Mohon tunggu...
Shindy Nilasari
Shindy Nilasari Mohon Tunggu... pelajar/mahasiswa -

masih terus belajar untuk membanggakan ortu :)

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Kami Ada Tapi Tak Terlihat

9 Mei 2016   11:04 Diperbarui: 9 Mei 2016   11:32 1287
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

"Baru, kenapa tadi dia palang lagi?"

"Dia bilang palang yang tadi beda. Tadi itu palang politik, bukan palang minta uang. Hahaha. Sama saja to? Sama-sama palang. Padahal kalo mereka palang yang susah ya mereka sendiri. Coba saja palang jalan satu bulan. Se-Tolikara bisa kelaparan. Siapa yang mau bawa sembako masuk?!"

Nah, begitulah yang terjadi disini, teman. Hal-hal semacam itu biasa terjadi di wilayah ini. Tempat yang sebenarnya indah - dengan segala keterbatasannya. Bersyukurlah kalau kalian masih bisa berteduh di tempat yang aman, makan nasi hangat dengan sepotong lauk ayam atau ikan, dan minum air putih yang bersih. Sesuatu yang sebenarnya amat murah, tapi di bagian negeri yang lain semua itu menjadi amat-sangat mahal.

Berbotol-botol air minum, daging-dagingan beku, dan berbagai macam sembako, serta barang kebutuhan hidup sehari-hari setiap harinya diangkut menggunakan pesawat dari Jayapura atau Biak menuju Wamena, pusat kegiatan ekonomi di Pegunungan Tengah Papua. Barang-barang dari Jayapura pun sebagian besar didatangkan dari Jawa kan, yah? Hehe

Setibanya di Wamena, barang-barang tersebut didistribusikan lebih lanjut ke wilayah-wilayah pemekaran lain. Beruntung jika bisa menggunakan jalur darat, sebagian masih ada yang harus menggunakan pesawat. Bayangkan saja berapa banyak margin cost yang harus dikeluarkan? Dan bayangkan berapa harga yang harus dibayar konsumen untuk mendapatkan barang-barang itu? Itu hanya sekedar untuk pemenuhan kebutuhan dasar saja.

Untuk sebotol air mineral 600 ml saja harus membayar 15.000 rupiah. Seporsi nasi putih dan ayam goreng dengan rasa biasa harganya sekitar 35.000 rupiah. Biskuit malkist kecil yang biasanya 4.000an jadi 10.000 atau 15.000. Rasa-rasanya saya sudah lama nggak lihat koin 500 atau uang pecahan 1.000 atau 2.000. Harga barang disini semuanya kelipatan 5.000. Jadi, 5.000 adalah nilai uang paling kecil. Di bawah itu, cuma dapat gula-gula (permen) saja...

Oh, sedih jika harus membayangkannya. Makanya, ketika sampai di kota dan jalan-jalan di sekitar pusat perbelanjaan, seringkali melihat sisa-sisa makanan enak yang nggak dihabiskan kok rasanya nyelekit banget ya... Haha, bukannya sentimental. Tapi, ketika kamu pernah merasakan berada di kedua situasi yang amat berbeda itu, bakalan paham kok rasanya.

Makanya, buat kamu yang masih suka buang-buang air minum gelas mentang-mentang harganya cuma 500, pikir lagi deh. Saya juga dulu begitu, makanya ini pelajaran buat saya dan semua yang baca catatan ini. :)

Masih Ada Yang Bisa Kita Contoh, Kok. Ada Mama-Mama Tangguh. :)

Rasa-rasanya nggak adil kalau bercerita tentang Papua hanya melihat dari kekurangannya saja. Di Papua ada banyak sosok wanita hebat, loh. Bukan seperti tipikal wanita-wanita karier atau wanita dengan wawasan selangit yang suka menjinjing tas cantik yang biasa ada di kota besar sana. Tapi, sosok wanita yang menurut saya benar-benar hebat dan kuat dalam arti yang sebenarnya.

Ribuan kilo jalan yang kau tempuh...

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun