Mohon tunggu...
Shindy Nilasari
Shindy Nilasari Mohon Tunggu... pelajar/mahasiswa -

masih terus belajar untuk membanggakan ortu :)

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Catatan Absurd: Mereka Ini yang Ada di Sekitarku

6 September 2016   14:24 Diperbarui: 6 September 2016   14:28 107
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Pergi ke sekolah. Dok: Shindy Nilasari

Mardalan ahu marsada-sada

Melangkah kusendiri , satu persatu  *)merantau dari satu tempat ketempat yang lain 

Laos dilanglangi do ahu, tarlungun-lungun

Ditempat yang sepi , kubersedih hati   *)diperantauan yang terasasepi, hati bersedih 

Manetek ilukhi dainang, da sian mata

Airmataku menetes mama, dari mata

Marningot langkahi dainang, laos so marujung

Merenungkan pejalananku mama, yang tiada akhir  *)Merenungkan perantauan yang sudah lama sekali tetapi belum dapat tujuan

 

Suman ma ahu partudosanna,

Pantaslah saya diibaratkan,

Tu sanggar sangkambona inang, nasai madudung

Sebatang ‘sanggar’ mama , yang selalu rebah

Nameol-eol i dainang, di ulus alogo

Bergoyang goyang mama, ditiup angin

Songon bulung ni bulu inang, nasai madudus

Bagaikan daun bambu mama, selalu rontok berjatuhan

 

Ullushon….., ullushon………, ullushon alogo 

Tiuplah…….tiuplah……….., tiuplah aku angin  #)meminta pertolonganangin(tuhan) 

Sahat tu huta ni Dainang, diluat nadao

Sampai ke kampung mamaku, ditempat nan jauh   *)Kembali kepangkuanibunda di kampung halaman, ditempat yang jauh

Posma roha ni dainang, tibu do ahu ro

Sabarlah mamaku, aku segera pulang

Sian tano parjalangan, diluat nadao

Dari tanah perantauan, di tempat nan jauh

 

Ue dainang, Ue dainang,  Ue dainang, Ue dainang, Ue……..

Oo mama, Oo mama, Oo mama. Oo……

 

Alusi ma ahu inong, alusi ma ahu among

 Jawablah aku mama, jawablah aku papa

Alusi ma ahu inong, najou-jou on

Jawablah aku mama, yang memanggil-manggilmu  #) panggilan akibatKerinduan yang mendalam atau kegagalan

Najou-jou on.

Yang memanggil-manggilmu.

Mardalan Ahu

Viky Sianipar ft. Korem Sihombing

 

Lagu itu lagi. Lagi. Lagi. 

Bulan Juni yang melelahkan. Lelah fisik, lelah mental. Kertas putih-orange berserakan dimana-mana. Kabel-kabel seliweran sana-sini. Bunyi “nguuiiiiinggggg” mesin berteknologi tinggi – baru pertama kali liat yang begini - dari mulai pagi hingga petang. Sesekali terdengar bunyi “tiiittt,tiiitt, tiiiitt” dari beberapa buah benda kotak-kotak  - akibat listrik padam. 

Ahhhh, semua benda-benda ini sukses membuat saya lupa segala macam teori-teori di bukunya Mankiw dan  Sadono Sukirno. Haduhhhh

Iseng-iseng buka laptop. Adeehhhh, lama banget loadingnya - maklum, umur laptopnya sudah hampir 6 tahun – eh, ketemu file lama yang isinya sebuah masterpiece. Yak, apalagi kalau bukan skripsi yang digarap dua tahun lalu. Lhah, emang ada masterpiece lain gitu? Heheh

Skripsi yang bikinnya penuh perjuangan – banget. Di saat teman-teman lain sudah sibuk ngomongin model, analisis, bahkan kesimpulan dan saran, lah sementara saya datanya saja belum dapat. Bagaimana tidak? Skripsi saya yang ternyata kuesionernya hampir mirip dengan pertanyaan di kertas putih-orange ini. Pertanyaan yang gampang tapi susah dijawab. Variabel kuantitatif. Pertanyaan perihal modal dan omset. Tralalala, ternyata ditolak responden sana-sini, dikira penagih pajak, sampai dikira mau membongkar rahasia perusahaan. Sekalinya dapat responden, eh si bapak malah curhat ini-itu. Kurang modal lah, pemasaran susah lah. Dan akhirnya, dalam waktu satu bulan hanya bisa dapat 32 responden dari perusahaan alas kaki mikro-kecil-menengah (digolongkan berdasarkan jumlah tenaga kerja). Sensus satu kelurahan, ceritanya. Bagaimana ini??? Kok, malah jadi sensus. T_T

Sampai tiba saatnya seminar, dan pertanyaan skakmat itu pun datang.

“Kalau pakai sensus, untuk apa membentuk model untuk estimasi? Terus, statistiknya dimana?”

Hiksss… Terima kasih untuk dosen pembimbingku yang selalu setia mendampingi dan memberi support dari awal sampai akhir, Ibu Atik Maratis, teman-teman sebimbingan, Livia, Dinda, Rahma, Kak Affan, Dewa Mega. Saya disarankan untuk mencantumkan teori Superpopulation. Sambil tanya-tanya dengan teman-teman lain yang memiliki nasib serupa dan akhirnya juga mencantumkan teori yang sama. Inti dari Superpopulation ini adalah populasi di suatu tempat dapat dijadikan sampel untuk menggambarkan populasi lain di tempat berbeda yang memiliki karakteristik yang sama. Kalau nggak salah begitu. CMIIW. Misalnya, dalam kasus penelitian skripsi saya yangmengambil wilayah Kelurahan Penggilingan, Jakarta Timur dimana terdapat banyak home industry yang memproduksi alas kaki. Maka, hasil dari penelitian di wilayah ini juga dapat digunakan untuk menggambarkan kegiatan produksi dari home industry alas kaki yang berada di tempat lain dengan keadaan dan cara produksi yang serupa, misalnya di wilayah Jatinegara atau Pulo Gebang.

Yah, namanya usaha memang macam-macam. Kalau di desa atau daerah pelosok jelas nggak bisa dibandingkan sama yang di kota. Proud of you all yang ngejar-ngejar responden sampai dapat. Terutama yang di kota, apalagi yang di Jawa. Uohhh, ngebayanginnya aja rasanya mumet. Seabrek-abrek usaha dari tukang sol sepatu sampai hotel bintang lima. Belum lagi industri ini-itu.

Yah, begitulah… Apa mau dikata. By the way, buat yang lagi nyusun skripsi jangan putus asa. Usaha terus sampai akhir, pasti ada jalannya. Jangan lihat skripsi tetangga, ntar nyesek. Hahah, don’t give up pokoknya. Dan buat yang udah mulai masuk dunia kerja, Welcome to the new world. Welcome to the Jungle. Indonesia tuh luas, nggak sebatas Otista-Kampung Melayu aja. :p

***

Lalalala….

Mardalan Ahu nya Viky Sianipar masih melantun di ruang kecil ini. Sehebat-hebatnya menghibur diri, tetap aja sepi ya. It’s totally hard, but what can I do? Haha, apalagi lagu ini makin didengarkan, makin bikin nyesek. Kok aku banget, sih?? Viky Sianipar dan Hujan Bulan Juni sukses bikin galau seharian. Yah, at least, this song makes me closer to them. :)

Tapi, inti dari catatan ini sebenarnya bukan tentang skripsi saya, apalagi dunia kerja. Tulisan di atas cuma pengantar saja. Sekedar intermezzo…

***

Tadi kan saya sudah bilang, Indonesia itu luas. Segitu luasnya,sampai-sampai saya nggak nyangka bisa sampai disini. Demi apaaa… Tempat yang dulunya cuma bisa dibayangkan atau sebatas lihat di tv aja. Suatu tempat yang bahkan tidak terjangkau kamera reporter professional sekalipun. Tempat yang bisa membuat siapapun serasa berada di dunia lain yang berbeda, seperti bukan di Indonesia. Kayaknya ini sudah di luar negeri. -_-“ 

“Mbak, asalnya darimana?”, seorang pria paruh baya – mungkin sesusia ayah saya – bertanya.

“Kalimantan, pak.”

“Oh, orang Dayak ya?”

“Bukan, Pak. Numpang lahir-besar aja di Kalimantan. Ayah saya Batak, mama saya Jawa.”

“Wahh, blesteran dong??”

“Hehehe. -_-“.”

“Udah kerja?”

“Udah, pak.”

“Dimana?”

“Papua.”

“Waaaaa….Jauh banget!!! Papua nya dimana?”

“(malas jawab).”

Pertanyaan semacam itu kayaknya sudah terlalu sering ditanyakan setiap kali pulang kampung. Kebayang nggak kalau pertanyaan nya si bapak tadi saya jawab? Pasti bakalan ada pertanyaan-pertanyaan lanjutan lain yang kayaknya bakal nggak habis-habis dan berbagai macam komentar pun pasti muncul, mulai dari yangmengenaskan sampai yang menyedihkan, seperti “disana kan masih banyak orang-orang telanjang?” atau “bisa pulang nggak, tuh?”, atau “oh, Tolikara itu kan yang sering kebakaran itu, ya? Banyak perang suku kan disana?”

Kalau sudah begitu ya diamkan saja. Ntar juga berhenti sendiri nanya’ nya. Jahat, ya? Heheh

Tapi, ya sudahlah….

Dan sekarang waktunya akhir pekan. Hari Sabtu, saatnya ketemu bocah-bocah hitam-manis-ingusan-menggemaskan, yang kadang suka lari-lari sambil telanjang. Bukan. Ini bukan sekedar lucu-lucuan. Tapi memang kenyataan.

Di sinilah kami, berdua saja, saya bersama seorang teman perempuan, sebut saja Mbak Bunga. Di Distrik Megapura, salah satu distrik di Kabupaten Jayawijaya yang merupakan perkampungan masyarakat asli Muslim Pegunungan Tengah Papua. Mungkin masih banyak yang belum tahu bahwa ada masyarakat Papua yang asli Muslim sejak lahir. Bahkan, disini juga terdapat salah satu pesantren anak-anak asli Papua, yaitu Pondok Pesantren Al-Istiqomah yang berada di Distrik Walesi, Kabupaten Jayawijaya yang sekaligus menjadi pusat pendidikan Islam terbesar di Pegunungan Tengah Papua - meski jelas tidak sebesar yang ada di Jawa. Selain itu, juga terdapat sekolah berbasis Madrasah, yang diberi nama MTS Merasugun Asso.

Kadang banyak pertanyaan, “Mereka muslim, tapi kenapa masih pelihara babi dan anjing?”

Pertanyaan seperti ini sepertinya cuma bisa terjawab kalau pernah menginjakkan kaki secara langsung disini. So,u can see..

Di tempat seperti ini bisa dibilang hukum adat seakan berada di atas hukum negara. Meski hanya nampak tersirat saja. Sama hal nya seperti anjing dan babi yang memang sudah menjadi bagian erat dari tradisi dan adat mereka sejak zaman dahulu kala. Bukannya membenarkan, tapi bukankah Islam sejak dahulu tidak disebarkan secara paksa? Bukankah hukum khamr (minuman yang memabukkan) pun tidak lantas menjadi haram ketika awal-awal masa penyebaran Islam? Karena pada saat itu khamr memang menjadi bagian dari tradisi masyarakat Arab Jahiliyah. Sampai pada akhirnya hukum khamr menjadi haram,dan masyarakat Muslim pun menyadari bahwa khmar hanya akan menghambat mereka dalam beribadah. Koreksi kalau saya salah, ya…

Tidak semua masyarakat Muslim Papua seperti itu, kok. Ada juga yang sudah memahaminya dan perlahan meninggalkan kebiasaan yang bertentangan dengan agama. Tradisi potong jari yang sejatinya menyakiti diri sendiri pun, perlahan ditinggalkan.

Bahkan, pernah suatu ketika ada seorang Mama yang menangis. Si mama menangis karena tidak hapal Surah An-Naas. Plakkk! Seperti tamparan pada diri sendiri. Seumur-umur saya belum pernah menangis karena tidak hapal surah. Bisa berkaca dari sini…

Sebelas-dua belas seperti di Kalimantan, (kampung halaman saya sampai kapanpun, meski saya nggak asli sana :)). Di pedalamanKalimantan (ntah dimana, cuma sekedar nonton di tv – udah lama banget) juga terdapat kampung Muslim masyarakat Dayak yang meskipun sudah Islam, tetapi masih memelihara anjing dan babi – sekali lagi, karena sudah menjadi bagian dari adat sejak zaman dahulu kala.

Begitulah… Jadi, pelan-pelan saja.

Nah, back to the topic.

Misi hari ini gampang. Cuma mau mengajarkan dasar-dasar gerakan sholat dan berwudhu. Tapi, ternyata nggak semudah yang dibayangkan.

“Rohim, kalau berwudhu buang ingus dulu!!!!.”

“Sudah, ibu guru.”

“Mana? Coba lihat? Ko pu ingus masih nempel-nempel itu!”

Belajar berhitung. Dok: Shindy Nilasari
Belajar berhitung. Dok: Shindy Nilasari
Distrik Megapura ini sebenarnya tidak terlalu jauh dari Wamena yang notabenenya sudah terhitung “kota” di Pegunungan Tengah Papua. Tapi, pendidikan dasar sebatas mengenai kebersihan pun masih banyak yang belum memahami. Belum lama, salah seorang anak dari Distrik ini meninggal dunia karena sakit telinga, entah bahasa kedokterannya seperti apa. Kemungkinan dikarenakan kebiasaan anak tersebut mengorek-ngorek telinga dengan besi (ntah, mungkin sudah berkarat)atau batang kayu. Tempat tidur mereka pun sangat tidak layak, sebatas jerami yang disusun-susun dan tak jarang mereka tidur bersama peliharaan mereka, seperti ayam, anjing, atau babi. Bisa dibayangkan bagaimana kondisinya, kan? Kutu babi? Jangan ditanya, kayaknya sudah kebal dengan kutu yang satu itu.

Bahkan, pernah suatu ketika saya pergi ke lapangan dan mewawancarai seorang kepala rumah tangga yang tinggal bersama sekitar belasan anggota rumah tangga lainnya (saya lupa berapa) dan tidur di sebuah gubuk (karena menurut saya tidak pantas disebut rumah) berukuran sekitar 5x3 meter bersama babi-babi mereka. Hanya satu ruangan itu saja. Kandang babi dan tempat tidur cuma dibatasi sekat seperti pagar kayu lapuk. Tungku masak pun juga ada disitu. Buang airnya bagaimana? Jangan ditanya, kalau tidak di tanah lapang, ya di kebun. Tapi, selalu ada yang membuat saya terkejut.

“Sa pu anak sekolah dokter di Yawa (Jawa).”, kata si pace.

“Ohhhh, iyoo?”

“Iyo, nona. Hehehe.”

Itu baru satu. Lain di Jayawijaya, lain juga di Tolikara…

 

Sekolah Internasional di Pedalaman Hutan Rimba Papua

Apa yang kalian pikirkan kalau mendengar dua patah kata, “sekolah internasional”? Apakah sekolah yang berada di kota besar dengan segala macam fasilitas mewahnya? Atau sekolah dengan murid-murid yang setiap harinya diantar-jemput naik mobil kinclong?”

Percaya nggak kalau di Kabupaten Tolikara, tepatnya di Distrik Bokondini terdapat sebuah sekolah berstandar internasional? Yappp, ada loh. Namanya Ob Anggen School. Ob Anggen dalam bahasa setempat (bahasa Lanny, Papua) artinya “bibit unggul”, itu kata salah seorang KSK di kantor yang asli lahir-besar disana. Sementara itu, kalau masyarakat sini biasa menyebutnya Sekolah Barat. Kalau suka nonton Alenia’s Journey, pasti tahu sekolah ini.

sumber: KOMPASIANA.com (Asep Burhanudin)
sumber: KOMPASIANA.com (Asep Burhanudin)
Ob Anggen School sebenarnya merupakan sebuah sekolah swasta bentukan warga negara asing dan merupakan sekolah berbasis pendidikan agama Nasrani, dari tingkat Pendidikan Anak Usia Dini (PAUD) hingga SLTP. Kurikulum di sekolah ini memang menggunakan standart internasional. Bahasa pengantarnya pun menggunakan bahasa Inggris. Para gurunya pun merupakan warga negara asing alias bule. Siswanya juga belajar menggunakan internet dan tablet. Woooowww, keren kaann??

Anak-anak Distrik Bokondini. Dok: Shindy Nilasari
Anak-anak Distrik Bokondini. Dok: Shindy Nilasari
Pernah suatu waktu ketika saya berada di distrik ini dan jalan-jalan disekitar sekolah ini, para siswanya sedang bermain “gobak sodor” dan mereka saling berbicara menggunakan bahasa Inggris, yang saya pun masih berpikir lama untuk mencerna apa yang sedang mereka katakan. Kebayang nggak anak-anak Papua pedalaman sekolah bareng anak bule, ngomongnya pun pakai bahasa Inggris? Bukan hanya itu, sekolah ini juga memiliki sumber daya sendiri untuk mendukung fasilitas belajar-mengajar, seperti listrik, air, serta pemancar internet dan telepon selular.

Distrik Bokondini merupakan distrik yang sangat minim akan fasilitas penunjang kehidupan – sama seperti distrik-distrik lain pada umumnya di Kabupaten Tolikara – seperti listrik. Tapi Ob Anggen School memiliki pembangkit listrik sendiri. Sekolah ini juga memiliki fasilitas internet sendiri, juga nomor telepon selular sendiri. Bayangkan saja, ketika sudah berada di distrik ini maka kita akan betul-betul terputus komunikasi dengan dunia luar – karena sinyal operator lokal tidak menjangkau hingga ke tempat-tempat seperti ini. Dan kalau mau tetap komunikasi lancar, maka kita harus beli nomor lagi di Ob Anggen School, kalau saya sih bilangnya nomor Bokondini. Harganya seratus ribu rupiah, belum termasuk pulsa. Hahahaha, mahal kan? Jangkauan sinyalnya pun hanya disekitar wilayah Ob Anggen School saja, kira-kira seperti dari kampus STIS sampai apotek K-24 bawah jembatan. Lewat dari situ, sinyalnya sudah hilang. Tapi, selama berada dalam jangkauan wilayah ini, kita bisa teleponan dan sms-an dengan siapapun se-Indonesia, tentunya dengan tariff yang jauh lebih mahal. Maklumlah, di pedalaman…

Anak-anak yang sekolah di tempat ini biasanya merupakan anak-anak dari masyarakat sekitar, atau ada juga anak-anak yang berasal dari kampung-kampung pedalaman di sekitarnya. Kampung di Papua bukan seperti kampung di Jawa loh ya... Sekampung-kampungnya di Jawa,  kebanyakan masih bisa ditembus pakai motor. Tapi, disini yang namanya kampung, betul-betul di tengah hutan belantara. Kalian nggak akan sangka kalau ada orang yang tinggal disana. Karena memang jalan masuknya pun harus menembus hutan dan hanya bisa dengan berjalan kaki. Just imagine that...

Pergi ke sekolah. Dok: Shindy Nilasari
Pergi ke sekolah. Dok: Shindy Nilasari
Anak-anak itu berjalan kaki menyusur hutan untuk bisa sampai ke sekolah,sambil membawa noken di atas kepala yang isinya pakaian atau buku. Kebayang nggak sih, harus susur hutan-sebrangi sungai untuk bisa sampai ke sekolah? Jangan kira mereka punya uang sangu untuk jajan. Bekal mereka itu cuma ubi, ubi, dan ubi…Setiap hari makannya ubi. Saya aja nggak kuat. Sumpah, muka udah pucat tapi harus tetap dipaksa jalan. Khawatir kalau kebanyakan berhenti, bisa malam-malam di tengah hutan begini. Tentunya jadi lebih berbahaya… Malu ya adik-adik, kalau sekolahnya dekat terus dapat uang sangu dan bekal makan, tapi masih bolos. Hehe

Meskipun begitu, ada loh yang terkenal dari Distrik Bokondini, yaitu nanas. Nanas Bokondini ini sudah terkenal seantero Tolikara. Hahaha, sayangnya nggak terkenal sampai se-Indonesia ya. Nanas disini asli tumbuh secara alami, tanpa pupuk kimia apapun alias organik. Kalau di Bokondininya sendiri, nanas-nanas ini bisa dijual sepuluh ribu rupiah untuk tiga buah nanas ukuran kecil. Tapi kalau sudah sampai Wamena, nanas-nanas ini bisa mencapai harga lima puluh ribu rupiah untuk satu tumpuk (sekitar 5 buah nanas). Meskipun kecil tapi rasanya manis. Coba bandingkan sama harga nanas organik yang ada di mall? Bisa-bisa nggak sanggup beli. Haha. Sayangnya, belum ada pengolahan lebih lanjut untuk hasil kebun di wilayah ini, sehingga harga jualnya juga masih rendah, karena tidak memiliki nilai tambah. Selain nanas, jeruk juga menjadi andalan di wilayah ini. Distrik Kelila yang merupakan wilayah Kabupaten Jayawijaya yang berada dekat dengan Distrik Bokondini merupakan penghasil jeruk manis. Tentunya, jeruk organik. Manis loh, rasanya mirip jeruk Pontianak hanya saja ukurannya lebih kecil. Tapi, sayangnya, segala potensi itu masih belum termaksimalkan. 

Kadang suka mikir, kapan ya ada selai nanas yang di kemasannya bertuliskan "Made in Bokondini." Pasti bisa jadi oleh-oleh... Keren banget kan kalau Papua gunung punya oleh-oleh khas yang bisa dimanfaatkan langsung, selain buah merah dan koteka yang sudah terlalu mainstream. Bisa bikin kue nastar selai Bokondini buat lebaran. Heheh :)

Begitulah catatan hari ini. Udah dulu ya, capek. Se u next... Semoga bermanfaat :)

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
  8. 8
  9. 9
  10. 10
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun