Mohon tunggu...
Shinta Aprilia Ivanda
Shinta Aprilia Ivanda Mohon Tunggu... Mahasiswa - Mahasiswa Program Studi Sosiologi, Universitas Airlangga

hobi saya menulis, membaca buku tentang psikologi, sosiologi, dan yang berhubungan dengan kemanusiaan

Selanjutnya

Tutup

Ilmu Sosbud

Perspektif Sosiologi terhadap Kritikan Influencer Mengenai Ban Lengan "One Love", Piala Dunia 2022

26 Mei 2023   11:05 Diperbarui: 26 Mei 2023   11:22 299
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Terselenggaranya Piala Dunia 2022 pada 20 November hingga 18 Desember 2022, menjadi acara yang paling dinantikan di tahun ini. Terlebih, pada tahun ini negara yang tergolong negara kecil di dunia, yaitu Qatar, menjadi tuan rumah atas terselenggaranya Piala Dunia 2022 ini. Para pecinta olahraga sepak bola sedang meramaikan ajang pertandingan sepak bola dunia ini dengan memberi dukungan kepada timnas unggulannya. Namun, media sempat digegerkan dengan permasalahan mengenai kebijakan Qatar, yaitu terkait larangan kaum lgbt untuk berkampanye dan menebarkan simbol lgbt selama Piala Dunia 2022 berlangsung.(Sugihartono, 2022) Suasana menjadi semakin memanas ketika tim sepak bola Jerman melakukan aksi tutup mulut dalam foto mereka sebelum mereka melakukan pertandingan pertamanya melawan tim sepak bola Jepang.(Kumparan Video, 2022)

Aksi tutup mulut yang dilakukan oleh Jerman tersebut, sebenarnya adalah bentuk protes mereka terhadap FIFA, karena telah melarang penggunaan ban lengan “One Love”. (Kumparan Video, 2022). Ban lengan “One Love”, menurut situs web Evening Standard, adalah kampanye untuk mempromosikan inklusi serta pesan anti diskriminasi dalam segala bentuk. (Dianawuri, 2022). Asosiasi Sepak Bola Belanda meluncurkan kampanye ban lengan “One Love” pada awal musim sepak bola 2020. Terakhir, Jerman, Norwegia, Inggris, Denmark, Belgia, Prancis, Swedia, Wales, dan Swiss telah mendukung kampanye tersebut. (Dianawuri, 2022). Para kapten tim sepak bola Eropa berniat memakai ban lengan OneLove saat berlaga di Piala Dunia 2022. Akan tetapi, FIFA melarang penggunaan ban lengan “One Love” tersebut. Jika mereka tetap mengenakan ban lengan “One Love” tersebut pada saat pertandingan sepak bola Piala Dunia 2022 berlangsung, FIFA mengancam mereka dengan adanya sanksi kepada tujuh tim sepak bola Eropa. Oleh karena itu, para pemain Jerman melakukan foto dengan menutup mulut mereka di depan puluhan fotografer di lapangan, sebelum mereka melakukan pertandingan melawan Jepang.(Kumparan Video, 2022)

CNN Indonesia
CNN Indonesia

Alasan FIFA melarang penggunaan ban lengan “One Love”  adalah karena FIFA tidak ingin ada penggunaan slogan atau pesan politik yang ditempelkan pada seragam atau perlengkapan sepak bola lainnya. Ban lengan “One Love” memiliki muatan politik, meski tidak secara langsung, sebab mereka ingin mengkritik undang-undang anti-LGBTQ. (Dianawuri, 2022). Ban lengan “One Love” juga ingin mempromosikan inklusivitas, khususnya di negara-negara yang melarang hubungan sesama jenis. Terlebih lagi, Piala Dunia tahun ini digelar di Qatar, yang dimana merupakan salah satu negara yang melarang hubungan sesama jenis.(Dianawuri, 2022)

  • Kritikan salah satu Influencer, Gita Savitri mengenai Aturan FIFA 

Kontroversi yang terjadi akibat larangan penggunaan ban lengan “One Love”, serta larangan penggunaan simbol LGBT, menuai banyak sekali pro dan kontra. Berbagai opini dan kritikan dari para artis, influencer, dan masyarakat umum lainnya, disebarkan melalui akun media sosial mereka. Tidak lain juga, salah satu influencer terkenal sekaligus seorang youtuber terkenal asal Indonesia, yaitu Gita Savitri turut memberikan kritikan terhadap FIFA melalui akun instagramnya. Gita Savitri atau orang-orang biasa menyebutnya Gitasav lahir pada 27 Juli 1992 di Palembang. Dia saat ini berusia 30 tahun. Gita adalah gadis biasa yang lebih mementingkan pendidikan daripada karirnya. Bersama suaminya, Gita Savitri tinggal di negara Jerman. Gita menjunjung tinggi nilai toleransi beragama, terbukti dari beberapa vlognya.(Yalni, n.d.)

Gita menjadi terkenal di dunia maya setelah menjadi YouTuber yang sukses. Konten-nya berisi opini mengenai isu sosial, politik, dan lainnya yang terjadi di Indonesia, serta belahan dunia lainnya yang sedang viral pada saat itu. Gita telah menjalankan saluran YouTube-nya sejak 2009. Dari channel youtube-nya tersebut, Gitasav terkenal karena orangnya yang open minded. (Yalni, n.d.)

Melalui laman instagramnya, Gita Savitrivmenulis sebuah statement yang ditujukan untuk FIFA dan Qatar, “Di satu sisi kaya virtue signalling ya… kaya, can you do something more than that? Di sisi lain, LGBTQ-phobia has real life consequences. People lost their lives due to their gender and sexuality, so it’s better than not saying anything at all. FIFA is corrupt and Qatar justifying homophobia by using “this in our culture” is big”. Kritikan yang ditulis oleh Gita Savitri tersebut lantas menjadi trending, serta menuai kecaman dari netizen, khususnya bagi mereka yang beragama Muslim. Mengetahui bahwa dirinya sedang ramai dibicarakan karena statement yang ia tulis di insta story, Gita Savitri langsung membuat sebuah konten di channel youtube-nya. Disana ia menjelaskan lebih detail mengenai statement yang telah ia tulis tersebut. Dalam channel youtube-nya, Gitasav mengatakan bahwa yang dilakukan oleh Qatar bukanlah suatu culture negara yang harus diikuti dan dilakukan oleh semua orang yang berada di negara tersebut. Gitasav menilai bahwa tindakan yang dilakukan oleh Qatar telah melanggar human rights atau hak asasi manusia, khususnya bagi negara-negara di Eropa dalam Piala Dunia 2022, seperti Jerman, Belgia, Wales, Denmark, Inggris, Swiss, dan Belanda. Gitasav juga mengatakan bahwa sebagai feminis, ia harus sadar dan terus memperjuangkan keseteraan yang bukan hanya untuk perempuan, tetapi juga untuk minoritas lain, seperti transgender, dan komunitas LGBT.

Ayo bandung
Ayo bandung

Dalam video konten youtube-nya, Gita Savitri menjelaskan sedikit mengenai paradoks toleransi dari Karl Popper, yaitu jika kita toleransi kepada mereka yang bahkan berperilaku intoleran kepada semua jenis kelompok manusia yang ada, maka yang akan terjadi nantinya adalah eksistensi mereka akan semakin berkembang, dan mereka yang toleransi akan kehilangan eksistensinya. (Rosenfeld, 2003). Gita Savitri juga sedikit berbicara mengenai orang-orang konservatif. Individu atau kelompok dengan sikap konservatif berusaha untuk melestarikan keadaan, kebiasaan, dan tradisi yang mereka anut saat ini. (Helvira et al., n.d.). Gita Savitri menyebutkan bahwa musuh bagi kaum minoritas seperti dirinya saat berada di Jerman adalah orang-orang konservatif tersebut. Orang-orang konservatif yang dimaksud adalah mereka yang rasis, islamophobic, dan mereka yang attacking identitas dia sebagai Muslim.

  • Respon Netizen terhadap Kritikan Gita Savitri kepada FIFA dan Qatar

Sebagai seorang influencer yang cukup terkenal, Gita Savitri tentu memiliki banyak followers di akun instagramnya. Melihat kritikan yang diungkapkan olehnya di insta story tersebut, lantas membuat beberapa orang kontra dengan pendapat Gita Savitri mengenai aturan yang dibuat Qatar. Orang-orang menganggap bahwa pernyataan yang disampaikan oleh Gita Savitri tersebut tidak sesuai dengan ajaran Islam yang sangat jelas bahwa Islam melarang LGBT. Beberapa dari mereka juga menganggap bahwa Gita Savitri adalah seorang influence yang mendukung paham liberal dan budaya barat, dibandingkan dengan nilai-nilai ajaran dari agamanya sendiri.

Terdapat banyak sekali perbedaan pendapat yang diungkapkan oleh netizen setelah melihat pernyataan Gita Savitri mengenai aturan Qatar di Piala Dunia 2022. Salah satu pihak mengungkapkan pendapatnya bahwa budaya, keyakinan agama, dan peraturan negara itu mutlak atau dengan kata lain tidak bisa ditawar. Dimana bumi dipijak, di situ langit dijunjung. Maknanya adalah, ketika seseorang berada di suatu daerah atau negara, maka orang tersebut harus mampu untuk menghargai perbedaan budaya yang ada di daerah tersebut dengan daerah sendiri.

  • Pengaruh Hegemoni Barat terhadap Ketidaksetujuan Aturan Qatar terkait LGBTQ

Jika dikaji lebih dalam lagi, kritikan seorang Gita Savitri yang mengungkapkan ketidaksetujuannya terhadap Qatar yang melarang kampanye kaum LGBTQ,  ternyata memiliki korelasi dengan hegemoni barat. Ketidaksetujuan Gita Savitri mengenai larangan kampanye LGBTQ, merupakan pengaruh dari hegemoni barat. Dalam bukunya yang berjudul “Melawan Hegemoni Barat, Dr. Ali Syariati menjelaskan bahwa barat yang dianggap lebih baik karena menanamkan nilai kemanusiaan, mendapat dukungan dari kalangan umat Islam sendiri. (Syariati, Ali 2022). Hegemoni barat berhasil mendoktrin umat Islam sendiri bahwa ajarannya tidak lebih baik, karena kurang memberikan perhatian terhadap nilai-nilai kemanusiaan. Dr. Ali Syariati juga mengungkapkan dampak dari hegemoni barat, “pada akhirnya, hegemoni yang begitu kuat justru membuat bukan hanya warga Barat menolak islam, tetapi juga sebagian besar warga non-Muslim lainnya, bahkan lebih menyakitkan lagi, juga sebagian warga Muslim itu sendiri.” (Syariati, Ali 2022)

Salah satu pernyataan Gita Savitri dalam konten di channel youtube-nya yang mengatakan bahwa justifikasi Qatar terhadap kelompok LGBTQ yang mengatasnamakan budaya, telah melanggar hak asasi manusia orang-orang dari negara Barat. Hal ini menjadi bukti bahwa Gita Savitri telah terpengaruh oleh hegemoni Barat. Terlebih, ia tinggal di negara Jerman yang dimana negara Jerman mengakui adanya hubungan sesama jenis. Negara-negara Eropa dan Amerika percaya bahwa hak asasi manusia untuk mengutamakan diri sendiri, tidak dapat dihalangi oleh pemerintah atau agama untuk mencapai kebahagiaan, keamanan, dan kenyamanan sebagai manusia. (Wahyuni, 2022). Mereka yang menganut ideologi ini mencari perlindungan pada hak asasi manusia. Dalam hal orientasi seksual, saat ini mereka percaya bahwa tidak hanya satu orientasi seksual yang dianggap “normal”, tetapi ada beberapa orientasi seksual yang dilegalkan yang juga dianggap “normal”, bahkan diperbolehkan menikah secara sah dan dilindungi secara hukum untuk memberikan rasa aman dan nyaman bagi warganya. Warga negara yang homoseksual yang berorientasi pada tujuan dianggap "normal" di samping penduduk yang berorientasi seksual heteroseksual.(Wahyuni, 2022)

Hak asasi manusia pada dasarnya sesuai dengan hak dan kewajiban Islam, tetapi evolusi hak asasi manusia saat ini telah menjadi otoritatif sampai pada titik di mana hak dan kewajiban agama tampaknya menjadi beban kemanusiaan.(Nurkhalis, 2022) Ketika urgensi agama hilang, maka menghancurkan kepekaan akal sehat (common sense), karena mengingat benar dan salah, baik dan buruk, tidak dapat diukur dengan akal sehat. (Nurkhalis, 2022)Dalam akal sehat, HAM tidak terukur, tetapi hanya mengikuti kesenangan (pleasue) dan kemauan (will), yang mengarah pada hedonism dan liberalisme.(Nurkhalis, 2022). Jadi, apa yang dikatakan oleh Gita Savitri tentang pelanggaran HAM yang dilakukan oleh Qatar terhadap kaum LGBT tidak bisa dikatakan sebagai sebuah pelanggaran, karena yang sesungguhnya terjadi adalah, para kaum LGBT yang telah kehilangan urgensi agama pada dirinya, dan mereka juga telah kehilangan common sense, sehingga mereka melakukan Tindakan sesuai dengan keinginan mereka, meskipun mereka tmengetahui hal tersebut dilarang oleh agama. Mengatasnamakan hak asasi manusia untuk mendapatkan kebebasan dari apa yang sudah mereka perbuat.

  • Terjadi Conflict of Conduct Norm antara Supporter Negara Barat dengan Budaya Qatar

Perspektif sosiologi yang selanjutnya berkenaan dengan aturan Qatar adalah terjadinya conflict of conduct norm atau yang disebut teori culture conflict. (Sellin, 1938). Pertentangan antara budaya yang dominan dan subcultural akan menghasilkan konflik, yang disebut sebagai conflict of conduct norm, menurut Thorsten Sellin (1983). Sellin melihat munculnya konflik ini tidak dapat dilepaskan oleh paksaan suatu budaya ke dalam masyarakat lain yang memiliki budaya berbeda. Conflict of conduct norm sering dijumpai ketika seseorang berada di satu wilayah kemudian berpindah ke wilayah lain, yang dimana kebudayaannya berbeda dan saling bertentangan. (Sellin, 1938)

Kedatangan supporter dari negara Barat yang kebanyakan dari mereka mendukung hubungan sesame jenis, atau kelompok LGBTQ ini, dianggap oleh Qatar telah melanggar budaya Qatar yang identic dengan nilai-nilai Islam. Bertentangan dengan nilai-nilai Islam, dimana negara Barat menganut nilai-nilai kebebasan berekspresi yang mendukung kelompok LGBTQ, akan cenderung dianggap sebagai penyimpangan oleh Qatar.

  • Diskriminasi Negara Barat terhadap Kelompok Minoritas

Dr. Ali Syariati menjelaskan bahwa kita perlu meninggalkan nilai dan kebudayaan yang berorientasi ke-Eropa-an, sebab belum tentu itu yang terbaik. Beliau juga mengkritik negara Barat yang kerapkali berbicara mengenai humanity, atau kemanusiaan, tetapi di sisi lain mereka menghancurkannya dengan imperialisme dan penjajahan baru dalam bentuk apapun. Negara Barat yang dianggap menjunjung tinggi hak asasi manusia, pada kenyataannya mereka tidak lepas dari masalah-masalah yang berkenaan dengan diskriminasi terhadap kelompok minoritas. Salah satunya adalah diskriminasi mereka terhadap kelompok minoritas Arab. Berkaca saja pada pelarangan penggunaan hijab dan atribut agama lain yang terjadi di Prancis. Hal tersebut sudah menunjukkan bahwa negara Barat juga bertindak diskriminatif seperti yang mereka sebut kepada negara Islam yang berkenaan dengan kelompok LGBTQ.

Kelompok diskriminatif di negara Barat juga seringkali memandang Islam sebagai teroris. Dalam sebuah penelitian mengungkapkan bahwa terdapat tiga faktor yang bertanggungjawab atas terorisme yaitu, anarki internasional, hegemoni Amerika Serikat penemuan dalam masyarakat Islam, dan sistem kepercayaan Islam yang fundamentalis. (Thayer & Hudson, 2010). Faktor yang pertama adalah politik internasional anarkis. Politik internasional anarkis adalah system politik yang tidak memiliki pemimpin, atau tidak ada pemerintahan berdaulat di dalamnya. Dalam politik ini tidak ada yang berwenang untuk mengadili dan memberikan pro-perlindungan bagi warga negaranya. Kondisi poliyik yang seperti ini, memungkinkan adanya perselisihan dan peperangan di wilayahnya, serta tidak menutup kemungkinan sering terjadi pelanggaran hak asasi manusia. terkait hal tersebut, aksi bunuh diri teroris terjadi karena tidak ada aturan yang mengikat di dalamnya. (Thayer & Hudson, 2010)

Faktor kedua yang bertanggungjawab atas aksi terorisme adalah, hegemoni Amerika Serikat. Sebagai satu-satunya negara adikuasa yang tersisa  di akhir Perang Dingin, Amerika Serikat menjadi pemimpin militer, ekonomi, dan ideologis dunia. (Thayer & Hudson, 2010). Kekuatan Amerika Serikat yang tak tertandingi memungkinkannya menggunakan kekuatan militer dan mendukung rezim sekutu di seluruh dunia - termasuk di dunia Islam, menyebabkan kebencian yang mendalam. Pada tahun 1990, dimana terjadi invasi Irak ke Kuwait menghasilkan Amerika Serikat mendaratkan pasukannya di Arab Saudi dengan tujuan memperluas kehadiran militernya di Teluk Persia. Kejadian tersebut, membuat pasukan teroris Islam membela Tindakan bunuh diri mereka, dengan dalih menghilangkan kehadiran militer AS di dunia Islam, terutama di Arab Saudi sebagai rumah bagi situs agama Islam yang paling penting di dunia. (Thayer & Hudson, 2010). Dari penjelasan tersebut, menjadi bukti bahwa hegemoni barat yang menjadi pengaruh atas terjadinya terorisme. Segala bentuk pelanggaran atas norma, selalu ada campur tangan dari hegemoni barat, salah satunya hegemoni Amerika Serikat yang berkenaan dengan terorisme.(Thayer & Hudson, 2010)

Faktor ketiga yang berpengaruh besar terhadap serangan teror fundamentalis Islam adalah, berpusat pada rezim "murtad" dunia Arab. Untuk melindungi kepentingannya di seluruh dunia, Amerika Serikat telah membentuk jaringan aliansi di Timur Tengah – dari Maroko ke negara-negara syekh Teluk dan dari Turki ke Tanduk Afrika dan Somalia. (Thayer & Hudson, 2010). Teroris fundamentalis Islam memandang aliansi ini sebagai bukti sifat sesat dan munafik dari pemerintah di belakang mereka. Memang, sebagian besar terorisme fundamentalis Islam diarahkan terhadap pemerintah-pemerintah ini dan para pendukungnya, yang oleh para jihadis disebut sebagai "musuh dekat" yang dicerca karena dipandang sebagai murtad yang menolak Islam, memeluk ideologi sekuler, dan bersekutu dengan Amerika Serikat.  (Thayer & Hudson, 2010)

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Ilmu Sosbud Selengkapnya
Lihat Ilmu Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun