Salah satu pernyataan Gita Savitri dalam konten di channel youtube-nya yang mengatakan bahwa justifikasi Qatar terhadap kelompok LGBTQ yang mengatasnamakan budaya, telah melanggar hak asasi manusia orang-orang dari negara Barat. Hal ini menjadi bukti bahwa Gita Savitri telah terpengaruh oleh hegemoni Barat. Terlebih, ia tinggal di negara Jerman yang dimana negara Jerman mengakui adanya hubungan sesama jenis. Negara-negara Eropa dan Amerika percaya bahwa hak asasi manusia untuk mengutamakan diri sendiri, tidak dapat dihalangi oleh pemerintah atau agama untuk mencapai kebahagiaan, keamanan, dan kenyamanan sebagai manusia. (Wahyuni, 2022). Mereka yang menganut ideologi ini mencari perlindungan pada hak asasi manusia. Dalam hal orientasi seksual, saat ini mereka percaya bahwa tidak hanya satu orientasi seksual yang dianggap “normal”, tetapi ada beberapa orientasi seksual yang dilegalkan yang juga dianggap “normal”, bahkan diperbolehkan menikah secara sah dan dilindungi secara hukum untuk memberikan rasa aman dan nyaman bagi warganya. Warga negara yang homoseksual yang berorientasi pada tujuan dianggap "normal" di samping penduduk yang berorientasi seksual heteroseksual.(Wahyuni, 2022)
Hak asasi manusia pada dasarnya sesuai dengan hak dan kewajiban Islam, tetapi evolusi hak asasi manusia saat ini telah menjadi otoritatif sampai pada titik di mana hak dan kewajiban agama tampaknya menjadi beban kemanusiaan.(Nurkhalis, 2022) Ketika urgensi agama hilang, maka menghancurkan kepekaan akal sehat (common sense), karena mengingat benar dan salah, baik dan buruk, tidak dapat diukur dengan akal sehat. (Nurkhalis, 2022)Dalam akal sehat, HAM tidak terukur, tetapi hanya mengikuti kesenangan (pleasue) dan kemauan (will), yang mengarah pada hedonism dan liberalisme.(Nurkhalis, 2022). Jadi, apa yang dikatakan oleh Gita Savitri tentang pelanggaran HAM yang dilakukan oleh Qatar terhadap kaum LGBT tidak bisa dikatakan sebagai sebuah pelanggaran, karena yang sesungguhnya terjadi adalah, para kaum LGBT yang telah kehilangan urgensi agama pada dirinya, dan mereka juga telah kehilangan common sense, sehingga mereka melakukan Tindakan sesuai dengan keinginan mereka, meskipun mereka tmengetahui hal tersebut dilarang oleh agama. Mengatasnamakan hak asasi manusia untuk mendapatkan kebebasan dari apa yang sudah mereka perbuat.
- Terjadi Conflict of Conduct Norm antara Supporter Negara Barat dengan Budaya Qatar
Perspektif sosiologi yang selanjutnya berkenaan dengan aturan Qatar adalah terjadinya conflict of conduct norm atau yang disebut teori culture conflict. (Sellin, 1938). Pertentangan antara budaya yang dominan dan subcultural akan menghasilkan konflik, yang disebut sebagai conflict of conduct norm, menurut Thorsten Sellin (1983). Sellin melihat munculnya konflik ini tidak dapat dilepaskan oleh paksaan suatu budaya ke dalam masyarakat lain yang memiliki budaya berbeda. Conflict of conduct norm sering dijumpai ketika seseorang berada di satu wilayah kemudian berpindah ke wilayah lain, yang dimana kebudayaannya berbeda dan saling bertentangan. (Sellin, 1938)
Kedatangan supporter dari negara Barat yang kebanyakan dari mereka mendukung hubungan sesame jenis, atau kelompok LGBTQ ini, dianggap oleh Qatar telah melanggar budaya Qatar yang identic dengan nilai-nilai Islam. Bertentangan dengan nilai-nilai Islam, dimana negara Barat menganut nilai-nilai kebebasan berekspresi yang mendukung kelompok LGBTQ, akan cenderung dianggap sebagai penyimpangan oleh Qatar.
- Diskriminasi Negara Barat terhadap Kelompok Minoritas
Dr. Ali Syariati menjelaskan bahwa kita perlu meninggalkan nilai dan kebudayaan yang berorientasi ke-Eropa-an, sebab belum tentu itu yang terbaik. Beliau juga mengkritik negara Barat yang kerapkali berbicara mengenai humanity, atau kemanusiaan, tetapi di sisi lain mereka menghancurkannya dengan imperialisme dan penjajahan baru dalam bentuk apapun. Negara Barat yang dianggap menjunjung tinggi hak asasi manusia, pada kenyataannya mereka tidak lepas dari masalah-masalah yang berkenaan dengan diskriminasi terhadap kelompok minoritas. Salah satunya adalah diskriminasi mereka terhadap kelompok minoritas Arab. Berkaca saja pada pelarangan penggunaan hijab dan atribut agama lain yang terjadi di Prancis. Hal tersebut sudah menunjukkan bahwa negara Barat juga bertindak diskriminatif seperti yang mereka sebut kepada negara Islam yang berkenaan dengan kelompok LGBTQ.
Kelompok diskriminatif di negara Barat juga seringkali memandang Islam sebagai teroris. Dalam sebuah penelitian mengungkapkan bahwa terdapat tiga faktor yang bertanggungjawab atas terorisme yaitu, anarki internasional, hegemoni Amerika Serikat penemuan dalam masyarakat Islam, dan sistem kepercayaan Islam yang fundamentalis. (Thayer & Hudson, 2010). Faktor yang pertama adalah politik internasional anarkis. Politik internasional anarkis adalah system politik yang tidak memiliki pemimpin, atau tidak ada pemerintahan berdaulat di dalamnya. Dalam politik ini tidak ada yang berwenang untuk mengadili dan memberikan pro-perlindungan bagi warga negaranya. Kondisi poliyik yang seperti ini, memungkinkan adanya perselisihan dan peperangan di wilayahnya, serta tidak menutup kemungkinan sering terjadi pelanggaran hak asasi manusia. terkait hal tersebut, aksi bunuh diri teroris terjadi karena tidak ada aturan yang mengikat di dalamnya. (Thayer & Hudson, 2010)
Faktor kedua yang bertanggungjawab atas aksi terorisme adalah, hegemoni Amerika Serikat. Sebagai satu-satunya negara adikuasa yang tersisa di akhir Perang Dingin, Amerika Serikat menjadi pemimpin militer, ekonomi, dan ideologis dunia. (Thayer & Hudson, 2010). Kekuatan Amerika Serikat yang tak tertandingi memungkinkannya menggunakan kekuatan militer dan mendukung rezim sekutu di seluruh dunia - termasuk di dunia Islam, menyebabkan kebencian yang mendalam. Pada tahun 1990, dimana terjadi invasi Irak ke Kuwait menghasilkan Amerika Serikat mendaratkan pasukannya di Arab Saudi dengan tujuan memperluas kehadiran militernya di Teluk Persia. Kejadian tersebut, membuat pasukan teroris Islam membela Tindakan bunuh diri mereka, dengan dalih menghilangkan kehadiran militer AS di dunia Islam, terutama di Arab Saudi sebagai rumah bagi situs agama Islam yang paling penting di dunia. (Thayer & Hudson, 2010). Dari penjelasan tersebut, menjadi bukti bahwa hegemoni barat yang menjadi pengaruh atas terjadinya terorisme. Segala bentuk pelanggaran atas norma, selalu ada campur tangan dari hegemoni barat, salah satunya hegemoni Amerika Serikat yang berkenaan dengan terorisme.(Thayer & Hudson, 2010)
Faktor ketiga yang berpengaruh besar terhadap serangan teror fundamentalis Islam adalah, berpusat pada rezim "murtad" dunia Arab. Untuk melindungi kepentingannya di seluruh dunia, Amerika Serikat telah membentuk jaringan aliansi di Timur Tengah – dari Maroko ke negara-negara syekh Teluk dan dari Turki ke Tanduk Afrika dan Somalia. (Thayer & Hudson, 2010). Teroris fundamentalis Islam memandang aliansi ini sebagai bukti sifat sesat dan munafik dari pemerintah di belakang mereka. Memang, sebagian besar terorisme fundamentalis Islam diarahkan terhadap pemerintah-pemerintah ini dan para pendukungnya, yang oleh para jihadis disebut sebagai "musuh dekat" yang dicerca karena dipandang sebagai murtad yang menolak Islam, memeluk ideologi sekuler, dan bersekutu dengan Amerika Serikat. (Thayer & Hudson, 2010)
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H