Hannah memejamkan kedua matanya, membayangkan ibunya yang halus tapi periang. Ibu selalu lemah lembut tapi enerjik.
Dia memegangiku erat-erat ketika kami berenang bersama.
Dia mendudukkanku di bangku panjang dekat lapangan tenis ketika dia sedang bermain.
Dari bangku panjang di bawah pohon rindang itu, Hannah tahu mata Ibu selalu menatap lekat padanya, sehingga beliau tidak mampu memusatkan perhatian pada permainan tenisnya. Malaikat mungil itu tertawa kecil mengingat betapa lucu ekspresi wajah Ibu yang dilanda khawatir ketika bola-bola berwarna cerah itu melambung-lambung ke arah putri mungilnya yang tercinta. Hingga lawan main Ibu hilang kesabarannya, marah-marah, menghentikan permainan dan melempar semua bola dengan geram. Â
Dia selalu menjagaku agar tetap aman.
Dia selalu mengkhawatirkanku bahkan ketika aku hanya sakit sedikit saja.
Dia lari mendatangi dokter ketika suhu tubuhku naik.
Dia tersenyum lega ketika dokter berkata tidak ada yang serius dengan penyakitku.
Tangan-tangan mungil Hannah sedikit gemetar. Oh, sekarang tibalah dia ke bagian yang tersulit. Dia sungguh ingin menghindarinya tapi bagian ini adalah juga bagian dari kenangannya bersama Ibu.
Dia mengayun tubuhku dalam gendongannya.
Dia tak pernah sedetikpun membiarkanku hilang dari pandangannya.
Dia memanggil namaku berulang-ulang, berharap sesuatu terjadi dan aku dapat membuka mataku kembali untuk kemudian menatap matanya.
Oh, Tuhanku! Malaikat kecil itu tak kuasa melanjutkan. Dia tak bisa terus. Tidak, dia tak sanggup! Dia masih dapat merasakan hangatnya air mata ibunya yang membasahi kedua lengan kecilnya yang sudah tak bernyawa lagi.