Mohon tunggu...
Shinta Sabrina Mardhatillah
Shinta Sabrina Mardhatillah Mohon Tunggu... Mahasiswa - Mahasiswi Psikologi Universitas 17 Agustus 1945 Surabaya

Amor Vincit Omnia :)

Selanjutnya

Tutup

Filsafat Pilihan

Tinjauan Krisis Identitas Ala Nietzsche

8 Januari 2025   23:10 Diperbarui: 8 Januari 2025   23:10 27
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
https://www.thecollector.com/friendrich-nietzsche-best-books-philosophical-career/

   Menurut Nietzsche, manusia modern seringkali terjebak dalam peran-peran yang ditentukan oleh masyarakat, seperti menjadi anak yang baik, siswa yang rajin, atau pekerja yang sukses. Kita jadi lupa siapa diri kita yang sebenarnya di balik semua peran itu. Ditambah saat ini, era globalisasi yang pesat merubah cara hidup dan berpikir manusia yang semakin menurun karena kehilangan identitas akibat masifnya penggunaan media sosial yang berlebihan.

   Lantas, apakah yang menjadikan tolak ukur sebuah krisis identitas saat ini melalui pemikiran Nietzsche?

1. Terlalu banyak pilihan: Zaman sekarang, kita punya banyak pilihan, dari hobi sampai pekerjaan. Banyaknya pilihan justru bikin kita bingung dan ragu-ragu.

    Mengapa bisa ragu-ragu? Seorang manusia tidak memiliki rasa kepercayaan diri yang sama dengan manusia lainnya. Ini dibuktikan melalui banyak faktor, namun faktor terdekat yang bisa kita jadikan indikator adalah melalui linkungan dan keluarga. Sebagai contoh, jika seseorang hidup dengan lingkungan yang membawa sebuah pengaruh buruk dan kurangnya support dari keluarga, maka ia akan semakin terjerumus ke dalam hal yang buruk pula. Juga, apabila seseorang dekat dengan lingkungan yang penuh dengan judgemental serta peran keluarga yang judgemental pula. Jangankan percaya diri, seseorang itu akan menjadi depresi dan mengalami gangguan mental pula.

2. Tekanan sosial media: Kita sering membandingkan diri dengan orang lain di media sosial, dan merasa tidak cukup baik.

   Banyak sekali paham anak muda diluar sana yang terlalu mendewakan sosial media sebagai ajang untuk mencari arti hidup yang sebenarnya. Sebut saja contoh trend "Standar Tik Tok" yang merusak pola pikir dan melahirkam kemunduran cara pandang masyarakat soal kehidupan. Ini pula dipertegas dengan bukti nyata bahwa saat ini, kebanyakan orang lebih senang untuk menjadi orang lain ketimbang menjadi diri sendiri.

3. Kehilangan nilai-nilai: Banyak nilai-nilai tradisional yang mulai pudar. Kita jadi bingung mencari pegangan hidup.

   Ketika zaman semakin maju, sudah pasti adat istiadat suatu daerah akan tertinggal dan tergantikan dengan paham baru. Ini terjadi karena tidak adanya alternatif lain yang menjadi solusi konkrit untuk mempertahankan nilai-nilai tradisional dan memadukannya dengan nilai-nilai baru (modernisme). Hal ini menjadi bukti bahwa tidak adanya keabadian dalam suatu nilai bila tidak ada yang mampu menjaga eksistensinya dalam perubahan zaman.

Lalu, bagaimanakah sebuah pemikiran individualisme ala Nietzsche mampu menambah wawasan kita untuk mengatasi 3 hal dasar diatas?

   Menurutnya, manusia adalah sebuah produk yang mampu merubah diri dan menjadi bebas layaknya bermensch. Gagasan pikiran ini mengartikan bahwa manusia mampu menciptakan sesuatu sesuai dengan apa yang ia pikirkan tanpa harus terkekang oleh apapun. Ini membuktikan bahwa manusia dalam pandangan Nietzsche sudah seharusnya menjadi diri sendiri tanpa harus berpura-pura menjadi orang lain. Karna setiap individu dilahirkan dengan kemampuan yang unik di dalam dirinya masing-masing.

   Kemudian, konsep Will to Power adalah sebuah indikator manusia unggul ketika ia berjuang untuk menjadi yang berkuasa bagi dirinya sendiri. Konsep ini ialah sebuah sarkasme terhadap lingkungan dan keluarga yang judgemental. Dimana kedua hal tersebut merupakan faktor terpenting bagi seseorang ketika ia mengalami kesulitan untuk mencari Will to Power dalam dirinya. Perlu digarisbawahi, perubahan besar dalam diri seseorang lahir dari perubahan kecil yang signifikan dan terus menerus.

   Intinya, saya belajar banyak. Dari pemikiran Nietzsche, beliau mengutamakan kekuatan untuk kepercayaan pada diri sendiri agar "krisis identitas" itu dapat diatasi. Penekanan ini menjadi bukti nyata bahwa setiap manusia mampu berkuasa atas dirinya sendiri tanpa harus dikuasai oleh pemikiran orang lain. Individualisme yang keras seperti ini, terkadang membantu saya dan kita dalam menjaga pentingnya memiliki sebuah identitas dalam hidup, tanpa harus menggunakan identitas orang lain sebagai bukti pencapaian kebahagiaan kita, yang sebenernya tidak bahagia tapi dipaksakan untuk bahagia.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Filsafat Selengkapnya
Lihat Filsafat Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun