abadi Rasa Food memiliki Komisaris Utama Vivih S. Jamili, kelahiran Garut dan Sri Rahayu kelahiran Garut juga sebagai Komisaris. Roti Okko baru menjalankan usahanya sejak tahun 2023.
Segmen pasar mereka memang adalah pasar tradisional yaitu untuk ekonomi menengah ke bawah. Diperoleh informasi kalau di Kalimantan Selatan dalam sebulan bisa masuk sampai 20 kontainer.
Belum ada penelusuran mendalam akan distribusi kedua roti ini di seluruh wilayah Indonesia. Namun dari hasil penelusuran Tempo, diketahui roti ini juga beredar di NTB, NTT, dan Sulawesi.
Masa kedaluwarsa roti yang lama membuat tidak perlu adanya penanganan khusus dalam pengirimannya ke luar pulau Jawa dan lebih fleksibel untuk dikirim ke berbagai daerah.
Aoka dan Okko juga ditemukan dijual di loka pasar dan bahkan ditawarkan dalam bentuk paket grosir dengan harga yang lebih murah daripada eceran.
Masa kedaluwarsanya yang panjang membuat cukup banyak konsumen yang memang membelinya untuk konsumsi pribadi.
Segmen pasar Aoka dan Okko adalah masyarakat menengah ke bawah sehingga distribusinya adalah ke peritel tradisional.
Berbeda dengan merek-merek roti yang sudah lama beredar di Indonesia seperti Sari Roti, Sharon, My Bread, Arnon, dan MyRoti yang segmennya adalah kelas menengah, di mana merek-merek ini dijual di minimarket dan supermarket.
Namun karena kemasan kedua merek roti ini bagus maka ada juga konsumen kelas menengah yang membeli roti ini dan tidak mempertanyakan masa kedaluwarsanya yang sangat panjang.
Respon BPOM
Baik Aoka maupun Okko tidak mencantumkan Sodium Dehidroasetat pada kemasannya. Kemasan produk mencantumkan Kalium Sorbat dan Natrium Diasetat sebagai bahan pengawetnya yang memang diizinkan sebagai pengawet untuk makanan.
BPOM mengatakan kedua merek ini sudah memiliki izin edar dan mereka sudah melakukan pengambilan sampel acak kepada roti Okko dan hasilnya tidak ditemukan bahan pengawet ilegal tersebut. BPOM mengklaim pengecekan juga sudah dilakukan sebelum izin edar diberikan.
BPOM juga mengatakan mereka telah melakukan inspeksi mendadak ke pabrik roti Okko di Rancaekek, Kabupaten Bandung pada 2 Juli 2024, sebagai bagian dari pengawasan rutin BPOM.
Tim Tempo melakukan wawancara dengan Jimmy, pengelola pabrik roti Okko di bawah PT Abadi Rasa Food. Inspeksi 2 Juli oleh BPOM ini juga diakui oleh Jimmy.
Jimmy mengatakan saat itu inspeksi dilakukan tidak terkait dengan isu kandungan pengawet berbahaya, tetapi hanya menginspeksi Cara Produksi Pangan Olahan Yang Baik (CPPOB). Pada saat inspeksi tersebut, petugas mengambil sampel dari adonan roti yang sedang diolah.
Ema Setyawati, pelaksana tugas deputi Pengawasan Pangan BPOM disebut sempat ‘menyemprot’ pihak Laboratorium SGS yang melakukan pengujian terhadap roti.
Namun SGS Indonesia mengatakan bahwa pihaknya tidak pernah mempublikasi hasil-hasil ujinya dan juga tidak pernah mengizinkan kepada pihak yang meminta untuk dilakukan uji untuk mempublikasi.
Pihak SGS mengatakan bahwa nama mereka telah digunakan tanpa izin oleh sumber yang tidak dikenal untuk menyebarkan informasi hasil uji rahasia yang dipublikasikan dalam artikel asli pada 10 Juli 2024.
SGS sebagai penyedia layanan independen yang dikontrak oleh klien untuk melakukan pengujian, inspeksi, dan sertifikasi khusus memberikan hasil langsung kepada pihak yang dikontrak dan dilindungi oleh perjanjian kerahasiaan.
BPOM mengatakan bahwa hanya BPOM yang berhak untuk mengumumkan kepada publik hasil uji suatu bahan pangan, karena hal ini berkaitan dengan persepsi masyarakat yang membaca.
“Kalau yang publish bukan BPOM, itu tidak bisa dipercaya,” kata Pelaksana Tugas Deputi Pengawasan Pangan BPOM Ema Setyawati pada Rabu, 17 Juli 2024.
Namun pihak BPOM tidak mau menjawab kapan mereka melakukan uji atas kedua produk roti tersebut.
“Bukan hanya setelah ramai-ramai kami melakukan pengujian, kami melakukan pengujian berbasis risiko. Kalau saya sampaikan berbasis risiko, berarti sudah beberapa kali dan saya tidak punya hak melaporkan hasilnya,” kata Ema Setyawati.
Pengakuan Aoka dan Okko
Roti Okko dalam wawancaranya dengan Tempo mengatakan produk mereka lebih tahan lama karena teknologi pengemasan kedap udaranya yang lebih unggul sehingga produknya bisa tahan hingga tiga bulan. Namun hal ini dibantah oleh produsen roti lainnya.
Pihak Okko juga mengatakan rotinya bisa bertahan lama karena diproduksi dalam ruangan berstandar internasional dan steril seperti ruang operasi rumah sakit.
“Roti bisa tahan 60-90 hari karena proses produksi yang higienis dan kandungan bahan yang sudah ditetapkan sesuai dengan peraturan BPOM. Tempatnya harus bersih sekali, tidak boleh ada bakteri sama sekali, sesuai dengan Cara Produksi Pangan Olahan yang Baik (CPPOB). Kuncinya di pengemasan,” kata Jimmy dari pihak PT Abadi Rasa Food pada Selasa, 16 Juli 2024.
Pihak Okko juga memakai alasan lain yaitu kemungkinan karena dari bahan-bahan lain yang mereka gunakan, entah itu tepung, mentega, selai, dan lain-lain. Mereka mengatakan tidak dapat menjamin bahan-bahan yang mereka gunakan tidak mengandung Sodium Dehidroasetat tersebut.
Hmmm, bukannya hal ini seharusnya sudah diketahui sebelum produk diizinkan beredar?
Pihak Okko mengatakan semua bahan baku roti mereka berasal dari lokal, kecuali bahan improver-nya.
Atas isu ini pihak Okko mengatakan mereka merumahkan karyawannya selama satu minggu sehingga tidak berproduksi untuk melakukan uji terhadap bahan baku mereka selain tepung terigu dan gula untuk mengetahui ada tidaknya bahan berbahaya seperti yang dituduhkan.
Roti Okko mengatakan hal ini sangat merugikan mereka karena seharusnya dalam satu hari mereka bisa memproduksi 20.000 hingga 30.000 bungkus roti.
Pihak Okko merasa apakah ada modus persaingan bisnis yang berusaha merugikan pihaknya. Okko juga mengatakan tidak ada afiliasi dengan merek Aoka.
Dilansir dari Kontan, pihak roti Aoka mengatakan produknya memang dapat bertahan tiga bulan sejak produksi. Roti Aoka diproduksi di Bandung dan mempunyai gudang di Tangerang Selatan dan Kota Tangerang.
Indonesia Bakery Family (IBF) sebagai perusahaan yang memproduksi roti Aoka dalam keterangan resminya membantah rotinya mengandung pengawet kosmetik.
“Seluruh produk Roti Aoka tidak mengandung Sodium Dehidroasetat dan masa kedaluwarsa bukan enam bulan,” kata Head Legal IBF Kemas Ahmad Yani dalam sebuah keterangan tertulis, Sabtu (20/7/2024).
Lalu bagaimana kita menyikapi hal ini? Apakah menurut pembaca adalah wajar roti mempunyai ketahanan hingga berbulan-bulan? Amankah kita mengkonsumsi produk ini dalam jangka panjang? Apakah BPOM memang sudah melakukan tugas pengawasannya dengan baik?
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H