Dalam kasus ini, salah satu kepentingan Israel melakukan aneksasi daerah tepi barat Paletina. Demikian jika dikaitkan dengan kepentingan nasional Israel, maka kemajuan yang diperoleh dari kerjasama ekonomi berpotensi dampak kebijakan terhadap Palestina. Selain itu, pengakuan terhadap Israel sebagai negara berdaulat berpotensi menjadi masa depan yang baik bagi negara ini.
Komitmen UEA dan Bahrain dalam mencari solusi konflik tersebut juga dispronsori oleh Amerika Serikat. Anggapanya berangkat dari pengaruh UEA dan Bahrain untuk stabilitas kawasan sangat besar dengan membantu Israel menyelesaikan masalah Palestina sebagai sekutu (dikutip dari Al Arabiya). Padahal, sudah sejak akar permasalahan Palestina tahun 1948 adalah konflik politik dimana bangsa Palestina kehilangan tanahnya.
 Lebih jauh, Amerika Serikat juga telah memindahkan ibu kota Israel secara formal ke Yerusalem. Artinya ruang gerak Palestina saat ini semakin sempit dengan dihadapi perubahan-perubahan politik di Timur Tengah. Hal ini juga melahirkan asumsi bahwa Amerika Serikat, selaku fasilititator, memiliki kepentingan untuk mengubah isu utama di kawasan regional, khususnya dengan negara-negara teluk. Tidak sedikit pihak yang beranggapan bahwa Israel dan Amerika Serikat berusaha untuk meminimalisir dan mengubah arah konflik Palestina di Timur Tengah.
Salah satu argument yang kemudian menjadi pendangan lain bagi publik datang dari Saeb Erekat, Sekretaris Jenderal Komite Eksekutif Organisasi Pembebasan Palestina, yang menyerukan bahwa "perjanjian Bahrain, Israel, Amerika Serikat untuk menormalisasi hubungan sekarang merupakan bagian dari paket yang lebih besar di kawasan. Ini bukan tentang perdamaian, bukan tentang hubungan antar negara. Ini adalah aliansi militer yang sedang dibuat di wilayah yang dipimpin oleh Israel (Plitnick, 2020).
Ketegangan politik dengan Iran di kawasan saat ini bukan merupakan hal yang baru. Bahkan, isu ini juga dipandang sebagai intrepetasi kepentingan Amerika Serikat -khususnya Presiden Trump- yang kebijakanya belum terealisasi terhadap Iran. Namun dari sudut Timur Tengah, isu-isu yang menyangkut dengan perbedaan aliran kini tidak lagi hanya Iran sebagai ancaman utamanya, melainkan aktor lain seperti Turki yang permasalahanya semakin kompleks dengan keterkaitan faktor geopolitik.
Ekistensi militer dan ancaman militer dan proxy war mereka di Libya, Yaman, Suriah, dan Irak khususnya dianggap sebagai pemicu perselisihan dan upaya dominasi mereka di kawasan Teluk. Tidak hanya keamanan regional Teluk, lebih luas keterlibatan Turki di Libya dalam mendukung Ikhawanul Muslimin yang menjadi opsisi pemerintah yang didukung oleh Mesir dan UEA diduga akan menjadi konflik baru yang sangat mempengaruhi keamanan di wilayah Timur Tengah.
Perubahan haluan target bagi Israel atas Turki juga tidak terlepas dari kepentingan Turki untuk menguasai Yerussalem. Dari pandangan Turki yang utarakan oleh presidenya saat berpidato di parlemen menyebut Yerussalem adalah "kota yang harus kami tinggalkan dengan air mata selama Perang Dunia Pertama, masih mungkin untuk menemukan jejak perlawanan Ottoman. Jadi, Yerussalem adalah kota kami."
Sehingga, adanya kerjasama baru yang dilakukan beberapa negara teluk juga dianggapnya sebagai sebuah pengkhianatan besar. Faktanya, bagi Turki kerjasama tersebut dapat memberikan lampu hijau untuk Israel bertindak secara permanen terhadap  Palestina.
Adanya kecaman internasional, khususnya dari komunitas yang mendukung perjuangan Palestina tentu akan berdampak pada munculnya aktor-aktor baru di luar kawasan yang membantu peran terhadap akar masalah di kawasan Teluk ini. Stigma perebutan kekuasaan dan pengaruh di kawasan antara aktor yang berpotensi mengindikasikan bahwa Timur Tengah sangat rentan dengan kontestasi dan konflik. Stabilitas keamanan, kepentingan politik, dan ekonomi antar negara menjadi prioritas utama dalam perumusan kebijakan penting. Jika diteliti dalam variabel kawasan Teluk, fokus utama yang menjadi pembahasan tidak akan terlepas dari permasalahan Israel dan Palestina. Artinya, untuk menuju peace deal keamanan kawasan sebagaimana yang dimaksud mungkin masih membutuhkan banyak langkah untuk dicapai.
Di tambah dengan fakta bahwa belum semua negara Teluk membuka peluang positif untuk hubungan diplomatik dengan Israel, seperti Arab Saudi, Oman, Qatar dan Kuwait misalnya, membawa arah politik di kawasan regional menjadi sesuatu yang belum pasti (Ulrichsen, 2020).Â
Fakta bahwa Qatar membangun hubungan Turki dan menjadi ancaman Uni Emirat Arab serta hubungan historis Saudi dan Kuwait yang terus mendukung perjuangan Palestina saat ini masih menjadi persoalan yang belum dapat diprediksi ujugnya.Â