Mohon tunggu...
Shinta Nur Awalia
Shinta Nur Awalia Mohon Tunggu... Guru - shinta

SHINTA AWALIA ESSAY

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan

Strategi dan Teknik Bimbingan Pribadi Sosial

3 November 2019   20:49 Diperbarui: 3 November 2019   20:52 539
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Pendidikan. Sumber ilustrasi: PEXELS/McElspeth

Perkawinan adalah ikatan lahir batin antara seorang pria dan seorang wanita sebagai suami istri dengan tujuan membentuk keluarga/rumah tangga
bahgia dan kekal berdasarkan ketuhanan Ynag Maha Esa. Perkawinan bukan hanya sementara, teapi terus menerus antara suami dan istri dalam suatu keluarga atau rumah tangga yang bahagia. Dalam penjelasan pasal 1 Undang-undang No.1 tahun 1974 dikatakan bahwa ikatan lahir batin merupakan hal yang penting darisuatu perkawinan karena tujuan perkawinan bukanlah semata-mata untuk memenuhi hajat hawa nafsu saja, melainkan untuk mewujudkan keluarga bahagia dan dilandasi oleh ketuhanan Yang Maha Esa. [1]
Orang tua mempunyai Tanggung jawab yang besar terhadap perkembangan dan pendidikan anak, rumah tangga yang sehat bersih dan teratur serta diliputi rasa damai aman dan tentram serta rukun antara satu dengan lainnya akan mewujudkan keluarga yang bahagia yang hidup dalam masyarakat dengan melahirkan anak-anak yang terdidik dan mempunyai harapan yang cerrah dimasa yang akan datang. Hubungan yang hermonis antara orang tua dan anak sangat berpengaruh terhadap pertumbuhan dan perkembangan jiwa dan pendidikan si anak, hubungan yang serasi penuh pengertian dan kasih sayang akan membawa kepada pribadi si anak. Mengingat rumah tangga adalah tempat pendidikan yang pertama dikenal oleh anak, maka orang tua harus dapat mengetahui tentang tujuan pendidikan untuk anak-anaknya. [2]
Keluarga adalah unit terkecil dalam struktur masyarakat yang terbentuk dari sebuah pernikahan atau perkawinan. Pernikahan dan perkawinan terbentuk dari ikatan lahir bathin sepasang manusia yang bertujuan menciptakan kehidupan keluarga yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan yang Maha Esa.Pernikahan ini juga menjadi satu satunya jalan yang dilegalkan dalam Undang-Undang untuk memperoleh keturunan (anak).

Anak hadir dalam sebuah keluarga bagaikan kertas kosong. Anak belajar mengenai dirinya, bagaimana berprilaku dan berinteraksi pada lingkungan sekitar melalui keluarga, oleh karena itu keluarga juga disebut sebagai lingkungan yang pertama dan utama bagi seorang anak. Anak mendapatkan pengetahuan mengenai nilai-nilai kehidupan, pembentukan mental, psikologis dan belajar sosial dari kedua orang tuanya. 

Hal ini juga diungkapkanoleh Hurlock yang mengungkapkan bahwa tahun awal kehidupan anak, pendidikan dari orang tua dapat mempengaruhi perilaku dansikap anak. Kehidupan rumah tangga yang harmonis, rukun dan bersahajadiharapkan memberikan dampak positif bagi tumbuh dan kembang sosial dan emosi anak. [3]Namun, rumah tangga dalam keluarga tidak selalu harmonis,terkadang konflik dapat muncul dari sebuah ketidakcocokan, bila berlarut akan berujung kepada perceraian. 

Perceraian adalah salah satu kasus dalam keluarga di Indonesia yang mengalami peningkatan dari tahun ke tahun. Unit Statistik Badan Peradilan Umum dan Peradilan Agama menunjukkan perkara perceraian merupakankelompok perkara terbesar dalam peradilan di Indonesia. 50% perkara perceraian,33 % perkara pidana dan 17% perkara perdata. Menurut Badan Kependudukan dan Keluarga Berencana (2013) Indonesia merupakan Negara dengan tingkat perceraian tertinggi di Asia Tenggara dan Mayoritas keluarga bercerai merupakan mereka yang usia pernikahan di bawah 10 tahun dan telah memilik anak (Anjani&Suryanto 2006). Hal ini mengindikasikan bahwa pasangan yang bercerai memiliki anak yang berada pada tahapan usia dini. [4]
Anak merupakan korban yang paling terluka ketika orang tuanya memutuskan untuk bercerai. Anak dapat merasa ketakutan karena kehilangan
sosok ayah atau ibu mereka, takut kehilangan kasih sayang orang tua yang kini tidak tinggal serumah. Mungkin juga mereka merasa bersalah dan menganggap diri mereka sebagai penyebabnya. Prestasi anak di sekolah akan menurun atau mereka jadi lebih sering untuk menyendiri.

 Kondisi lebih parah bila ekonomi keluarga pun tidak cukup untuk hidup. Permasalahan yang umumnya terjadi pada siswa yang memiliki orangtua yang berceraiadalah perhatian yang diberikan oleh orangtua tidak lengkap dan besar,orangtua menjadi sangat sibuk untuk mencari nafkah dan memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari keluarganya. Pada keluarga single parent, orangtua berperan ganda dalam menjalankan kewajibannya sebagai orangtua. Hal ini dapat menghambat hubungan antara anak dan orangtua. 

Anak dari orang tua yang bercerai cenderung dinilai kurang baik secara sosial, maupun edukasional dibandingkan anak dari orang tua utuh. Kondisi
seperti ini menimbulkan asumsi bahwa siswa yang memiliki orangtua yang bercerai secara psikis kurang baik karena siswa kurang mendapat perhatian serta kasih sayang yang utuh dari kedua orang tua dan mengakibatkan prestasi akademik yang buruk.

Perceraian juga merupakan masalah besar bagi anak terutama anak yang masih usia sekolah dasar, karena pada masa usia ini anak membutuhkan kasih sayang dan perhatian penuh dari kedua orang tuanya. Hal ini juga memberipengaruh terhadap pendidikannya, suasana yang tidak nyaman untuk belajar dengan baik sehingga membawa pengaruh yang negatif terhadap perkembangan anak. Dalam studinya Bumpass dan Rindfuss menyebutkan bahwa anak-anak dari orang tua yang bercerai cenderung mengalami pecapaian tingkat pendidikan dan kondisi ekonomi yang rendah, serta mengalami ketidak stabilan dalam pernikahan mereka. Kesulitan ekonomi umumnya dialami oleh anak-anak yang berada dibawah pengasuh ibu dari kelas menengah ke bawah. [5] Adapun seorang anak yang terkena dampak dari penceraian dari kedua orang tuanya perlu adanya bimbingan pribadi sosial.


Bimbingan pribadi sosial adalah proses bantuan yang diberikan kepada individu yang bertujuan untuk membantu individu tersebut memahami dirinya sendiri, mengetahui bagaimana caranya berinteraksi dengan orang lain dan bersikap dengan mempertimbangkan keberadaan orang lain, memahami etika dan bersikap santun, membina sebuah keluarga serta memahami peran dalam tanggungjawab sosial (Gordon, 2013:13).

Bimbingan pribadi sosial ini dimaksud untuk mencapai tujuan tugas perkembangan pribadi sosial anak dalam mewujudkan pribadi yang mampu menyesuaikan diri dan bersosialisasi dengan lingkungan secara baik (Syaodih,2010:12). [6] 

Bimbingan pribadi sosial merupakan bimbingan untuk membantu anak dalam memecahkan masalah-masalah pribadi sosial.Biasanya pada masa anak-anak yang tergolong dalam masalah pribadi sosial adalah masalah hubungandengan sesama teman, dan guru atau pendamping ditempati belajar, pemahaman sifat dan kemampuan diri, penyesuaian diri dengan lingkungan sekitar dan masyarakat tempat tinggal mereka, dan penyelesaian konflik.
Bimbingan pribadi sosial diarahkan untuk memantapkan kepribadian dan mengembangkan kemampuan anak dalam menangangi masalah-masalah
dirinya.Bimbingan ini merupakan layanan yang mengarah pada pencapaian pribadi yang seimbang dengan memperhatikan keunikan karakteristik pribadi serta ragam permasalahan yang dialami oleh anak. Bimbingan pribadi sosial diberikan dengan cara menciptakan lingkungan yang kondusif, interaksi pendidikan yang akrab, mengembangkan sistem pemahaman diri dan sikap-sikap yang positif, serta keterampilan-keterampilan sosial pribadi yang tepat.


Guru atau pendamping dapat mengembangkan kemampuan pribadi sosialanak dengan cara dapat distimulasi melalui kegiatan bermain. selama bermain anak-anak berinteraksi dengan sebaya dan guru atau pendamping mereka. Stimulasi tersebut dapat terjadi karena pada saat bermain anak-anak melakukan kegiatan sebagai berikut:
a. Mempraktikkan keterampilan berkomunikasi baik verbal maupun non verbal dengan cara mengasosiasikan peran, mencoba memperoleh keuntungan saat bermain atau mengapresiasikan perasaan temannya.
b. Merespon perasaan teman sepermainan di samping menunggu giliran dan berbagai materi serta pengalaman.
c. Bereksperimen dengan peran- peran di rumah, sekolah dan komunitas dengan menjalin kontak dengan kebutuhan dan kehendak orang lain.
d. Mencoba melihat sudut pandang orang lain. Begitu anak bersentuhan dengan konflik tentang ruang, waktu, materi dan aturan, mereka
membangun strategi resolusi konflik secara positif.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun