"Sadar, sayang! Sadar! Apa yang kau lakukan?!"
Gadis itu tak sedikitpun meronta dalam pelukan ibunya. Malah dia berbalik memeluk erat ibunya sambil menumpahkan kesedihannya.
"Apa yang kau lakukan? Besok sudah hari pernikahanmu. Harusnya kau senang dan menjaga penampilanmu."
Raisa melepaskan pelukannya dengan kasar.
"Tidak akan ada hari pernikahan, Bu!" matanya menyalang penuh amarah. "Tidak akan ada hari pernikahan ditempat ini! Semuanya selesaaaaiiiii.... semuanya telah selesai Bu... semua selesai sampai disini ...." gadis itu kembali memeluk ibunya dan merintih menahan pedih yang ia rasakan.
"Kenapa? Apa maksudmu?" masih belum bisa menangkap kemana arah pembicaraan anaknya.
"Brama, Bu ... Brama menolak menikah denganku .. dia menolak hanya karena alasan belum siap menjadi suamiku .." Raisa mendongakan kepala kearah ibunya. "Apa aku jelek, Bu? Aku tidak cantik kah?"
Nyonya Murti membenamkan kembali kepala Raisa kepelukannya. Ia cengkeram rambut Raisa demi menahan amarahnya. Ini tidak bisa dibiarkan. Jika anakku tidak jadi menikah, maka akan malu sekali aku. Nanti anakku pun akan banyak digunjingkan karena kegagalannya untuk menikah. Bagaimanapun Raisa harus menikah, meski harus kucari penggantinya!
Entah rencana apa yang sedang berjalan  di kepala Nyonya Murti. Seketika dia mencoba menenangkan putrinya. Dia memeluk Raisa hingga terlelap ditempat tidurnya.
Dengan sangat hati-hati, Nyonya Murti meletakan kepala anaknya diatas bantal. Dia mengecup dan membelai kepala anaknya dengan lembut.
Nyonya Murti segera keluar dari Kamar Putrinya digedung itu. Menuju Aula Gedung dimana orang-orang sibuk dengan persiapan pernikahan putrinya. Dipanggil semua ajudannya yang seketika langsung menghadap padanya.