Dan Ibu – Ibu meledak dalam kepiluan yang menusuk hati. Dia menghujaniku dengan ciuman yang tak henti-henti. Di kedua pipiku, di dahiku, di bibirku, di rambutku, di tubuhku, di kedua lenganku, kedua tanganku, kedua kakiku, jari-jari kakiku. (Tapi selama itu sekujur tubuhku bergeming, tak bergerak. Mati)
Oh, Ibu! Hannah tenggelam dalam tangis yang pahit. Dihampaskannya pena bulu di tangannya. Pena sialan yang diciptakan Tuhan baginya untuk menggoreskan semua ini – semua luka hatinya.Â
Dia tak kuasa lagi menulisi kulit kambing itu dengan semua kenangan tentang bagaimana Ibu diam terpaku sesudah semua air matanya tumpah. Dia tak mampu menuliskan bagaimana menderitanya Ibu menjelang kematiannya, ketika ajalnya tiba dan sesudah pemakaman dirinya. Dia tak sanggup...
Dia tak bisa menulis apapun dengan kedua tangan menutupi wajah dan wajah bersimbah air mata. Hatinya terseret oleh arus duka yang dahsyat tiada tara. Tetapi sedikit demi sedikit pikirannya mengingatkan hatinya akan Tuhan. Dan ia mulai berdoa. Berdoa untuk kedamaian dan kekuatan dirinya. Bertahun-tahun dia memperhatikan ibunya dan dia tercengang menyaksikan ketabahan ibunya menerima takdir dan melanjutkan hidup.
Dia menziarahi makamku dan berdoa untukku.
Dia membawakanku mawar merah.
Lalu dia pulang ke rumah dan kehadirannya menebarkan kegembiraan.
Dia menjaga Ayah, kakak-kakak dan adik-adikku.
Dia pergi ke kantor dan kehadirannya menebarkan kegembiraan.
Dia menjaga rekan-rekannya, anak-anak buahnya, teman-temannya.
Dia membutuhkan orang-orang di sekelilingnya untuk membantunya menjalani hidup dan diapun dibutuhkan oleh orang-orang di sekelilingnya untuk menjalani hidup mereka.