Mohon tunggu...
Shinta Harini
Shinta Harini Mohon Tunggu... Penulis - From outside looking in

Pengajar dan penulis materi pengajaran Bahasa Inggris di LIA. A published author under a pseudonym.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Lima Puluh Satu Alasan

25 Juli 2021   10:00 Diperbarui: 8 Agustus 2021   05:32 226
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

“Oh Tuhan,  aku rindu padanya.  Aku sangat rindu padanya!”

Dari balik telapak tangannya yang menutupi wajahnya erat-erat, terdengar sedu sedan. Tak ada gunanya, pikirnya pahit, penuh keputusasaan. Betapapun kerasnya ia memohon, Tuhan tetap tak akan berubah pendirian. Sebetulnya ia mengerti bahwa Tuhan sudah punya rencana mendetil untuk seluruh jagat raya. Tak akan ada perubahan hanya karena seorang malaikat kecil seperti dirinya didera rasa rindu yang sangat dan berharap bahwa orang yang dirindukannya segera ditarik ke surga untuk mengobati rindu itu. Apalagi ia tahu pasti bahwa hari ini menurut waktu Bumi adalah hari ulang tahun orang yang sangat ia cintai tersebut.

Terdengar tangis tertahan yang kemudian diikuti oleh isakan-isakan kecil dan helaan nafas ketika malaikat kecil itu mulai bisa menguasai dirinya. Dilepaskannya tangannya yang basah bersimbah air mata dari wajah mungilnya yang muram. Diletakkannya kedua belah tangannya di atas meja. Dilihatnya sekeliling, ia bahkan merasa jauh lebih kesepian dan menderita. Tuhan, bagaimanapun, telah menjawab permohonannya dan membuatnya berpikir mengapa ada orang yang harus tetap tinggal di dunia. Tapi ia tak hanya harus berpikir. Tuhan juga menyuruhnya menuliskan alasan-alasan di balik hal itu.  

“Mungkin kau tak bisa mengerti alasan-Ku yang sesungguhnya,” jelas Tuhan, membantunya mengerti keadaan. “Atau mungkin,  kau tak akan pernah tahu apa alasan-alasan itu karena semuanya adalah rahasia jagat raya. Tapi luangkanlah waktu untuk memikirkannya. Cobalah bayangkan apa yang sekiranya akan kaulakukan – seandainya kau ada di posisi-Ku.”

Malaikat kecil itu berdiri terpaku kebingungan dengan mata nanar. Lalu tiba-tiba ia menjatuhkan diri, berlutut dan membungkuk dalam-dalam.    

“Ampuni aku, Tuhan. Aku tak akan berani, Tuhanku. Tak mungkin aku akan berani membayangkan berada di posisi-Mu.”

Tapi Tuhan hanya menyunggingkan senyum kecil. Penuh pengertian.

“Tentu tidak. Tapi bagaimana lagi caranya Aku bisa membuatmu mengerti akan hal ini? Aku tahu kau sangat menyayangi ibumu. Aku tahu kau harus ‘terbang’ jauh dari sisinya dan meninggalkannya di saat kau masih sangat kecil...”  

"Tiga tahun," sela Hannah dalam bisik yang pilu.

“Ya, tentu aku ingat. Waktu itu kau baru tiga tahun,” balas Tuhan.

Hannah merasakan rahangnya menegang, lalu lemas dan seolah akan lepas. Ia memandang ke atas sejenak, lalu ditundukkannya kepalanya lagi. “Ampuni aku yang telah memotong pembicaraan-Mu.”

Tapi Tuhan tidak menganggap hal itu sebagai masalah. Dilanjutkannya sabda-Nya, “Dan dengan berjalannya waktu,  Aku sangat mengerti kau begitu merindukan kehadirannya. Karena meski kau bisa melihatnya dari atas sini, tentu sangat tidak sama rasanya dengan apabila ia ada di sisimu, di surga ini, merengkuhmu dalam pelukannya setiap malam sebelum kau terlelap. Aku mengerti.”

Hannah merasa seakan-akan tulang-belulangnya meleleh. Kedua kakinya yang sedang berlutut rasanya tak mampu lagi menyangga tubuh mungilnya. Semua perasaan yang selama ini berkecamuk di hatinya berdesakan dan akhirnya tumpah,  mengalir melalui tetes-tetes air mata yang tidak terbendung lagi, membanjiri kedua pipinya,   membasahi gaun putihnya yang manis. Gaun malaikat mungilnya. Tapi untunglah, sayap-sayap kecilnya diletakkan Tuhan dipunggungnya sehingga tidak ikut menjadi kuyup. Alangkah repotnya Hannah bila  sayap-sayap itu basah.

Alasan-alasan.

Tuhan mau ia tuliskan semua alasan mengapa ibunya yang tercinta masih tertinggal di bawah sana, menjalani hidupnya di dunia, sementara ia di sini. Kesepian. Hannah harus dapat menuliskan setidaknya empat puluh satu alasan, sama jumlahnya dengan banyaknya tahun yang telah dijalani ibu di dunia. Setelah itu barangkali, akan lebih mudah bagi Hannah untuk mencerna keputusan Tuhan atas hidup ibunya, sehingga ia tak akan terlalu berduka lagi.

Pembicaraannya dengan Tuhan-lah yang membuatnya ada di sini sekarang, sendirian di sebuah bangunan  megah di surga. Sebuah gedung perpustakaan yang indah dengan ribuan rak tempat menyimpan buku-buku tentang kehidupan manusia. Pilar-pilar tinggi yang berukir megah, kokoh menyanggah bangunan itu. 

Deretan meja-meja dan kursi-kursi yang dipahat indah berjajar rata di sepanjang ruangan, tampak akrab dengan tubuh-tubuh halus para malaikat. Dari waktu ke waktu, para malaikat sering berkumpul di sini, mengisi buku-buku dengan goresan pena mereka atau hanya sekedar berkunjung untuk kepentingan pribadi.

Tapi malam ini tidak ada satu malaikatpun di sini. Kecuali Hannah. Sendiri dalam sunyi, ia menghadapi meja-meja dan kursi-kursi kosong yang seolah memanggil-manggil namanya, rindu untuk dihampiri. Seperti halnya hati Hannah – yang rindu, haus akan kasih sayang ibu.

Kasih sayang.

Cinta.

Hannah terduduk tegak di kursinya, matanya berbinar penuh semangat, ide-ide berjejalan di benaknya. Tentu saja. Yang harus ditulisnya adalah tentang cinta, cinta, cinta, dan dia yakin dia bisa menemukan aneka alasan yang tak terbatas jumlahnya. Dibentangkannya sehelai kulit kambing yang masih tergulung rapi. Diraihnya pena bulu dari sandarannyanya di atas meja, dicelupkannya ke dalam tinta, dan mulai menulisi kulit kambing yang terbentang lurus. Dimulai dengan –

51 Alasan Mengapa Ibu Harus Tetap Tinggal di Bumi

Hannah menarik napas panjang dan mulai menulis.

Dia mencintai diriku.

Dia menjagaku agar tetap aman dalam kandungannya selama sembilan bulan.

Dia melahirkanku sehingga aku bisa melihat indahnya dunia.

Hannah berhenti sesaat, matanya menerawang. Bila dia merelakanku keluar dari kandungannya, pikir Hannah, itu artinya... Matanya kembali menatap hamparan kulit kambing di hadapannya dan kembali menggoreskan penanya.

Dia tidak egois.

Dengan senyum puas, Hannah melanjutkan tulisannya.

Dia merawat dan mengasuhku.

Dia terjaga dan menahan kantuk setiap malam demi aku.

Dia memberiku makan dan minum.

Dia selalu mengganti pakaian kotorku dengan pakaian  yang bersih dan wangi.

Dia memandikanku.

Dia bermain dan bercanda denganku.

Tanpa disadari, butir-butir air mata meluncur di pipi Hannah. Kenangan-kenangan itu terlalu kental. Terlalu nyata. Rasa sakit karena rindu yang tak tertahankan menusuk jiwanya dalam-dalam. Hatinya meronta. Tapi dia harus terus. Hanya ada satu hal yang dapat meredakan luka dan perih itu. Terus menulis.  

Dia selalu tersenyum padaku, lanjut Hannah.

Dia membuatku tertawa dan mengoceh gembira.

Dia memberiku kehangatan dalam buaiannya.

Dia mengelus rambutku dengan lembut sampai aku jatuh tertidur.

Hannah menarik napas dalam-dalam. Dia kembali menjelajahi saat-saat dalam hidupnya yang paling dirindukannya. Yaitu menit-menit menjelang tidur.

Dia menyanyikan lagu-lagu pengantar tidur untukku.

Dia membacakanku dongeng-dongeng.

Dia meletakkanku di pangkuannya dan memainkan lagu-lagu lembut di pianonya untukku.

Hannah memejamkan kedua matanya, membayangkan ibunya yang halus tapi periang. Ibu selalu lemah lembut tapi enerjik.

Dia memegangiku erat-erat ketika kami berenang bersama.

Dia mendudukkanku di bangku panjang dekat lapangan tenis ketika dia sedang bermain.

Dari bangku panjang di bawah pohon rindang itu, Hannah tahu mata Ibu selalu menatap lekat padanya, sehingga beliau tidak mampu memusatkan perhatian pada permainan tenisnya. Malaikat mungil itu tertawa kecil mengingat betapa lucu ekspresi wajah Ibu yang dilanda khawatir ketika bola-bola berwarna cerah itu melambung-lambung ke arah putri mungilnya yang tercinta. Hingga lawan main Ibu hilang kesabarannya, marah-marah, menghentikan permainan dan melempar semua bola dengan geram.  

Dia selalu menjagaku agar tetap aman.

Dia selalu mengkhawatirkanku bahkan ketika aku hanya sakit sedikit saja.

Dia lari mendatangi dokter ketika suhu tubuhku naik.

Dia tersenyum lega ketika dokter berkata tidak ada yang serius dengan penyakitku.

Tangan-tangan mungil Hannah sedikit gemetar. Oh, sekarang tibalah dia ke bagian yang tersulit. Dia sungguh ingin menghindarinya tapi bagian ini adalah juga bagian dari kenangannya bersama Ibu.

Dia mengayun tubuhku dalam gendongannya.

Dia tak pernah sedetikpun membiarkanku hilang dari pandangannya.

Dia memanggil namaku berulang-ulang, berharap sesuatu terjadi dan aku dapat membuka mataku kembali untuk kemudian menatap matanya.

Oh, Tuhanku! Malaikat kecil itu tak kuasa melanjutkan. Dia tak bisa terus. Tidak, dia tak sanggup! Dia masih dapat merasakan hangatnya air mata ibunya yang membasahi kedua lengan kecilnya yang sudah tak bernyawa lagi.

Dan Ibu – Ibu meledak dalam kepiluan yang menusuk hati. Dia menghujaniku dengan ciuman yang tak henti-henti. Di kedua pipiku, di dahiku, di bibirku, di rambutku, di tubuhku, di kedua lenganku, kedua tanganku, kedua kakiku, jari-jari kakiku. (Tapi selama itu sekujur tubuhku bergeming, tak bergerak. Mati)

Oh, Ibu! Hannah tenggelam dalam tangis yang pahit. Dihampaskannya pena bulu di tangannya. Pena sialan yang diciptakan Tuhan baginya untuk menggoreskan semua ini – semua luka hatinya. 

Dia tak kuasa lagi menulisi kulit kambing itu dengan semua kenangan tentang bagaimana Ibu diam terpaku sesudah semua air matanya tumpah. Dia tak mampu menuliskan bagaimana menderitanya Ibu menjelang kematiannya, ketika ajalnya tiba dan sesudah pemakaman dirinya. Dia tak sanggup...

Dia tak bisa menulis apapun dengan kedua tangan menutupi wajah dan wajah bersimbah air mata. Hatinya terseret oleh arus duka yang dahsyat tiada tara. Tetapi sedikit demi sedikit pikirannya mengingatkan hatinya akan Tuhan. Dan ia mulai berdoa. Berdoa untuk kedamaian dan kekuatan dirinya. Bertahun-tahun dia memperhatikan ibunya dan dia tercengang menyaksikan ketabahan ibunya menerima takdir dan melanjutkan hidup.

Dia menziarahi makamku dan berdoa untukku.

Dia membawakanku mawar merah.

Lalu dia pulang ke rumah dan kehadirannya menebarkan kegembiraan.

Dia menjaga Ayah, kakak-kakak dan adik-adikku.

Dia pergi ke kantor dan kehadirannya menebarkan kegembiraan.

Dia menjaga rekan-rekannya, anak-anak buahnya, teman-temannya.

Dia membutuhkan orang-orang di sekelilingnya untuk membantunya menjalani hidup dan diapun dibutuhkan oleh orang-orang di sekelilingnya untuk menjalani hidup mereka.

Hannah hampir tak percaya dia sungguh-sungguh sudah mulai melanjutkan tulisannya lagi dan akhirnya membaca kembali hal-hal terakhir yang digoreskannya ke atas lembar kulit kambing, ia mulai mengerti. Akhirnya benak dan hatinya  mau memahami.

Tuhan selalu benar dalam setiap keputusan yang diambil-Nya.

19 Maret 2004

Thank you, Ratih Soe.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun