"Bapak Yudi Huda. Nona Puspita bisa baca di awal surat ini."
"Panggil saya Molly," Molly menggumam sambil menunduk memperhatikan surat yang sekali lagi disodorkan padanya. "Aku tidak tahu seorang pun yang bernama Yudi Huda."
"Tapi beliau mengenal anda, Nona Molly. Kami sudah mewakilinya selama bertahun-tahun dan kami juga sudah  memeriksa data-data lengkap anda. Molly Puspita. Anda benar orangnya dan Bapak Yudi adalah paman anda dari pihak ibu."
Membayangkan ada pihak yang menyelidiki tanpa sepengetahuan dirinya membuat Molly sedikit bergidik. Ingatan Molly melayang pada situasi yang hampir sama saat eyang yang mengasuhnya sejak kecil meninggal dunia.Â
Keenam anak eyang, paman dan tante Molly, hadir pada pembacaan surat wasiat dan Molly hanya memandang kosong ketika keenam orang itu beserta suami dan istri mereka sibuk menggumam, menggerutu, bahkan mengumpat ketika surat itu selesai dibacakan. Molly tidak habis pikir.Â
Mereka semua mendapat bagian yang sama setelah rumah peninggalan eyang nantinya telah laku terjual. Yang mereka harus lakukan hanyalah menunggu sampai saat itu tiba, dan mereka tidak puas juga. Molly sendiri tidak mendapatkan banyak yaitu uang sebesar dua setengah juta rupiah yang diperkirakan merupakan sepuluh kali lipat uang sakunya dalam sebulan.Â
Eyang masih selalu memberinya sampai saat terakhir walau Molly sudah lama lulus sekolah. Uang itu sudah berubah bentuk menjadi sepotong emas dan Molly masih menyimpannya sampai sekarang.
Dan dari semua paman yang Molly kenal, tidak ada satu pun yang bernama Yudi Huda dan setahunya tidak mungkin seorang dari mereka bahkan berniat mewariskan sebuah rumah untuknya. Sang pengacara tersenyum ketika Molly mengalihkan perhatian padanya.
"Bapak Yudi mungkin bukan paman dekat anda. Tetapi kenyataannya sekarang ia telah meninggalkan rumahnya kepada anda."
"Kenapa?" tanya Molly. "Tidakkah ia mempunyai pewaris langsung? Bagaimana dengan Tante Yudi?"
Pengacara itu tersenyum lagi, ada sedikit kesedihan tersirat di sana kali ini.