Mohon tunggu...
Shinta Harini
Shinta Harini Mohon Tunggu... Penulis - From outside looking in

Pengajar dan penulis materi pengajaran Bahasa Inggris di LIA. A published author under a pseudonym.

Selanjutnya

Tutup

Fiksiana

Anugerah, Bukan Kutukan - Part 2

22 Agustus 2021   15:11 Diperbarui: 29 Agustus 2021   16:53 378
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Anugerah, Bukan Kutukan - Part 2 (Sumber: Pixabay)

Bagian sebelumnya

Part 2

Untuk beberapa saat tidak satu pun dari mereka yang membuka suara. Ari mulai merasa jengah. Ia sudah terlalu lama berdiri di sini dalam keadaan setengah telanjang. Seorang gadis tiba-tiba berdiri di depan pintu sungguh tidak membantunya. Ia menunjuk ke dalam rumah dan ke dirinya sendiri sambil menggumamkan sesuatu. Gadis itu menggelengkan kepala. 

"Tunggu sebentar," kata Ari dan ia hempaskan pintu tepat di wajahnya. Ari sadar tindakannya kasar dan tak tahu aturan tapi -- tak pedulilah. Ia bergegas kembali ke kamarnya, melempar handuknya begitu saja dan mengenakan jeans dan kaos yang terdekat yang dapat ia raih. Ia segera kembali ke pintu depan. Semoga gadis itu belum kabur.

Ari membuka pintu dan diam-diam ia menghela napas lega. Gadis itu masih di tempat yang sama dan ia masih secantik yang Ari ingat. Matanya tampak selalu tersenyum di wajah yang terbingkai dengan gumpalan rambut keriting yang tampak selembut kapas. Ari menahan diri untuk tidak begitu saja menjulurkan tangan dan menjalin jari-jarinya di antara gumpalan lembut itu.

"Baik. Maaf sudah saya tinggal tadi. Ada yang bisa saya bantu, umm..."

"Saya Molly." Gadis itu menjabat tangan Ari tanpa ragu-ragu. Tangannya yang kecil dengan jari-jemari langsing serasa terbenam di genggaman tangan Ari yang besar dan kuat. Ari menganggukkan kepalanya, matanya melirik sekilas ke barang bawaan Molly, ke kopor dan tas punggungnya, dan tiba-tiba kilasan kejadian-kejadian berlalu cepat di matanya. Ari menggelengkan kepala dan memejamkan mata untuk kemudian cepat-cepat membukanya ketika terdengar teriakan, "Aduh!" dari Molly.

Ari menunduk dan ia baru sadar bahwa ia telah meremas tangan Molly terlalu kuat ketika kilasan itu datang. "Maaf," katanya sambil tersenyum malu dan melepas tangan Molly.

***

"Tak apa," kata Molly perlahan, senyumnya membalas senyum laki-laki ini yang belum juga menyebutkan namanya. Molly diam-diam memijat tangannya yang lumayan sakit juga. Apa yang terjadi tadi? Molly tidak keberatan diremas tangannya tapi tidak begitu caranya.

"Anda mencari seseorang?" tanya laki-laki itu tiba-tiba.

Molly teringat lagi dengan apa yang membawanya ke rumah ini setelah perhatiannya teralih sebentar tadi. Mencari seseorang? Sama sekali tidak. Mungkin bertemu dengan tukang kebun atau seseorang yang bantu-bantu membersihkan rumah, tapi tidak seorang laki-laki yang hanya mengenakan handuk di pinggang dan bertingkah laku seolah-olah ia pemilik rumah ini. Rumah yang merupakan hak Molly sepenuhnya.

"Aku sama sekali tidak mengharapkan akan ada orang di rumahku sendiri." Suara Molly mantap dan tegap, sangat kontras dengan perasaannya saat itu dan hatinya yang berdetak kencang, dan perasaan bencinya yang muncul mendadak melihat kerutan di dahi laki-laki ini. Seharusnya ia jangan pernah mengerutkan dahi. Itu tidak cocok dengan wajahnya yang kadang seperti anak kecil.

***

Perlahan ia tidak mengerutkan dahinya lagi, tapi Ari tetap merasa ada yang salah di antara kata-kata yang keluar dari bibir tipis Molly.

"Rumah anda? Apa maksudnya itu?"

"Boleh saya tahu anda ini siapa?" potong Molly. "Dan apa yang anda lakukan di rumah ini?"

Darah Ari naik ke kepala. Terpikirkan olehnya apa yang baru saja ia lihat ketika bersalaman dengan Molly tetapi ia terlalu marah untuk menyinggung hal itu.

"Namaku Ari. Ari Pongtiku. Dan ini rumahku." Setidaknya begitu menurut perkiraannya setelah Pak Yudi yang sudah ia anggap sebagai ayah sendiri meninggal dunia.

***

"Tidak mungkin," kata Molly tandas. "Menurut surat wasiat yang saya terima, sayalah satu-satunya pemilik rumah in." Molly menatap laki-laki itu lekat-lekat. Jadi namanya Ari. Tapi Pongtiku? Dari daerah mana itu tepatnya? 

Kulit Ari yang terang dan raut wajahnya yang tirus membuat Molly berpikir ia pasti punya darah campuran. Molly sendiri mendapat darah Jawa dari ayahnnya dan Sumatra dari ibunya, dan kalau memang benar Bapak Yudi adalah keluarga dari pihak ibu, ia pasti juga berasal dari Sumatra. Molly memijit kepalanya yang tiba-tiba berdenyut-denyut.

"Pongtiku? Nama apa itu?"

"Apa?"

"Itu nama keluarga dari Sumatra Utara?"

Ari tampak marah ketika ia menjawab. "Bukan. Tahukah kau, itu nama Toraja. Kedua orang tuaku berasal dari sana."

"Nah!" Molly hampir terloncat. "Kalau begitu kau bohong. Kau bukan anak Pak Yudi dan rumah ini bukan rumahmu."

Ari terdiam, wajahnya berubah pucat. "Kau tidak mengerti," katanya pelan.

"Aku tidak peduli. Apa perlu aku telepon pengacara Pak Yudi?" Molly mengira Ari akan menyangkal dan mencegahnya untuk menelepon tetapi ia malah mengangguk, mengiyakan.

"Mungkin itu yang terbaik. Silakan."

Molly tercengang selama beberapa saat.

"Kau bilang kau ingin menelepon." Ari menyeringai tipis.

"Memang," sergah Molly. "Tapi tak bisakah kau ijinkan aku masuk? Lihat barang bawaanku. Kalau ada orang lihat nanti dikira aku sedang meminta-minta ingin kerja di sini padahal ini rumahku sendiri."

Ari tidak mengatakan apa-apa hanya membuka pintu lebih lebar dan menyilakan Molly untuk masuk. Ia sendiri melangkah keluar untuk mengambil kopor Molly. Molly menatapnya dengan rasa terima kasih ketika ia masuk sambil menarik kopor besar itu.

"Tak mengapa," kata Ari. "Maaf tidak mempersilakan masuk dari tadi. Bagaimana, sudah kau telepon?"

"Ya. Ia akan datang tiga puluh menit lagi."

"Bagus," kata Ari. "Yah, kita bisa duduk sambil saling mengenal satu sama lain."

***

Ari menggaruk kepalanya, tiba-tiba merasa salah tingkah. "Kau ingin minum apa? Silakan duduk di mana saja kau mau. Ini kan rumahmu."

Molly menatapnya tajam. "Tidak perlu jadi sinis begitu."

"Eh, jangan salah paham. Aku hanya menyatakan fakta kan, kalau memang kata-katamu benar."

Molly kemudian melakukan apa yang Ari kira tak akan dilakukan gadis secantik itu. Ia mendengus.

"Kita lihat nanti siapa yang benar dan siapa yang salah, OK?" kata Molly. Ia memandang ke sekitar ruang tamu. Ari ingin tahu apa yang ia tangkap di matanya. Ia sendiri selalu bekerja keras untuk membuat rumah ini selalu rapi dan pantas untuk seorang kepala polisi seperti Pak Yudi walau sejak awal rumah itu sudah lebih dari mewah. 

Ruang tamu ini sendiri dilengkapi dua set sofa dan kursi tamu, satu rak kaca dengan pernak-pernik souvenir yang Pak Yudi terima dari banyak daerah, dan sebuah lemari yang sarat dengan buku-buku tentang kriminal, hukum, dan psikologi. Yang terakhir ini terutama lebih untuk kepentingan Ari. Pak Yudi gemar menghadiahi buku untuk orang-orang terdekatnya dan Ari tentu saja termasuk kelompok itu. 

Ari memastikan bahwa ia selalu berterima kasih atas apa yang ia terima dan membalasnya dengan mengurus segala keperluan rumah tangga Pak Yudi setelah istrinya meninggal dunia. Apalagi karena setelah itu Pak Yudi sudah tidak pernah peduli lagi dengan urusan apa pun di rumah. Hidupnya hanya berisi kerja, kerja, dan kerja.

"Berapa orang pembantu kau pekerjakan untuk mengurus rumah sebesar ini?" Suara Molly memecah keheningan.

"Tidak satu pun." Ari menggeretakkan giginya. Molly pikir ia tidak mampu mengurus semua ini?

Gadis itu memandanginya dari ujung kepala sampai ujung kaki. Ari berdiri dengan salah tingkah. "Kenapa?" tanyanya.

Molly memiringkan kepalanya. "Apa yang kau lakukan di rumah ini? Siapa dirimu sebenarnya?"

***

Bersambung

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Fiksiana Selengkapnya
Lihat Fiksiana Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun