Lepas dokter itu, suamiku datang dengan wajah yang masih semringah.
"Bagaimana?" ujarnya mengusap perut yang masih membungkus si jagoan.
"Udah gak ada," ujarku, tak tahan air mata meluncur.
"Mudah gak ada?" Dia mengulangi.
Kulihat binar yang semula terpancar itu menjadi redup seketika. Ada beberapa bulir bening yang meluncur bebas tanpa permisi dari wajahnya.
"Jangan nangis ...." ujarku parau, berulang kali.
Munafik! Sebenarnya aku sendiri pun hanya menghibur diri.
"Enggak," ujarnya mengusap air mata. "Aku gak nangis."
"Ya, nanti kita bikin lagi, nanti kita hamil lagi." Dengan bodohnya aku berujar tanpa beban.
***
Penanganan pertama dimulai di ruang persalinan. Empat obat dimasukan ke dalam rahim selang enam jam sekali. Efeknya langsung terasa, tapi masih bisa aku tahan. Pembukaan tak juga bertambah. Beruntung ibuku telah kusarankan pulang waktu itu, karena jika dia turut menunggu, pikiranku jadi bercabang-cabang. Terlebih semenjak ia menangis, merasa disalahkan oleh anaknya yang lain.
Itu memang fakta, mungkin sedikit banyaknya memang demikian. Tapi aku tak mau mengkambing hitamkan siapa pun di sini!