Menyambung cerita perjalanan kenangan saya di Irian, sekarang ceritanya kita sudah sampai rumah. Sepanjang jalan ke sana saya perhatikan bagaimana rumah-rumah itu tertata. Jadi karena jalannya yang menanjak cukup curam, rumah tidak langsung berderet di pinggir jalan. Bayangkan daerah Puncak. Satu rumah mempunyai jalan masuk sendiri yang cukup jauh dari pinggir jalan, dan baru mencapai bangunan utama.
Demikian juga di Jayapura. Setiap rumah memiliki jalan masuk sendiri yang panjang, baru deh sampai ke rumahnya. Rumah kami sendiri masuknya mungkin tidak begitu panjang tapi lumayan lebar untuk mobil masuk. Bisa untuk main badminton lah. Nah, kalau rumah depan kita jalan masuknya panjaaang sekali. Jadi kalau di Jakarta ibaratnya kita bisa saling teriak dengan tetangga, ini untuk melihat tetangga depan rumah saja seperti nun jauh di sana. Kelihatannya seperti satu titik besar.
Biasanya setiap jalan masuk ke suatu rumah ada dua rumah untuk dua keluarga. Di belakang rumah kami juga ada satu rumah lagi. Yang tinggal di situ adalah sepasang suami istri dengan adik dan suaminya juga beserta anak-anak mereka. Jadi walaupun tetangga depan atau atas dan bawah rumah cukup jauh, kami tetap tidak kesepian karena ada keluarga lain tinggal di belakang kami.
Jalanan depan rumah kami yang seperti turun gunung itu di kedua ujungnya ada bangunan gereja. Pada saat itu di ujung jalan atas adalah Gereja Paulus, sedang ujung bawah adalah Gereja Rehobot. Pada hari Minggu akan terdengar lonceng dari kedua gereja memanggil-manggil umatnya.
Saya yang terbiasa dengan keberadaan masjid ketika di Jakarta, merasa hal ini adalah pengalaman yang baru dan menarik. Di Irian mayoritas adalah agama Nasrani, yaitu Kristen Protestan. Sedangkan untuk gereja agama Kristen Katholik yaitu Gereja Kathedral, tinggal ambil jalan kecil atau gang di bawah rumah kami, lurus terus, dan kita akan sampai di Kathedral di ujungnya.
Oh ya, dari Gereja Rehobot kalau kita turun terus kemudian belok kiri, kita akan sampai ke satu toko roti yang namanya Toko Roti Prima. Favorit saya adalah roti manis dengan remah-remah yang terbuat dari telur di atasnya.
Kami juga diberitahu bahwa rumah seberang yang ada di sebelah atas adalah Susteran dan mereka beternak ayam. Kita bisa membeli telur di sana dan kalau beruntung bisa dapat telur dengan dua kuning telur di dalamnya.
Berjarak beberapa rumah dari rumah kami ada yang berjualan pecel. Namanya Pecel Bu Wono. Di sana juga dijual serundeng dengan daging yang besar-besar. Saya paling senang mengunyah-ngunyah dagingnya yang sangat tasty itu.
Sekarang tentang rumah yang kami tinggali. Rumah ini jelas sekali merupakan peninggalan jaman Belanda. Temboknya terbuat dari batako besar-besar berwarna off-white dan pintunya yang merupakan pintu kaca double panel sangat membuat saya tertarik.
Dan dari jendela samping kami bisa langsung melihat laut.
Rumahnya sendiri tidak besar. Satu lantai dengan tiga kamar tidur, ruang tamu yang menyambung ke ruang makan, dapur, dan kamar mandi. Yang lumayan besar justru tambahan di belakang, satu ruang multi-guna, kamar mandi, dan kamar tidur kecil.
Ruangan tambahan itu biasa saja karena dibuatnya mungkin hanya beberapa tahun sebelumnya. Namun di rumah utama, ada beberapa hal yang saya belum pernah lihat sebelumnya, misalnya lemari makan yang tembus dari dapur ke ruang makan.Â
Jadi lemari itu punya dua pintu, satu membuka ke arah dapur untuk orang memasukkan masakan yang siap disajikan, dan satu pintu lagi membuka ke arah ruang makan untuk orang mengambil masakan yang sudah dimasukkan dari dapur tadi. Unik sekali ya. Jadi kita tidak perlu repot-repot membawa masakan-masakan itu dari dapur ke ruang makan.
Satu lagi adalah berupa tingkap yang membuka juga dari dapur ke meja sempit memanjang yang menempel di dinding ruang makan. Bisa untuk orang yang ada di dapur untuk menghidangkan makanan langsung dan tidak untuk dimasukkan ke lemari. Sayang ketika kami di sana tingkap sudah ditutup permanen, tidak bisa dibuka lagi.
Oya ada lagi yang menarik, kali ini di halaman. Ada sebuah mata air yang sudah dibuat sumur. Letaknya di pinggir halaman. Saya kira garasi terbuka yang ada di sana dibuat dekat sumur mata air tersebut biar kalau mencuci mobil tidak perlu repot-repot lagi mencari sumber air. Dan tidak perlu dibuat keran untuk air PAM Â karena sudah ada mata air alami.
By the way, daerah tempat kita tinggal namanya Dok 5 Atas. Ada pula Dok 5 Bawah, lalu Dok 2 tempat gubernuran yang benar-benar di pinggir pantai. Juga ada Dok 9 yang letaknya dekat Kota (untuk Kota aku cerita di bagian lain ya). Kurang jelas buat saya kenapa namanya menggunakan kata Dok. Mungkin karena Jayapura dikenal sebagai kota pelabuhan.
Ada juga yang tidak menggunakan kata Dok, yaitu yang sudah lebih jauh ke atas pegunungan. Daerahnya bernama Angkasa. Masuk akal juga sih karena mereka yang terdekat dengan langit. Hehe. Saya ingat seorang teman tinggalnya di jalan yang namanya Lembah Sunyi. Kesannya sangat indah ya. Sunyi, sepi, damai, dan tenang. Di daerah Angkasa ini suhunya jauh lebih sejuk dari tempat tinggal kami. Di sana sudah tumbuh pohon-pohon cemara.
Yah sepertinya tidak selesai-selesai kalau membicarakan rumah Jayapura. Bisa terus-terusan ngomong tentang box di luar di bawah jendela tempat kita menanam bunga-bunga, sejengkal tanah di sebelah rumah yang menanjak di mana ada pohon jambu dan kersen, pohon-pohon tua raksasa di jalan masuk rumah (rumah kami tidak ada pagarnya), di mana salah satunya tumbang ketika ada hujan yang sangat deras. Semua masih ada di ingatan. Tidak akan terlupakan.
Tapi kita potong dulu di sini ya. Nanti disambung lagi mungkin dengan cerita tentang sekolah saya yang tercinta. Cheers!
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H