Gedung itu sudah hampir rampung dengan dekorasi pernikahannya. Bunga pengantin, tenda pelaminan, serta meja perasmanan, mungkin tinggal 10 % menuju sempurna.
Diruangan make up, Raisa sibuk menelpon Brama dengan wajah yang cemas. Tak sekalipun telpon itu diangkatnya. Lagi-lagi Brama merijectnya. Seketika bulir-bulir bening keluar dari kelopak matanya. Gaun pengantin yang indah terpampang dihadapannya, seolah menertawakan nasibnya saat ini. Sekali lagi ia mencoba menghubungi kekasihnya dengan penuh kekawatiran dihatinya, sekali lagi pula ia tak mendapat jawaban.
Bagaimana ini? Apa yang akan terjadi dengan nasibku? Kenapa nomornya begitu sulit dihubungi? Besok kan sudah hari pernikahan. Bagaimana ini?
Dalam kalapnya, tiba-tiba ponselnya berdering. Dilihatnya dengan segera. Rupanya Brama yang menghubunginya.
"Hallo?" langsung Raisa mengangkat dengan harap cemas.
"Raisa?" diseberang sana terdengar suara perempuan.
Degh! Hati Raisa berdegup kencang. Raut wajah yang semula sumringah berubah menjadi entah.
"Raisa ini Mamanya Brama."
"Tante?" kata itu terdengar lirih.
"Sayang, Tante mau minta maaf sama kamu. Sudah beberapa hari ini Brama tak pulang kerumah. Awalnya Tante juga bingung harus bagaimana menjelaskannya sama kamu."
Degh degh. Raisa masih belum menemukan kemana arah pembicaraan orang yang disebutnya Tante itu.
"Maksud Tante ....?"
"Iya, emh. Bagaimana ya?" terdengar wanita itu seperti gugup disana. "tante sudah berusaha membujuknya, sayang. Tante sudah membujuknya untuk lebih dewasa. Tapi mungkin dia belum siap dengan ini semua, belum siap dengan pernikahan kalian."
Duaarr!!! Petir bergelegar dengan kerasnya diiringi hujan yang mengguyur gedung itu. Seiring dengan kerasnya dentuman kepahitan dalam hati Raisa.
Raisa terkejut bukan kepalang. Bukan hanya karena suara petir yang menggelegar seiring dengan hujannya, namun ia juga terkejut sekaligus marah dengan berita yang ia dapatkan. Bantingan keras itu telah berhasil menjatuhkan air matanya yang berderai dengan derasnya.
"Raisa? Kau masih disana kan?" terdengar samar-samar tante itu memanggil dibalik ponsel yang terjatuh dengan sendirinya.
"Raisa? Raisa?"
Tuuuth tuuuth.. panggilan itu terputus dengan sendirinya.
Raisa berdiri sesaat mematung didepan cermin. Penampilannya kusut, kusut sekali. Air mata terus mengalir tanpa henti. Dia pandangi dirinya dicermin, meski pandangannya terhalang buliran air mata. Sekilas pandangannya berpaling kearah gaun pengantin yang indah disana. Ingin rasanya ia mengoyak habis gaun itu. Lalu pandangannya berarah ke beberapa kosmetik yang terletak diatas tualet.
"Aaaarrrrgggghhhh!!!" dia hancurkan semua yang ada disana. Dia lemparkan ke berbagai arah.
"Aaarrrggghhhh!!! Aaarrrggghhh!!!" Raisa mencengkram kuat kepalanya, mencakar dan menjambak rambutnya dengan penuh amarah.
Seketika pintu terbuka, sesosok perempuan paruh baya muncul disana.
Dia raih kepala putrinya dan membenamkan dalam pelukannya.
"Sadar, sayang! Sadar! Apa yang kau lakukan?!"
Gadis itu tak sedikitpun meronta dalam pelukan ibunya. Malah dia berbalik memeluk erat ibunya sambil menumpahkan kesedihannya.
"Apa yang kau lakukan? Besok sudah hari pernikahanmu. Harusnya kau senang dan menjaga penampilanmu."
Raisa melepaskan pelukannya dengan kasar.
"Tidak akan ada hari pernikahan, Bu!" matanya menyalang penuh amarah. "Tidak akan ada hari pernikahan ditempat ini! Semuanya selesaaaaiiiii.... semuanya telah selesai Bu... semua selesai sampai disini ...." gadis itu kembali memeluk ibunya dan merintih menahan pedih yang ia rasakan.
"Kenapa? Apa maksudmu?" masih belum bisa menangkap kemana arah pembicaraan anaknya.
"Brama, Bu ... Brama menolak menikah denganku .. dia menolak hanya karena alasan belum siap menjadi suamiku .." Raisa mendongakan kepala kearah ibunya. "Apa aku jelek, Bu? Aku tidak cantik kah?"
Nyonya Murti membenamkan kembali kepala Raisa kepelukannya. Ia cengkeram rambut Raisa demi menahan amarahnya. Ini tidak bisa dibiarkan. Jika anakku tidak jadi menikah, maka akan malu sekali aku. Nanti anakku pun akan banyak digunjingkan karena kegagalannya untuk menikah. Bagaimanapun Raisa harus menikah, meski harus kucari penggantinya!
Entah rencana apa yang sedang berjalan  di kepala Nyonya Murti. Seketika dia mencoba menenangkan putrinya. Dia memeluk Raisa hingga terlelap ditempat tidurnya.
Dengan sangat hati-hati, Nyonya Murti meletakan kepala anaknya diatas bantal. Dia mengecup dan membelai kepala anaknya dengan lembut.
Nyonya Murti segera keluar dari Kamar Putrinya digedung itu. Menuju Aula Gedung dimana orang-orang sibuk dengan persiapan pernikahan putrinya. Dipanggil semua ajudannya yang seketika langsung menghadap padanya.
Nyonya Murti menatap tajam kepada ketiga laki-laki berbadan tegap dihadapannya.
"Kalian bertiga," panggilnya dingin, "apa sudah menikah?!" melipat tangan dengan angkuh.
"Sudah, nyonya." Jawab semuanya serentak sambil mengangguk.
"Carikan orang yang bersedia menikah dengan pitriku! Pastikan dia berperilaku baik! Tampan dan sempurna. Tak peduli dia kaya atau miskin. Akan kuberikan jabatan penting di perusahaan! Usahakan dia cerdas dan berpendidikan tinggi!"
Ketiga ajudan itu terdiam dan saling melirik.
"Kalian bisa?" suara itu terdengar getir.
"Bisa, Nyonya!" salah seorang menjawab sambil menganggukan kepala.
Nyonya Murti melirik menatap tajam.
"Bagus. Siapa dia?"
"Dia karyawan yang magang di perusahaan kita, nyonya."
"Karyawan kita? Siapa namanya?" Nyonya Murti seperti tertarik.
Ajudan itu mengambil ponsel di saku jasnya. Dia seperti membuka sebuah aplikasi. Ditunjukannya sebuah foto disana. Tertampak seorang laki-laki berparas tampan dengan kulit putih. Dari raut wajahnya dia memang orang baik-baik.
"Ini salah satu karyawan yang magang di Kantor kita, Nyonya. Namanya Damar. Dia salah satu Mahasiswa dengan nilai terbaik universitas terkemuka di Kota ini, Nyonya."
"Bagus. Bagaimana latar belakang keluarganya?"
"Dia yatim piatu, membiayai satu adik perempuan yang masih SMA."
Sepertinya Nyonya Murti semakin tertarik lagi. Sekelebat rencana muncul dibenaknya.
"Bagaimana mungkin dia kuliah sambil membiayai adiknya?"
"Dia mendapat beasiswa, Nyonya. Selama ini dia kerja paruh waktu."
Sesaat hening. Nyonya Murti seperti tengah memikirkan sesuatu.
"Bawakan dia untuk jadi mempelai pengganti besok pagi. Katakan padanya aku akan berikan jabatan tertinggi di perusahaanku. Usahakan kau belikan pakaian yang terbagus untuknya. Bila perlu beli semua pakaian termahal di Kota ini untuknya. Sempurnakan penampilannya. Aku tak mau acara ini mempermalukan nama baik keluargaku. Jangan sampai ada yang tau kalo dia dari keluarga biasa. Aku akan dua kali lipatkan gajihmu jika dia sesuai dengan apa yang kau katakan. Tapi jika dia mengecewakan, maka kau akan tau akibatnya!" Mata itu menyorot dengan tajam memberikan hawa dingin kepada siapa saja yang menatapnya. "Lakukan tugasmu dengan baik! Kalian semua, jangan sampai ada yang tau mengenai hal ini. Jika sampai bocor, nyawa kalianlah yang akan menjadi taruhannya!"
Nyona Murti berlalu seiring dengan mengangguknya para ajudan itu.
Sementara hujan dan petir diluar masih terus menggelegar dilangit sana. Nyonya Murti mendongak demi menahan air matanya. Bagaimanapun ia harus selalu berusaha kuat dihadapan semua orang, sehingga memaksanya untuk tetap tahan dalam kepura-puraan itu.
***
Bersambung..
Selengkapnya klik link di bawah ini
Rekomendasi Novel yang sangat bagus untukmu, Mempelai Pengganti, di sini dapat lihat:Â
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H