Riuh-rendah bising kendaraan sepagi ini sudah luar biasa memekakkan telinga. Sukses membuat saya teringat suasana Jakarta. Padahal tempat ini amat-sangat jauh dari kota metropolitan itu. Siapa sangka saat ini saya justru berada di ujung timur negeri. Tempat dimana masih banyak orang menyangkanya adalah sebuah hutan belantara-tak terjamah tangan manusia. Welcome to Jayapura, the capital city of Papua.
Hey, wait... Sesungguhnya Jayapura tidak semengerikan itu. Tempat ini memang berada di ujung paling timur negeri. Tapi siapa sangka Jayapura merupakan sebuah kota yang lumayan maju, loh-meskipun memang tetap tidak bisa disamaratakan dengan wilayah Papua yang lain.Â
Bahkan, beberapa orang  beranggapan bahwa Jayapura lebih maju dibandingkan ibukota salah satu provinsi di Pulau Sulawesi, sebut saja K*****i. Saya bilang maju, tetapi saya tidak berbicara perihal PDRB, Gini Ratio atau indicator ekonomi yang lain, ya. Hanya sebatas pandangan subjektif orang yang baru pertama kali datang ke Papua. "Wow, ternyata di Jayapura ada Mall, ada XXI, ada K*C, ada Hyp****rt". Yah, kira-kira begitu. Setidaknya masih ada fasilitas hiburan disini. Kalian bahkan bisa sampai ke Skouw (Perbatasan RI-Papua Nugini) hanya dengan menumpang bus Damri, loh. Keren kan??
Nah, sudah mendapat sedikit gambaran tentang Jayapura, kan?
Tapi, catatan kali ini sama sekali tidak akan menceritakan detail Jayapura. Tulisan di atas cuma sebatas intro saja.
Menembus Lubang Awan
27 Mei 2018
Kali ini kantor menugaskan saya untuk melakukan tugas pengawasan ke salah satu kabupaten di Papua. Sudah bisa tebak kemana kan? Yak, Kabupaten Boven Digoel. Kalian pasti sudah familiar dengan nama kabupaten yang satu ini kan? Buku Sejarah SD banyak menceritakan tentang kisah Soekarno yang diasingkan ke Boven Digoel semasa penjajahan Belanda. Tapi, apakah memang benar begitu? Kita lanjutkan nanti ya... :D
Kabupaten Boven Digoel merupakan pemekaran dari Kabupaten Merauke. Distrik Mindiptana adalah ibukota Kabupaten ini. Namun, entah kenapa Boven Digoel sering dijuluki Kota Tanah Merah. Mungkin karena tanah di tempat ini kebanyakan tanah gambut yang berwarna merah? Sekilas, Boven Digoel mengingatkan saya dengan daerah transmigrasi di salah satu wilayah di Pulau Kalimantan. :D Tanah merah dan rawa-rawanya.
Akses dari Jayapura (Bandara Sentani) ke Boven Digoel (Bandara Tanah Merah) bisa ditempuh dengan beberapa cara. Yang pertama, dengan pesawat udara bertipe ATR (pesawat baling-baling yang bagasinya 10 kg) dengan waktu tempuh sekitar 1 jam, langsung mendarat di bandara Tanah Merah, Boven Digoel dengan harga tiket sekitar Rp 1.250.000,-/penumpang, dan kalau saya tidak salah hanya maskapai Trigana Air saja yang melayani rute ini, dan hanya satu penerbangan setiap harinya.Â
Yang kedua, menggunakan pesawat udara boeing via Merauke, kemudian menyambung pesawat kecil (kalau tidak salah twin-otter Susi Air) menuju Bandara Tanah Merah Boven Digoel. Harga tiket ke Merauke berkisar antara 700 ribuan sampai 1 jutaan, kemudian dari Merauke ke Tanah Merah sekitar 750 ribuan per penumpang. Kemudian cara terakhir, yaitu menggunakan pesawat udara boeing via Merauke, kemudian dari Merauke menyambung naik taksi (mobil double gardan) dengan waktu tempuh sekitar 7 sampai 8 jam perjalanan dengan kecepatan 100 km/jam lebih. Itu waktu perjalanan normal, dengan biaya sekitar 700 ribuan/penumpang.Â
Dahulu, jika hujan turun dan jalanan rusak bahkan bisa mencapai 3 hari sampai satu minggu perjalanan. Karena kebayakan kendaraan "tertanam". Kebayang nggak loh??? Kalau saya, kayaknya udah semaput-semaput naik mobil selama itu. Silahkan search aja kondisi jalannya di google, kayaknya dulu juga sempat viral... Hehe. Tapi informasi dari teman yang ada di Boven Digoel, kondisi jalan saat ini sudah agak lebih baik dibandingkan dahulu. Alhamdulillah... Tapi, 7 sampai 8 jam jalur darat tetap saja amazing buat saya...
Kali ini saya menempuh cara yang pertama. Setelah sekitar 40 menit naik motor dari kosan menuju Bandara Sentani, kami bergegas melakukan cek-in. Pesawat dijadwalkan berangkat sekitar jam 1 siang. Kami sengaja berangkat lebih awal karena takut ketinggalan pesawat. Maklum, baru pertama kali-selain karena jadwal keberangkatan pesawat ke kabupaten di Papua yang kadang tidak terprediksi-bisa cancel tiba-tiba, mostly karena keadaan cuaca.
Tak terasa, panggilan untuk boarding pun menggema. Selepas take-off semuanya berjalan normal. Namun pada menit ke 20 sampai akhir perjalanan perasaan jadi nggak enak. Sedari tadi pesawat terus berguncang. Awan terlihat tebal dan sekali-sekali di kaca jendela terlihat percikan air. Sebenarnya, dulu juga sudah sering mengalami ini, sewaktu masih di Wamena. Cuma kali ini rasanya lebih deg-degan. Oiya, FYI ketika naik pesawat menuju Boven Digoel, kita terlebih dahulu akan melewati Oksibil, Pegunungan Bintang. Saya jadi teringat beberapa waktu lalu, ada kasus pesawat Trigana Air yang jatuh ketika menuju Oksibil.Â
Yah, mungkin itu yang membuat gugup. Â Sepanjang perjalanan, pesawat terus-terusan menerobos awan, sehingga getaran terus terjadi. Di kejauhan terkadang terlihat gumpalan awan hitam. Ya Allah, entah kenapa rasanya pesawat ini terasa rapuh sekali. Bagaimana jika salah satu baling-balingnya berhenti berputar, pikirku. Sepanjang perjalanan, saya terus-terusan berpegangan. Teringat, perkataan seorang teman, "Saya kalau naik pesawat di Papua tiba-tiba jadi relijius, sepanjang jalan berdoa."Â Wkwkwkwk. Begitulah pula yang saya lakukan sepanjang perjalanan, berdoa. Tapi, entah kenapa orang-orang di sekitar saya malah ada yang sampai tertidur dengan nyenyaknya. Mungkin karena mereka sudah biasa.
Tak terasa, pilot mengumumkan bahwa pesawat kami akan segera mendarat. Saya bingung dengan pengumuman pilot ini. Sedari tadi pesawat kami terus-terusan diselubungi awan, bahkan tidak ada satupun daratan yang terlihat. Semuanya awan. Beberapa lama sejak pengumuman pilot tadi, tetapi pesawat tak kunjung mendarat juga.Â
Akhirnya sekitar 20 menit kemudian, di kejauhan terlihat secercah cahaya-bagai cahaya surga yang menerobos awan-laksana sebuah lubang besar. Yah, dari lubang awan itulah ternyata kami akan mendarat. Setelah melewati lubang tersebut, perlahan-lahan ketinggian pesawat menurun, dan Kota Tanah Merah mulai terlihat. Alhamdulillah, pesawat bisa mendarat dengan selamat. Cuaca di Boven Digoel waktu itu justru terik sekali. Entah kenapa, perbedaan cuaca disini terkadang bisa se-ekstrem ini. Di angkasa mendung, di daratan terang-benderang.
Boven Digoel Kini...
28-29 Mei 2018
Kabupaten Boven Digoel tergolong Kabupaten yang lumayan "maju", jika dibandingkan  dengan kabupaten yang lain di Papua. Yah, maju disini tentunya tidak bisa dibandingkan dengan wilayah lain di luar Papua. Setidaknya itu menurut saya, karena masih ada kabupaten lain yang bahkan tidak bisa disebut tempat layak huni-selain karena keadaan keamanan dan fasilitas yang tidak memadai.Â
See my previous post here. At least, disini listrik sudah 24 jam, ada hotel yang lumayan bagus-meskipun lebih mirip penginapan biasa-tapi disini cukup untuk dibilang hotel, ada POM bensin, ada ATM dari berbagai bank, meskipun untuk sinyal internet Tel***sel termasuk buruk. Jangan tanya sinyal operator lain, pastinya tidak ada. Harus punya wifi, baru bisa internetan. Hahaha, tapi ya nggak apalah.
Sesampainya di bandara, kami langsung dijemput oleh teman kantor. Karena baru pertama kali kesini, saya kira kantor kami berada di pusat kota. Ternyata saya salah besar. Kantor kami berada di pinggir kota. Bahkan sinyal untuk menelepon saja susahnya bukan main. Tidak bisa menelepon jika berada di dalam kantor, harus keluar jalan raya dulu baru sinyal muncul. Oh my....
Btw, catatan ini nggak akan menceritakan perihal pekerjaan yah.... Hahaha, kalau itu cukup di kantor saja.
Oh iya, back to the topic. Selama di Boven Digoel saya menginap di Hotel Honai. Lucu kan namanya? Hotel ini termasuk recommended jika kalian berniat melakukan perjalanan di Boven Digoel. Kamarnya bersih, airnya bersih (FYI, air disini terkadang keruh karena efek dari tanah gambut), dapat menu sahur dan juga berbuka (karena perjalanan kami saat Bulan Ramadhan).Â
Biayanya kalau nggak salah sekitar 450 ribu/malam. Selama di Boven Digoel kalian tidak perlu khawatir soal kebutuhan hidup, karena disini cukup lengkap. Banyak terdapat kios-kios dan warung makanpun cukup beragam. Hanya saja harganya jelas lebih mahal. Bahkan sangat mahal menurut saya. Untuk seporsi ayam lalapan dan nasi saja harganya 50 ribu/porsi. Haha, yah ada jasa ada harga. Barang-barangnya juga berasal dari Merauke. Ongkos angkutnya saja sudah berapa... Intinya, mahal.
Selama di Boven Digoel, selain melakukan pekerjaan, kami juga sempat diajak melihat patung salah satu pahlawan kemerdekaan yang semasa penjajahan Belanda sempat diasingkan kesini, yaitu Mohammad Hatta. Usut punya usut, ternyata yang diasingkan ke Boven Digoel pada masa itu bukanlah Soekarno, melainkan Mohammad Hatta, Sutan Syahrir, dan para tahanan politik lain di kala itu. Lokasi pengasingan Soekarno yang sebenarnya ada di Ende, NTT.
Selain peninggalan sejarah, ternyata di Boven Digoel juga terdapat sebuah perusahaan sawit besar, PT. Korindo yang bekerja sama dengan perusahaan asal Korea yang berada di wilayah Asiki. Mohon koreksi kalau salah ya... Siapa sangka di pedalaman begini ada perusahaan multinasional. Wohoooo....
Begitu saja catatan kali ini. Semoga bermanfaat. Meskipun endingnya agak gantung, karena sudah ngantuk berat. Heheh, terima kasih sudah membaca. Semoga bisa dijadikan referensi, terutama bagi dedek-dedek S**S yang lagi galau penempatan-takut terdampar ke timur. Well, semoga catatan ini bisa memberikan sedikit gambaran. Bye...
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H