Feminisme Pascastrukturalis
   Feminisme pascastrukturalis menyoroti konstruksi sosial gender melalui bahasa dan budaya. Dalam studi kasus ini, feminisme pascastrukturalis dapat membantu memahami bagaimana stereotip gender, norma sosial, dan mitos memengaruhi persepsi terhadap korban pelecehan seksual (Hidayat, 2018). Menyatakan bahwa pelecehan tidak terkait dengan pakaian atau waktu tertentu dapat dilihat sebagai hasil analisis pascastrukturalis, yang menekankan bahwa gender tidak hanya terbentuk oleh struktur sosial tetapi juga oleh representasi linguistik dan budaya.
   Melalui teori feminisme, Indonesia dapat memahami bahwa pelecehan seksual adalah akibat dari ketidaksetaraan gender yang mendasar. Meningkatkan kesadaran akan hak-hak perempuan dan melibatkan masyarakat dalam mengenali dan melawan budaya patriarki menjadi langkah kunci. Teori feminisme, terutama feminisme radikal, mengajarkan bahwa untuk mengatasi pelecehan seksual, perubahan struktural dalam masyarakat perlu dilakukan. Ini mencakup perubahan dalam norma sosial, kebijakan pemerintah, dan penegakan hukum. Pelibatan aktif komunitas pengguna angkutan umum, lembaga pemberdayaan perempuan, LSM, dan penegak hukum adalah kunci dalam pembuatan kebijakan yang efektif. Melibatkan berbagai pihak akan memastikan keberlanjutan dan keberhasilan langkah-langkah pencegahan (Megawangi, 1996).
   Indonesia dapat mengambil pelajaran berharga dari teori feminisme dan studi kasus pelecehan seksual di transportasi umum. Penting untuk menggabungkan pemahaman tentang struktur patriarki, konstruksi sosial gender, dan partisipasi aktif masyarakat dalam upaya pencegahan. Dengan merangkul kesetaraan gender sebagai dasar, Indonesia dapat membangun lingkungan yang lebih aman dan setara bagi semua individu, mengurangi prevalensi pelecehan seksual, dan menciptakan perubahan positif dalam masyarakat.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H