Mohon tunggu...
Shinta Harini
Shinta Harini Mohon Tunggu... Penulis - From outside looking in

Pengajar dan penulis materi pengajaran Bahasa Inggris di LIA. A published author under a pseudonym.

Selanjutnya

Tutup

Healthy Pilihan

Salah Makan Obat, Rasanya seperti Mau Mati!

15 Maret 2022   21:51 Diperbarui: 15 Maret 2022   21:54 531
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Obat-obatan (Sumber: Unsplash)

Berangkat dari pengalaman sendiri, kesalahan ketika makan obat ini bisa terjadi karena salah waktu, salah jenis obat, atau yang lain. Kali pertama saya alami ini adalah karena kebodohan sendiri.

Seperti pada umumnya kaum perempuan yang ingin punya bentuk badan ideal, saya pun demikian. Cuma saya mencari jalan yang "gampang," tanpa olahraga atau menjalankan diet tertentu. Tapi ternyata malah ini yang menyesatkan.

Sekitar lima atau enam tahun lalu, saya menemukan iklan obat diet yang membuat saya tergoda. Katanya jenis obatnya itu disebut green coffee. Menurut ketentuan yang diberikan do botolnya, tablet itu diminum 30 menit sebelum makan.

Mungkin itu salah saya sendiri karena saya minum itu saat masih di tempat kursus lokasi saya mengajar. Memang saya sudah rencana untuk langsung pulang, tapi rupanya saya salah perhitungan tentang waktu perjalanan pulang. Setengah jam rupanya bukan waktu yang lama.

Mungkin waktu sudah mendekati setengah jam dan saya belum juga sampai rumah. Akibat obat itu sudah saya rasakan, jantung berdebar-debar dengan sangat cepat. Kebetulan saya melewati satu minimarket. Saya mampir sebentar untuk beli susu untuk menghilangkan racun.

Sayangnya susu itu tidak membantu. Saya masih tetap berdebar-debar. Saya memutuskan untuk pergi ke klinik 24 jam. Yah, saat itu sudah sekitar jam 10 malam. Klinik biasa sudah tutup biasanya.

Di klinik 24 jam itu dokter tidak banyak membantu. Namun ia memberitahu bahwa asam lambung saya naik dan membuat jantung berdebar. Susu yang saya minum bukannya membuang racun, malah membuat asam lambung semakin bergejolak.

Ia tidak melakukan tindakan apa pun, tetapi saya dianjurkan untuk ke IGD. Takut akan bertambah parah, saya pun lanjut ke IGD. Bayangan saya mungkin rumah sakit bisa mengeluarkan racun-racun itu.

Namun IGD hanya memeriksa EKG untuk memutuskan bahwa jantung saya tidak apa-apa. Selain itu, tidak ada. Saya hanya dianjurkan untuk minum air banyak-banyak untuk mempercepat keluarnya racun.

Pokoknya kacau sekali malam itu. Sudah malam dan orang rumah malah dapat berita saya di IGD. Saya dijemput adik. Rasanya badan ini tidak karu-karuan.

Malam itu saya paksakan makan meskipun hanya sedikit yang bisa masuk perut. Saya terus minum. Saya hampir tidak tidur malam itu. Keringat dingin mengucur. Saya cuma bolak-balik di tempat tidur. Menjelang pagi ada satu titik di mana saya tiba-tiba merasa, ibaratnya kalau ini demam, demam itu pecah dan saya akhirnya bisa tertidur. Ada-ada saja yang saya lakukan ini. Padahal satu minggu itu saya sedang ada workshop atau seminar.

Pengalaman kedua mirip seperti yang pertama. Namun yang kedua ini lebih karena "kesok-tahuan" saya. Saat itu teman seruangan di kantor mengadakan potluck dengan tema dimsum. Tahu saja kan betapa beratnya menu itu denga lemak, kolesterol, dan lain-lain karena isinya udang, udang, dan udang.

Sebenarnya tidak ada apa-apa yang saya rasakan. Tidak pusing, mual, atau yang lain. Namun saya sepertinya termakan omongan teman-teman dan ibu-ibu di kantor yang memperbincangkan kolesterol naik. Begitu sampai rumah saya mencari obat kolesterol di tempat penyimpanan obat dan saya minum satu tablet.

Tidak berapa lama malam itu saya mulai merasakan gejala-gejala seperti di atas, ditambah rasa panas di badan. Seketika itu saya tahu saya sebenarnya tidak perlu obat kolesterol itu. Saya belum pernah memeriksa kadar kolesterol saya tetapi saya tidak pernah merasakan gejala-gejalanya.

Terulang lagi pengalaman tidak bisa tidur semalaman. Tidak ada yang bisa saya lakukan selain ride on it, membiarkan sisa-sisa obat berangsur-angsur menghilang dari tubuh ini.

Untuk kejadian yang ketiga, ini lebih kepada keputusan dokter yang memberikan resep obatnya. Ketika itu adalah saat saya terserang GERD. Ada obat untuk menekan asam lambung yang diminum sebelum waktu makan. Setelah beberapa saat meminum satu jenis obat, dokter memutuskan untuk memberikan obat lain yang lebih keras supaya lebih efektif.

Terbukti memang obat itu lumayan keras---sampai saya kewalahan. Setelah minum obat itu, saya malah merasa seperti terserang GERD lagi. Napas sesak dan jantung berdebar-debar. Ketika saya google keterangan tentang obat itu, di sana dikatakan bahwa things will get worse before they get better. Duh seberapa worse? Apakah saya akan kuat menahannya?

Mungkin saja obat itu memang lebih bagus, tetapi kalau saya harus setengah mati setelah meminumnya, saya lebih memilih obat yang biasa-biasa saja. Akhirnya saya minta resep baru dari dokter untuk kembali ke obat lama.

Pengalaman selanjutnya masih ada hubungannya dengan GERD yang saya idap. Selain obat untuk menekan asam lambung, saya juga minum obat anti mual sebelum makan. Bentuk obat anti mual ini putih kecil, mirip obat hipertensi yang saya biasa minum sesudah makan.

Pada hari itu, sesudah makan saya berniat minum obat untuk hipertensi. Entah bagaimana mengapa yang saya ambil adalah obat anti mual. Dan itu saya sadari satu detik setelah obat itu meluncur masuk tenggorokan.

Kesalahan saat itu adalah tentang waktu atau prosedur minum obat. Saya berharap tidak akan ada akibat apa pun. Namun setelah saya cari keterangan, saya tetap akan merasakan beberapa gejala meskipun tidak terlalu berat. Keringat dingin keluar tetapi tidak lama. Sekitar satu jam saya sudah merasa lebih baik.

Semua pengalaman di atas saya alami beberapa tahun lalu dan saya pikir saya sudah belajar dari itu semua. Eh, ternyata terjadi lagi kemarin ini.

Jadi ceritanya pas pulang kantor saya merasa agak tidak biasa. Sumeng, agak hangat begitu. Di tengah situasi yang masih dilanda pandemi, saya selalu ambil kuda-kuda minum obat yang mengandung paracetamol kalau merasa agak tidak enak. Saat kemarin itu pun demikian.

Anehnya, bukannya merasa lebih baik, saya merasa badan ini jadi panas. Bahkan kipas angin pun tidak terasa anginnya. Kemudian saya pun muntah. Merasa perut tidak enak, saya mengambil sejumput garam. Ini biasa saya lakukan kalau perut terasa begah.

Kemudian berangsur malam itu badan saya terasa lebih enak. Tidak ada rasa mual juga. Saya jadi terpikir, mungkinkah seharusnya saya tidak perlu minum obat paracetamol itu? Mungkin saya memang tidak sakit apa-apa, jadi tindakan minum obat itu malah memasukkan racun ke tubuh.

Lumayan banyak juga ya pengalaman tidak enak dengan drug abuse ini. Saya jadi membayangkan cerita orang yang mau bunuh diri dengan menelan berbutir-butir pil. Salah makan satu saja rasanya sudah tidak karuan, apalagi banyak. Pasti perasaan sudah seperti di neraka!

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Healthy Selengkapnya
Lihat Healthy Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun