Sebagai negara dengan warisan budaya yang kuat, Indonesia masih menghadapi tantangan serius terkait kekerasan seksual di ruang publik, yang kerap diasosiasikan dengan budaya patriarki yang mendalam. Budaya ini menciptakan ketidaksetaraan gender yang menyuburkan kekerasan dan diskriminasi terhadap perempuan. Pemerintah Indonesia telah merespons isu ini dengan mengimplementasikan langkah-langkah pencegahan, sambil semakin mengadopsi perspektif feminisme untuk meretas akar penyebab dan mengubah norma-norma yang mendukung kekerasan seksual. Artikel ini akan mengeksplorasi upaya pemerintah dalam konteks ini, serta mengevaluasi sejauh mana pendekatan feminisme mampu membawa perubahan positif dalam merubah budaya patriarki di Indonesia.
Kekerasan seksual di ruang publik semakin marak dalam beberapa tahun kebelakangan. Masih tingginya budaya patriarki di Indonesia memperumit permasalahan yang ada, lantas "Bagaimana langkah dan upaya yang bisa diambil pemerintah dalam mencegah permasalahan ini melalui sudut pandang teori feminisme?"
Survei Koalisi Ruang Publik Aman (KRPA) pada Juli 2019 menunjukkan bahwa tiga dari lima perempuan mengalami pelecehan seksual di transportasi umum atau ruang publik. Selain itu, disebutkan juga bahwa Perempuan cenderung mengalami pelecehan di ruang publik 13 kali lebih besar daripada laki-laki. Pakaian yang paling sering dikenakan oleh korban pelecehan adalah rok dan celana panjang (18%), diikuti oleh hijab (17%), baju berlengan panjang (16%), seragam sekolah (14%), serta pakaian yang longgar (14%). Pelecehan seringkali terjadi di siang hari (35%). Sebanyak 25% kejadian tercatat pada sore hari, 21% pada malam hari, dan 17% pada pagi hari.
Hasil survei mematahkan mitos seputar pakaian terbuka, dengan mayoritas kasus terjadi pada siang hari dan melibatkan korban berpakaian tertutup, termasuk yang mengenakan hijab. Untuk pencegahan, regulasi harus melibatkan partisipasi berarti, melibatkan komunitas pengguna angkutan umum, lembaga pemberdayaan perempuan, LSM, dan penegak hukum. UU No.12 Tahun 2022 tentang Tindak Pidana Kekerasan Seksual menjadi landasan, memastikan penanganan kasus pelecehan seksual di transportasi umum membawa akibat hukum.
Teori FeminismeÂ
Teori feminisme adalah landasan bagi gerakan sosial, politik, dan filsafat yang bertujuan mencapai kesetaraan gender. Dengan akar pada keyakinan bahwa perempuan memiliki hak yang sama dengan laki-laki, teori ini telah berkembang menjadi beberapa jenis utama. Feminisme liberal mengadvokasi kesetaraan melalui reformasi hukum, sementara feminisme radikal menyerukan perubahan struktural yang mengatasi akar patriarki (Megawangi, 1996). Feminisme sosialis menggabungkan isu gender dengan kritik terhadap sistem kapitalis, sedangkan feminisme pascastrukturalis menekankan peran bahasa dan budaya dalam
konstruksi gender. Kontribusi teori feminisme terlihat dalam pemahaman bahwa ketidaksetaraan gender bukan hanya masalah individu, tetapi juga struktural. Teori ini memandu strategi seperti hukum antidiskriminasi dan pendidikan gender. Di era kontemporer, teori feminisme tetap relevan untuk menganalisis dan mengatasi ketidaksetaraan gender yang masih melanda politik, ekonomi, dan kehidupan sehari-hari perempuan di seluruh dunia.
Teori feminisme memiliki relevansi yang mendalam dalam analisis dan penanganan kekerasan seksual (Hidayat, 2018). Feminisme radikal, misalnya, mengidentifikasi kekerasan seksual sebagai dampak struktur patriarki dalam masyarakat. Teori ini menekankan perlunya perubahan struktural yang mendalam untuk mengatasi akar masalah tersebut. Feminisme pascastrukturalis membawa kontribusi dengan menyoroti peran bahasa dan budaya dalam konstruksi gender, membantu kita memahami bagaimana stereotip dan norma sosial dapat memengaruhi persepsi terhadap kekerasan seksual. Â
Studi kasus mengenai pelecehan seksual di transportasi umum dapat dikaitkan dengan teori feminisme, terutama feminisme radikal dan feminisme pascastrukturalis.
Feminisme Radikal
   Teori feminisme radikal menyoroti struktur patriarki sebagai akar ketidaksetaraan gender. Dalam konteks pelecehan seksual di transportasi umum, feminisme radikal menekankan perlunya perubahan struktural dalam masyarakat untuk mengatasi fenomena ini. Analisis feminisme radikal dapat membantu memahami bahwa pelecehan seksual merupakan dampak dari ketidaksetaraan kekuasaan antara genders dan memerlukan perubahan sistemik.
Feminisme Pascastrukturalis
   Feminisme pascastrukturalis menyoroti konstruksi sosial gender melalui bahasa dan budaya. Dalam studi kasus ini, feminisme pascastrukturalis dapat membantu memahami bagaimana stereotip gender, norma sosial, dan mitos memengaruhi persepsi terhadap korban pelecehan seksual (Hidayat, 2018). Menyatakan bahwa pelecehan tidak terkait dengan pakaian atau waktu tertentu dapat dilihat sebagai hasil analisis pascastrukturalis, yang menekankan bahwa gender tidak hanya terbentuk oleh struktur sosial tetapi juga oleh representasi linguistik dan budaya.
   Melalui teori feminisme, Indonesia dapat memahami bahwa pelecehan seksual adalah akibat dari ketidaksetaraan gender yang mendasar. Meningkatkan kesadaran akan hak-hak perempuan dan melibatkan masyarakat dalam mengenali dan melawan budaya patriarki menjadi langkah kunci. Teori feminisme, terutama feminisme radikal, mengajarkan bahwa untuk mengatasi pelecehan seksual, perubahan struktural dalam masyarakat perlu dilakukan. Ini mencakup perubahan dalam norma sosial, kebijakan pemerintah, dan penegakan hukum. Pelibatan aktif komunitas pengguna angkutan umum, lembaga pemberdayaan perempuan, LSM, dan penegak hukum adalah kunci dalam pembuatan kebijakan yang efektif. Melibatkan berbagai pihak akan memastikan keberlanjutan dan keberhasilan langkah-langkah pencegahan (Megawangi, 1996).
   Indonesia dapat mengambil pelajaran berharga dari teori feminisme dan studi kasus pelecehan seksual di transportasi umum. Penting untuk menggabungkan pemahaman tentang struktur patriarki, konstruksi sosial gender, dan partisipasi aktif masyarakat dalam upaya pencegahan. Dengan merangkul kesetaraan gender sebagai dasar, Indonesia dapat membangun lingkungan yang lebih aman dan setara bagi semua individu, mengurangi prevalensi pelecehan seksual, dan menciptakan perubahan positif dalam masyarakat.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H